Syahida.com – Aku telah diberitahu tentang salah seorang sufi yang sezaman dengan kami yang tidak mau disuguhi makanan lalu ia ditanya, “Mengapa?” Lalu dijawab, “Karena hawa nafsuku menginginkannya, dan sejak beberapa tahun yang lalu saya tak pernah menuruti keinginan hawa nafsuku!”
Jalan kebenaran tak terlihat oleh orang ini bila ditilik dari dua alasan yang sama-sama bermuara ketiadaan ilmu. Pertama, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum tak pernah melakukan hal yang seperti itu. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam makan daging ayam serta suka kue dan madu. Farqad as-Sabakhi berkunjung kerumah Hasan Bashri rahimahullah dan mendapatinya sedang makan kue puding, Hasan menanyainya,
“Farqad, bagaimana pendapatmu tentang makanan ini?”
“Saya tak memakannya dan tak ingin memakannya.”
Hasan bertanya, “Apakah seorang Muslim mencela air liur lebah, saripati gandum dan lemak sapi?!”
Seseorang berkunjung ke rumah Hasan Bashri rahimahullah dan bercerita, “Saya punya seorang tetangga yang tak mau makan kue puding.”
“Mengapa?” tanya Hsan Bashri.
“Dia mengatakan, ‘Saya tak bisa menunaikan kewajiban mensyukurinya’.”
“Tetanggamu itu tak punya ilmu, apakah ia bisa menunaikan kewajiban mensyukuri air dingin?!”
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah biasa membawa kue puding dan sate anak kambing bila berpergian, seraya mengatakan, “Binatang tunggangan bila diberi makanan yang baik akan bekerja denga baik pula.”
Praktik-praktik yang diamalkan kaum sufi setelah zaman orang-orang saleh tersebut adalah praktik-praktik yang diadopsi dari ajaran kependetaan.
Kami takut akan firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.”
Kami tak pernah mendengar satu pun praktik seperti di atas diriwayatkan dari generasi sahabat. Kalau pun ada, hal ini sangat jarang terjadi. Yang terjadi misalnya menginginkan sesuatu namun kemudian tak menurutinya, atau seperti memerdekakan budak tapi dengan disertai perkataan, “Ini adalah makhluk yang paling kucintai.” Kedua-duanya dilakukan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Tindakan Ibnu Umar ini dan tindakan-tindakan yang serupa dengannya adalah tindakan yang baik, karena ia mengorbankan sesuatu yang paling disenangi diri. Kalau dilakukan secara jarang-jarang ia akan memadamkan ambisinya memperoleh semua hal yang diinginkannya. Sedang orang yang selalu menentang keinginannya adalah orang yang membutakan hatinya, menjadikan dungu benaknyadan menceraiberaikan tekadnya. Sehingga, efek negatif yang ditimbukan lebih banyak daripada positifnya.
Ibrahim bin Adham rahimahullah mengatakan, “Hati akan buta bila dipaksa.”
Kalimat Ibrahim bin Adham ini mengandung sebuah rahasia yang menakjubkan: Allah ‘Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dengan suatu pembawaan yang unik, yakni ia (manusia) akan memilih kesenangan yang cocok untuknya. Artinya, sesuatu yang dipilihnya adalah sesuatu yang cocok untuknya, dan sesuatu itu pun menjadi baik karena telah dipilih olehnya. Dokter-dokter baik telah mengatakan, “Jiwa harus dibiarkan memakan makanan-makanan yang disukainya sepuasnya, kendatipun ia mengandung suatu jenis bahaya, karena memang hanya memilih sesuatu yang sesuai dengannya.”
Berdasarkan keterangan ini , seorang sufi yang melarang jiwa memakan sesuatu yang disenanginya berarti akan merusak tubuhnya. Andai bukan karena dorongan-dorongan alami di dalma jiwa, tentu tubuh tak akan bertahan lama.
Nafsu makan adalah sesuatu yang liar. Jika ia telah memperoleh kepuasan dari apa yang dimakannya ia akan diam. Nafsu makan punya kehendak, ambisi dan faktor pembangun terbaik untuk tubuh. Walau demikian, jika terlalu berlebihan, ia akan menimbulkan bahaya. Begitu pula sebaliknya, bila ia dikekang secara terus-menerus dan tak diizinkan memakan apa yang diinginkannya (padahal tak ada bahaya yang dikandungnya), pengekangan ini akan merusak jiwa, melemahkan tubuh dan mendatangkan penyakit. Di antara contoh tindakan pengekangan adalah tak memnberinya minum saat ia haus, tak memberinya makan saat ia lapar, tak memberinya kesempatan bersenggama saat syahwat tengah memuncak, dan tak memberinya kesempatan tidur kendati rasa kantuk sudah tak bisa ditahan. Orang yang bersedih pun akan mati karena kesedihannya, bila ia tak berusaha meringankan bebannya dengan menceritakannya pada orang lain.
Keterangan di atas jika dipahami oleh si sufi yang tengah kita bicarakan pasti akan membuatnya mengetahui bahwa dirinya menyelisihi pola hidup yang telah dijalani Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum bila ditilik dari sejarah kehidupan mereka. Ia pun akan sadar bahwa ia telah menentang hikmah penciptaan yang dibuat Rabb-nya.
Pendapat kami ini tak perlu dibantah dengan pertanyaan, “Dari mana kita bisa memperoleh makanan yang jelas-jelas kehalalannya adalah tindakan yang lebih hati-hati?”
Pembicaraan kita ini adalah tentang yang tak merusak akhlak baik. Apa yang telah kujelaskan bisa menjadi jawaban buat orang yang mengatakan, “Saya tak pernah menuruti keinginan nafsuku secara liar.”
Kedua, aku khawatir upaya pengekangan hawa nafsu sufi tersebut justru akan membuahkan sikap antipati, sehingga ia menjadi orang yang tak bernafsu pada apa pun. Dalam hal ini hawa nafsu punya sebuah muslihat yang samar dan sebuah riya’ yang lembut. Andaikata ia selamat dari sifat riya’ pada makhluk, maka ia akan tetap tertimpa bahaya lain, yakni ketergantungan pada perbuatan seperti itu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Ini sungguh merupakan bahaya dan sebuah kesalahan sekaligus.
Mungkin sebagian orang yang tak berilmu akan mengatakan, “Apa yang kaulakukan justru menghalang-halangi orang yang berbuat baik dan bersikap zuhud!” Pernyataan ini tidak benar, karena telah disebutkan dalam sebuah hadis sahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, “Setiap amalan yang tak didasarkan pada perintah kami adalah amalan yang bertolak.”
Seseorang tak boleh terkecoh oleh ibadah Juraij, atau ketakwaan Dzul Khuwaishirah, karena mereka telah melakukan amalan-amalan yang tak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, seperti memperlihatkan kekhusukan yang melampaui batas, berlebihan dalam memakai pakaian yang kasar serta hal-hal lain yang dikemudian hari dianggap sebagai sesuatu yang baik oleh orang awam, kemudian ia menjadi lahan mencari uang dan keuntungan buat segelincir orang.
Amalan-amalan lain yang mirip dengannya adalah tradisi cium tangan, kebiasaan menghormati secara berlebihan dan upaya memelihara wibawa karena suatu tingakatan yang telah dicapai seseorang dalam ilmu tasawuf (padahal, sikap mayoritas mereka saat sendirian berbeda dengan sikap mereka kala bersama orang banyak).
Pada zaman dahulu Ibnu Sirin rahimahullah biasa tertawa terbahak-bahak di depan orang banyak, namun bila malam menjelang, ia seolah membunuh seluruh penduduk desanya.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat yang merupakan pokok segala sesuatu. Bila sudah diperoleh, ilmu akan membuat kita mengenal Dzat yang disembah, mendorong kita untuk mengabdi kepada-Nya dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan segala sesuatu yang dicintai-Nya serta menuntun pemiliknya dijalan keikhlasan.
Ringkas kata, pokok dari semua pokok adalah ilmu, sedangkan ilmu yang paling bermanfaat adalah penngetahuan tentang perikehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, “Mereka itulah orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (Q.S. Al-An’am [6]:90)
Sumber : Kitab Shaid Al-Khatir Nasihat Bijak Penyegar Iman, Ibnu Al Jauzi