Syahida.com – Saudaraku! Sampai kapan kalian mengulur-ulur waktu untuk beramal? Sampai kapan kau menumpuk ambisi meraih segepok harapan hampa, tenggelam dalam luasnya kesempatan yang ada dan tidak mengingat akan ajal yang selalu datang dengan tiba tiba? Apa yang kalian bangun pasti akan hancur, semua yang kalian kumpulkan niscaya akan lenyap. Sedangkan semua amal yang pernah kalian kerjakan, akan tersimpan dalam buku-buku catatan amal untuk hari perhitungan kelak.
Umar ibnul Khaththab ra berkata, “Jangan terlena dengan firman Allah SWT:
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya.” (Al-An’aam: 160)
Sebab kejahatan itu sekalipun satu, namun ia diikuti oleh sepuluh perkara yang tercela, antara lain:
Pertama, apabila seorang hamba berbuat dosa, maka ia telah membuat Allah murka, sedang Dia Mahakuasa berbuat apa saja kepadanya.
Kedua, dengan berbuat dosa itu berarti orang itu telah membuat senang Iblis, semoga Allah melaknatnya.
Ketiga, ia telah menjauh dari surga.
Keempat, ia telah didekatkan kepada api neraka.
Kelima, ia telah menyakiti sesuatu yang amat di cintainya yaitu dirinya.
Keenam, ia telah menodai fitrahnya yang sebelumnya suci.
Ketujuh, ia telah menyakiti malaikat Hafazhah
Kedelapan, ia membuat sedih Nabi SAW di dalam kuburnya.
Kesembilan, ia memamerkan kemaksiatannya kepada penghuni langit dan bumi.
Kesepuluh, ia menghianati seluruh anak cucu Adam dan mendurhakai Tuhan semesta alam.
Simaklah penuturan Dzun Nun al-Mishri berikut ini.
“Suatu hari aku pergi ke Hejaz sendirian, dan di tengah perjalanan, tahu-tahu aku tersesat di suatu padang pasir, sedang bekalku telah habis hingga aku hampir mati kelaparan. Namun tiba-tiba terlihat olehku sebuah pohon di tengah padang pasir. Dahan-dahannya rendah, rantingnya menjulur ke bawah dengan dedaunan yang lebat. Aku lantas berkata sendiri: Aku akan berjalan ke arah pohon itu dan akan bernaung di bawahnya hingga Allah memutuskan apa yang akan terjadi.
Ketika aku telah sampai di pohon itu dan hendak duduk berlindung dibawahnya, tiba-tiba tempat minumku tersangkut pada sebuah rantingnya dan sisa air yang tinggal sedikit itu pun tumpah. Padahal sisa air itu akan aku gunakan untuk mempertahankan sisa sisa nafasku. Maka aku pun yakin akan mati. Dengan pasrah aku rebahkan tubuhku dibawah pohon itu, menunggu malaikat maut yang akan mencabut nyawaku. Namun tiba-tiba terdengar suara rintihan, ‘Tuhanku, jika kondisiku ini membuat Engkau ridha kepada-Ku, maka tambahkanlah penderitaan ini agar Engkau tambah ridha kepadaku, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.’
Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah suara itu. Kulihat seorang pemuda tampan tergeletak di atas pasir. Sementara burung nasar tampak mengintai, siap memangsa daging dari tubuh yang terkulai lemah itu. Aku mengucapkan salam kepadanya, dan dia menjawab salamku, lalu berkata, ‘Hai Dzun Nun, ketika bekalmu telah habis dan air telah tumpah, engkau telah yakin akan mati dan binasa.’
Aku lalu duduk di dekat kepalanya, sambil menangis karena larut dalam tangisannya dan prihatin dengan kondisinya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Di saat-saat genting seperti itu, aku mendadak melihat sebuah nampan berisi makanan telah tergeletak di hadapanku. Pemuda tampan yang sedang kepayahan itu lalu menghentak bumi dengann tumitnya, dan tiba-tiba mata air terpancar, warnanya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Ia kemudian berkata kepadaku, ‘Hai Dzun Nun, aku butuh bantuanmu. Jika kamu bisa membantuku, maka kamu akan memperoleh pahala dari Allah Ta’ala.’
Aku bertanya, ‘Apa yang bisa saya bantu?’ Orang itu lalu berkata, ‘Apabila aku mati, maka mandikan aku dan kafani. Dan tutupi aku dari pandangan binatang buas dan burung. Kemudian barulah engkau melanjutkan perjalananmu. Apabila kamu telah menyelesaikan haji, kemudian sampai di kota Baghdad, masuklah dari pintu gerbang Za’faran. Di sana engkau akan mendapati anak-anak sedang bermain-main dengan mengenakan pakaian beraneka rupa. Engkau akan mendapati pula di sana seorang anak yang masih belia yang tidak disibukkan oleh apa pun selain zikir kepada Allah Ta’ala. Ia mengikat pinggangnya dengan sobekkan kain dan meletakkan sobekkan kain lainnya diatas pundaknya. Sedang di wajahnya terdapat dua garis hitam karena bekas air mata. Jika engkau menemukannya, itulah anakku dan belahan jiwaku. Maka sampaikan salamku kepadanya.’
Ketika ia telah selesai berbicara, aku lalu mendengarnya mengucapkan dua kalimat syahadat: Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah. Ia lalu menarik nafasnya satu kali dan meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya. Maka aku lalu mengucapkan, Inna lillahi wa innaa ilahi raaji’uun. Saat itu aku memiliki gamis yang aku simpan di tas barangku. Aku cuci gamis itu dengan air yang memancar kemudian menguburkannya.
Setelah itu, aku melanjutkan perjalanan ke Baitullah yang suci, menyelesaikan seluruh manasik haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah selesai berziarah, aku pun berangkat menuju kota Baghdad dan sampai dis ana tepat pada saat hari raya. Tiba-tiba aku melihat anak-anak kecil sedang bermain-main dengan mengenakan berbagai macam pakaian. Aku pun perhatikan mereka, dan mataku tertuju dengan seorang anak seperti yang digambarkan oleh orang yang aku kuburkan itu. Anak itu sedang duduk berzikir kepada Zat yang Maha Mengetahui alam gaib, tidak terusik oleh teman-temannya yang asyik bermain. Di wajahnya tampak tanda-tanda kesedihan dan dua garis hitam bekas tangisan. Saat itu ia mengucapkan,
Seluruh manusia gembira dengan hari raya
Dan aku gembira dengan Zat Yang Mahaesa
Semua manusia telah berhias untuk hari raya
Dan aku berhias dengan pakaian kerendahan dan duka
Seluruh manusia mandi untuk menyambut hari raya
Dan aku mandi dengan air mata duka
Aku kemudian mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku dan berkata, ‘Selamat datang utusan ayahku!’
Aku heran darimana ia tahu bahwa aku di utus oleh ayahnya yang kini sudah meninggal? ‘Siapa yang memberitahumu kalau aku adalah utusan bapakmu?’ tanyaku.
Ia menjawab, ‘Yang memberitahuku adalah orang yang telah engkau kubur di padang pasir itu, wahai Dzun Nun. Apakah engkau mengira bahwa engkau mengubur bapakku di padang pasir? Demi Allah, bapakku telah diangkat ke Sidratul Muntaha. Mari kita pergi sekarang untuk menemui nenekku.’
Ia menggandeng tanganku dan berjalan bersama kerumahnya. Ketika sampai di depan pintu, ia mengetuknya dengan perlahan. Seorang wanita tua keluar menemui kami. Ketika melihatku, ia menyambut, ‘Selamat datang orang yang beruntung, yang telah melihat wajah orang yang aku cintai dan penyejuk mataku.’
Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Siapa yang telah memberitahumu bahwa aku telah melihatnya?’ Ia menjawab, ‘Aku diberitahukan oleh orang yang engkau telah kafani itu. Kain kafan itu telah dikembalikan kepadamu, wahai Dzun Nun. Demi kemuliaan Tuhanku dan keagungannya-Nya, bahwa sobekan kain anakku dijadikan kebanggaan oleh Allah di hadapan para malaikat di langit tertinggi. Wahai Dzun Nun, ceritakan kepadaku, bagaimana engkau meninggalkan anakku yang tercinta, penyejuk mataku dan belahan jiwaku?
Aku berkata, ‘Aku meninggalkannya di tengah padang luas dan sunyi, diantara pasir-pasir dan bebatuan panas, setelah ia mendapatkan apa saja yang ia harapkan dari Tuhan Yang Mahaperkasa dan Mahapengampun.’
Dan ketika nenek tua itu mendengar ceritaku, ia kemudian memeluk cucunya yang masih belia tersebut ke dadanya, lalu menghilang dari pandanganku. Aku tidak tahu apakah keduanya naik ke langit atau turun ke perut bumi. Aku lalu mencari keduanya di sudut-sudut rumah, namun tidak mendapatkan mereka. Tak lama kemudian aku mendengar suara, ‘Wahai Dzun Nun, jangan membuat dirimu capai. Mereka telah dicari oleh para penguasa, namun tidak ditemukan.’
Aku bertanya pada suara itu, ‘ Lalu kemana mereka?’ Suara itu menjawab, ‘Sesungguhnya para syuhada itu meninggal dengan pedang orang-orang musyrik, sedang para pecinta itu memanggil karena kerinduan kepada Tuhan Semesta Alam. Lalu mereka dibawa dengan kendaraan cahaya ke sebuah tempat khusus di sisi Raja yang Mahakuasa.’
Aku kemudian memeriksa tas kulit barangku dan aku menemukan kembali kain kafan yang aku pergunakan untuk mengafani mayat yang aku kuburkan di padang pasir itu, dalam keadaan terlipat seperti semula.” [Syahida.com]
Sumber : Kitab Padamkan Api Neraka dengan Air Matamu, Ibnu Jauzi