Syahida.com – Suatu kondisi mendorongku mengiba sepenuh hati hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Karena aku tahu, yang bisa memberiku manfaat dan menjauhiku dari madharat hanyalah Dia. Usai mengiba kepada-Nya aku lantas bangkit untuk berusaha, tiba-tiba keimananku memprotesku dan mengatakan, “Apa yang kau lakukan mencederai tawakal!”
“Tidak, tidak demikian!” Jawabku, “Karena Allah telah membuat ketetapan, dan apa yang kuusahakan tak berarti apa-apa, dan keberadaan-Nya pun sama dengan ketiadaannya bila dihadapkan pada ketetapan-Nya tersebut.”
Selain itu, usaha adalah sesuatu yang diakui oleh syariat, seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata” (Q.S. An-Nisa [4]: 47).
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pun memakai dua lapis baju besi, berkonsultasi kepada tabib dan pasca pergi ke Thaif, beliau tak bisa masuk ke Mekah kecuali sesudah meminta bantuan kepada Muth’im bin Adi dengan mengatakan, “Saya akan masuk Mekah dibawah perlindunganmu.” Kalau usaha adalah sesuatu yang terlarang, tentu beliau bisa masuk dengan tawakal saja dan tanpa bantuan orang lain.
Apabila agama telah mengaitkan keberhasilannya beberapa hal pada usaha, maka keberpalinganku dari usaha-usaha yang terkait dengannya sama dengan upaya menentang ketetapan Allah. Karena itu, aku berpendapat, berobat hukumnya sunnah, berbeda dengan pendiri mazhab yang kuanut, yang menyatakan, “Tidak berobat telah lebih afdhal!” [syahida.com]
Sumber : Kitab Shaid Al-Khatir Nasihat Bijak Penyegar Iman, Ibnu Al Jauzi