Syahida.com – Aku heran pada beberapa kelompok orang yang mengaku berilmu dan punya kecenderungan melakukan tasybih (perbuatan menyerupakan Allah dengan makhluk) dengan mengorbankan makna-makna lahir hadis Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.
Andai saja mereka mau memaknainya seperti yang diriwayatkan, tentu mereka akan selamat. Karena, orang yang memaknainya seperti yang diriwayatkan dan menerimanya tanpa memprotes dan menakwilinya, adalah orang yang tak mengatakan apa pun sehingga ia pun tak memperoleh pahala dan tak mendapatkan dosan.
Tapi sayang, mereka adalah kelompok orang dengan ilmu yang dangkal, sehingga mereka pun mengatakan bahwa memaknai perkataan bukan secara makna lahirnya (harfiah) adalah salah satu bentuk penafian. Kalau saja mereka memahami luasnya bahasa tentu mereka tak akan berpendapat seperti itu. Perumpamaan mereka adalah sama dengan perkataan Al-Hajjaj kepada sekertarisnya, “Potong lisannya!” Sesudah Khansa’ berkata kepadanya:
“Jika Al-Hajjaj menjejakkan kaki di daerah yang terluka
Ia langsung memberinya pengaruh dan menyembuhkannya
Dia disembuhkan dari penyakit kronis yang dideritanya
Oleh pemuda yang cuma menggoyang-goyangkan tongkatnya.”
Si sekretaris yang dungu itu memahaminya secara apa adanya dan bergegas mengambil sebuah silet, Khansa’ membentaknya, “Kamu benar-benar bodoh, dia justru menyuruhmu memberiku hadiah yang banyak!” lalu ia menghampiri Al-Hajjaj dan mengatakan, “Demi Allah, ia hampir saja membunuhku.”
Tidakkah itu pula yang dilakukan orang-orang literalis yang tidak mau masuk Islam secara tulus.
Aku sendiri tak mencela orang yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam secara apa adanya dan tanpa menambah-nambahinya, karena ini memang metode ulama salaf.
Adapun kalimat-kalimat seperti ‘hadis menghendaki makna seperti ini,’ ‘dia harus ditakwili seperti ini,’ ‘Allah bersemanyam di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya,’ dan ‘Allah Turun ke langit terendah dengan Dzat-Nya,’ adalah kalimat-kalimat yang ditambahi pemahaman orang-orang yang mengatakannya, berdasarkan akal pikirannya, bukan berdasarkkan nash yang ada.
Aku benar-benar heran pada seorang pria Andalusia bernama Ibnu Abdilbar yang telah mengarang buku At- Tamhid (pendahuluan). Lewat bukunya ini ia menyebutkan hadis tentang turunnya Allah ke langit terendah lalu ia menegaskan, “Ini adalah dalil bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, karena kalau tidak seperti itu, tentu kata ‘turun’ tak punya makna apa pun.”
Itu adalah perkataan orang bodoh yang tak punya pengetahuan tentang Allah ‘Azza wa Jalla, karena ia memaknainya berdasarkan pemahamannya tentang turunnya benda konkret. Alangkah jauhnya perbedaan mereka dengan ulama-ulama hadis! Ia dan orang-orang yang sepertinya telah mengucapkan ucapan terburuk yang pernah diucapkan para penakwil, tapi kemudian mereka pun mencela para penakwil!
Wahai pencari kebenaran, ketahuilah, ada dua dalil yang bisa kita jadikan barometer dalam masalah ini: pertama, akal; kedua, naqal (nash).
Dalil naqal adalah firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syura [42]: 11). Orang yang memahami ayat ini tak akan menyifati Allah berdasarkan pertimbangan akalnya.
Sedangkan dalil akal adalah telah maklum bahwa Pembuat berbeda dengan apa-apa yang dibuatnya. Karena itu, bila apa-apa yang dibuatnya adalah baru sebab ia mengalami perubahan dan bereaksi jika ada aksi maka Pembuatnya adalah Dahulu.
Yang sangat mengherankanku adalah seorang pembantah yang tak memahami apa yang dibantahnya. Dalam hadis sahih disebutkan, “Kematian disembelih di antara surga dan neraka.” Bukankah akal yang menafikan naqal akan memaknainya dengan makna lain, karena menurutnya kematian adalah suatu sifat tambahan yang menyebabkan hilangnya kehidupan. Kalau memang demikian adanya, bagaimana mungkin ia dimatikan?
Kami lantas menanyainya, “Apa yang kaulakukan terhadap hadis ini?”
Ia pun menjawab, “Hadis ini adalah perumpamaan yang digunakan untuk menjelaskan tak berfungsinya lagi kematian.”
“Dalam hadis lain telah disebutkan, ‘Surah Al-Baqarah dan surah Ali ‘Imran akan datang laksana dua mendung,’ bagaimana menurutmu?”
“Perkataan tidak sama dengan mendung, bahkan mirip pun ia tidak.”
“Apakah engkau menolak naqal?”
“Tidak, makna hadis di atas adalah pahalanya akan datang.”
“Apa dalil yang membuatmu berpaling dari makna hakikinya?”
“Pengetahuanku yang mengatakan, ‘Perkataan tidak punya kemiripan dengan benda, dan kematian tidak disembelih seperti binatang ternak disembelih.’ Kalian semua telah mengetahui luasnya bahasa Arab, kalau begitu, mengapa kalian menolak perkataan seperti ini? Dan ulama-ulama pun telah membenarkan perkataanku, itulah pendapat kami dalam menafsiri kedatangan surat Al-Baqarah dan penyembelihan kematian.”
Maka kami pun menjawab, “Kalian telah menjauhkan dari kematian dan perkataan sesuatu yang tak sesuai dengannya, karena kalian telah mengetahui hakikatnya, tapi mengapa kalian tidak menjauhkan dari Tuhan Yang Mahadahulu sesuatu yang bisa menyerupai-Nya dengan makhluk, padahal dalil telah menunjukan kesucian-Nya dari penyerupaan tersebut?”
Si pembantah ini terus-menerus membantahi musuh-musuhnya dengan dalil-dalil seperti yang disebutkan di atas, sembari mengatakan, “Aku tidak akan pernah berhenti hingga akan dihentikan!” Dan ternyata ia memang tidak berhenti hingga ajalnya menjemput. [ ]
Sumber : Kitab Shaid Al-Khatir Nasihat Bijak Penyegar Iman, Ibnu Al Jauzi