Syahida.com – Tentang mencintai sebelum menikah, inilah jawabannya :
Saya ingin tegaskan kembali apa yang selalu saya katakan, bahwa saya tidak memuji apa yang dikatakan oleh sebagian orang tentang pentingnya mencintai sebelum menikah, karena cara seperti ini dikhawatirkan berbahaya dan syubhat. Banyak yang memulai cara bercinta ini dengan cara yang tidak benar dan fair, seperti pacaran melalui percakapan telepon dengan pembicaraan yang tidak jelas. Pacaran melalui telepon ini kadang disambut oleh sebagian remaja putri dan ini yang biasanya terjadi dalam keluarga, tanpa disadari dan dipikirkan akibatnya, baik oleh remaja putra dan putri. Awalnya memang coba-coba, tapi kemudian ketagiha. Awalnya bercanda, tapi akhirnya serius. Kadang pacaran dilakukan oleh dua pihak yang tidak serasi dalam status sosial dan pendidikannya, sehingga keduanya dipisahkan oleh dinding pemisah dan tantangan yang menghadangnya tanpa berakhir dengan pernikahan. Dalam keadaan seperti ini, hati akan hancur berkeping-keping dan jiwa tertekan.
Saya melihat cara terbaik untuk menikah adalah cara yang dilakukan oleh masyarakat muslim Arab sebelum Barat memerangi kita, yaitu memilih calon pasangan hidupnya dengan tenang setelah mempelajari kepribadian masing-masing calon, apakah sesuai antara keduanya dan kemungkinan akan berhasil menikah. Jika sudah demikian, seorang pemuda hendaknya secara gentel datang mengetuk pintu rumah calonnya untuk menemui keluarganya. Sang pemuda melihat wanita calonnya dan wanita itu melihatnya tanpa mengetahui bahwa pemuda itu berminat padanya. Hal ini tidak lain untuk menjaga perasaanya, jika pemuda itu tidak tertarik kepadanya dan dia belum mendapatkan tempat dihatinya.
Sekalipun demikian, saya berpendapat bahwa “Apabila kapak telah menancap di kepala,” sebagaimana yang dikatakan, maka cinta telah benar-benar bersemi, lalu pemuda dan pemudi saling berhubungan. Pada saat itu, keluarga hendaknya melihatnya dengan bijaksana, penuh hikmah dan tidak semena-mena dengan pendapatnya dan menolak orang yang melamarnya tanpa sebab. Keluarga atau walinya hendaknya mengamatinya dengan baik, sebagaimana dengan yang dianjurkan oleh hadist Nabi, “Tidak, diperlihatkan kepada dua orang yang bercinta seperti diperlihatkan dalam pernikahan.” Ini berbeda sama sekali dengan apa yang dilakukakn oleh sebagian orang Arab pedalaman tentang pentingnya melarang bercinta dengan orang yang dicintainya, terutama apabila hal itu diketahui.
Islam adalah syariat yang selalu aktual. Karena itu saya melihat pentingnya membina hubungan dengan cara yang disyariatkan secara hukum untuk tujuan membentuk keluarga muslimah yang disirami dengan air cinta dan dihiasi oleh nila-nilai agama.
Yang paling diperhatikan dalam Islam dari pihak suami atau orang yang melamarnya adalah agama dan akhlak, dan keduanya merupakan faktor terpenting dalam kepribadian seorang muslimah. [syahida.com]
Sumber : Kitab Wanita dalam Fiqih, DR Yusuf Qardhawi