Syahida.com – Banyak alasan dari masyarakat saat ini, ketika datang seorang pemuda yang ingin melamar anak perempuannya, mereka menolaknya. Mengapa? Ada yang mengatakan, karena dia berasal dari keluarga ini dan bukan keluarga itu, atau dari kalangan ini dan bukan dari kalangan itu, atau karena begini dan begitu. Suatu standar yang tidak pernah diturunkan oleh Allah.
Dalam setiap masa ada standarnya. Sebagian fuqaha’ pada masa itu ada yang mengatakan bahwa kafa’ah (kesesuaian) itu terdapat dalam nasab, harta, profesi, dan lainnya. Akan tetapi, sebagai fuqaha’ lainnya ada yang menolak syarat ini semua dan berkata, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” Jadi ukurannya adalah agama dan akhlak. Nabi menegaskan, “Apabila datang kepada kalian laki-laki yang kalian ridhai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dengannya. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan besar.” Inilah ciri orang beriman dan inilah yang harus selalu dijaga dan diperhatikan.
Diantara fuqaha’ ada yang mengatakan bahwa orang alim (berilmu) itu kufu’ (sesuai) dengan anak raja, karena ilmu mengangkat derajat pemiliknya dan memuliakannya. Apabila kita menjadikan ukuran kesesuaian pada nasab dan harta, maka berarti kita telah menjadi seperti orang-orang India yang hidup berkasta-kasta, yang mana tidak ada seorang pun yang dapat berpindah kasta. Islam menolak sistem kasta ini.
Dalam masyarakat muslim, seseorang bisa naik derajatnya dengan ilmu dan amalnya. Dan, inilah yang kita lihat sejak masa sahabat.
Atha’ bin Abu Rabah, seorang fakih dari kalangan tabi’in adalah seorang berkulit hitam, hidungnya nyeper, kakinya pincang, dan postur tubuhnya pendek, akan tetapi dia bisa duduk berdampingan dengan Sulaiman bin Abdul Malik, ketika melaksanakan ibadah hajidan berfatwa tentang manasik haji kepada semua orang. Mereka berkata, “Ilmu telah mengangkat derajatnya.”
Kita perlu meninjau kembali standar kita dalam menetapkan kafa’ah dalam pernikahan, “Yang penting adalah anak-anak kita bahagia. Kita tidak perlu mengambil standar lama, karena zaman telah berubah, kehidupan semakin berkembang, dan pola pandang pasti telah berbeda.” Padahal Allah berfirman, “Dan nikahkanlah orang-orang yan sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang patut (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur:32).
Kita harus meninjau kembali pola pandang lama, sehingga kita tidak terpaku kepada standar, “Yang penting anak kita bahagia di dunia.”
Ada beberapa faktor psikologis yang harus diperhatikan pada sebagian remaja putra, termasuk pada remaja putri itu sendiri. Sebagian remaja ada yang berhayal mendapat wanita ideal yang didambakannya untuk dijadikan istrinya. Dia menghayalkannya dengan kecantikan yang memukau dan sempurna. Akan tetapi, tidak ada dalam kenyataan. Dalam kehidupan jarang sekali kita dapatkan kesempurnaan yang mutlak. Sebagian wanita ada yang hanya cantik, atau hanya kaya atau hanya berasal dari keturunan yang baik. sedangkan wanita yang memiliki semua itu jarang sekali kita dapatkan. Karena itu, Nabi mewasiatkan kepada kita dalam sabdanya, “Nikahilah wanita karena empat hal..” (Hadits).
Wanita yang agamis harus lebih dulu di dahulukan, yaitu yang apabila engkau melihatnya dia membuatmu senang, dan jika engkau menyuruhnya dia menaatimu, serta dia menjaga dirinya ketika engkau pergi, dan takut kepada Allah dalam menjaga kehormatanmu, anak-anakmu, dan hartamu.
Allah berfirman, “Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah wanita yang taat kepada Allah lagi memlihara dirinya ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisaa’: 34). Banyak orang yang menciptakan impian-impian yang terlalu tinggi dan idealis, akan tetapi sedikit dari mereka yang dapat mewujudkannya dan berhasil.
Tidak ada gunanya hayalan-hayalan dan sikap berlebihan seperti itu. Seorang remaja putra hendaknya memilih remaja putri yang agamis dan mencari wanita shalehah yang menjaga dan melindunginya, serta hidup bahagia bersamanya. Tidak peduli apakah dari segi materi dia miskin, apabila ida memang kaya akhlak. Dalam hadits dari Aisyah dinyatakan, “Nikahilah wanita, maka akan datang harta kepadamu.”
Ketika Fatimah binti Muhammad menikah dengan Ali bin Abi Thalib, dirumahnya tidak ada lampu listrik, juga tidak ada mesin cuci otomatis, dan tidak ada vacuk celaner. Dia menyapu rumah dengan tangannya, memutar penggiling dengan tangannya karena tidak punya mesin penggiling. Mereka mengambil gandum dan mengelilingnya di atas penggiling batu hingga menjadi tepung yang halus, mengadonnya menjadi roti. Dia memikul air diatas pundaknya hingga membekas di tangannya.
Pernah pada suatu ketika dia dan suaminya pergi kepada Nabi mengadukan keadaannya dengan harapan beliau memberinya pembantu, akan tetapi Rasulullah bersabda kepada keduanya, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik dari pembantu bagi kalian berdua? Jika kalian telah kembali ke tempat tidur kalian dan kalian mau tidur, bertakbirlah tiga puluh tiga kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.”
Beliau menasihati keduanya agar mengobati rasa penat dan letihnya dengan kekuatan spiritual, yaitu berdzikir kepada Allah, dan beliau tidak memberinya seorang pembantu.
Mengapa wanita muslimah menginginkan kehidupan bermewah? Alangkah indahnya jika dia sendiri dapat membantu kesibukan suaminya, mengerjakan sendiri tugas-tugas dirumahnya, dan berjuang bersamanya menegakkan pilar-pilar rumah tangga hingga mencapai derajat tinggi?
Mengapa wanita muslimah dari awal menginginkan laki-laki kaya harta? Wallahu a’lam, apakah harta ini berasal dari yang halal atau haram?
Wanita muslimah hendaknya memulai tangga pertama dari impian-impiannya bersama suaminya, hidup bersamanya dalma perjuangan, sebagaimana wanita-wanita muslimah di masa awal Islam, seperti Fatimah Az-Zahra’, Asma’ pemilik dua selendang, dan para sahabat wanita lainnya. [syahida.com]
Sumber : Kitab Wanita dalam Fiqih, DR Yusuf Qardhawi