Syahida.com – Di antara manusia ada yang tak mengenal Tuhan. Ada yang menyifati-Nya sesuai dengan tuntutan hawa nafsunya. Ada pula yang tak mengetahui hikmah di balik beban-beban yang diberikan-Nya kepada mereka.
Engkau melihat para pengklaim amalan tasawuf menyibukkan diri dengan rukuk dan sujud serta menjauhi berbagai jenis kesenangan hidup. Namun (saat yang sama), mereka melupakan ambisi mereka pada kemasyuran dan cium tangan yang biasa mereka nikmati. Jika seseorang menanyai mereka dengan pertanyaan, “Apakah orang sepertiku layak disebut dengan julukan A? Siapakah orang fasik itu?” Tentu mereka tak akan bisa menjawabnya.
Engkau juga melihat banyak ulama menghina pihak lain dan menyombongkan diri, maka aku pun bertanya-tanya: bagaimana mungkin orang-orang seperti itu punya kelayakan menjadi tetangga Tuhan dan masuk surga-Nya?
Ternyata jawabannya adalah manfaat wujud mereka di dunia sama dengan manfaat masuknya mereka ke surga. Di dunia mereka menjadi bahan pelajaran buat seorang arif (orang yang telah mengetahui Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena waktunya tak cukup untuk bergaul dengan orang-orang yang tenggelam dengan bentuk luar. Selain itu, ia juga bisa mengetahui tingkatan nikmat Allah atasnya setelah melihat kondisi mereka. Jadi, pengklaim tasawuf seperti penggembala binatang ternak, seorang ulama laksana pendidik anak-anak dan seorang arif seumpama pengajar hikmah. Kalau bukan karena petugas pengisi minyak lampu, petugas keamanan dan petugas yang menyalakan perapian, tentu kehidupan ‘seorang raja’ (seorang yang arif) tak akan pernah terasa nyaman.
Salah satu bentuk kesempurnaan kehidupan seorang arif adalah kemampuan memperbantukan seluruh jenis manusia menurut bidangnya masing-masing. Apabila mereka telah sampai kepadanya, ia langsung membersihkan apa-apa yang bersamanya. Sebagian mereka tidak sampai kepadanya, sehingga wujudnya sama dengan huruf tambahan dalam kalimat yang berfungsi sebagai pelengkap. Dalam kasus tertentu ia malah tak berarti apa-apa.
Mungkin ada orang yang bertanya: ini mungkin bisa berlaku di dunia, apakah mungkin ia berlaku di surga? Jawaban kami: rasa nyaman yang ditimbulkan tetangga merupakan sebuah kebutuhan, dan melihat orang yang lebih rendah tingkatannya merupakan penyempurnaan kenikmatan orang yang lebih tinggi. Dan tiap-tiap orang punya kenikmatan tersendiri.
Seseorang yang merenungkan secara mendalam uraian-uraian singkatku tadi pasti akan bisa memahaminya dan tak akan perlu lagi pada keterangan yang lebih detail. [ ]
Sumber : Kitab Shaid Al-Khatir Nasihat Bijak Penyegar Iman, Ibnu Al Jauzi