Syahida.com – Banyak kerusakan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang keislamannya didapat karena warisan orang tua semata. Diantara kerusakan tersebut adalah ada sebagian dari mereka yang mencampur adukkan pemikiran dan perasaan pribadi mereka ke dalam ajaran Islam. Sebagian dari mereka ada yang menyangka bahwa seseorang yang berhati keras, kaku dalam berinteraksi sosial baik di keluarganya maupun di masyarakatnya, yang demikian itu adalah ajaran Islam. Sebagian lain menyangka, bahwa seseorang yang berhati sempit, bermulut besar, dan suka permusuhan itulah Islam.
Diantaranya juga: Pandangan sempit sebagian laki-laki terhadap wanita. Pandangan sempit tersebut menghasilkan sikap keras, anti toleransi, mudah berprasangka buruk, dan sikap merendahkan lawan jenis. Hasil dari semua itu, laki-laki memandang wanita hanya sebagai alat pemuas dan pelayan bagi kaum laki-laki.
Mereka tidak mengetahui betapa agama Islam demikian memuliakan kaum wanita; sebagai manusia, sebagai anak perempuan, sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai bagian dari anggota masyarakat. Cukuplah firman Allah, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Ali Imran: 195)
Maka firman-Nya, “...sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain” adalah laki-laki bagian dari wanita dan wanita bagian dari laki-laki; satu sama lainnya saling melengkapi dan menyempurnakannya; wanita tidak bisa hidup tanpa laki-laki dan sebaliknya. Keduanya sama di mata syariat. Tidak pada satu tempat, Al Qur’an menyebutkan kata-kata: “Kaum muslimin laki-laki dan kaum muslimat wanita, kaum mukminin laki-laki dan kaum mukminat wanita, kaum qanitin (taat) laki-laki dan kaum qanitat wanita.”
Pada masa Rasulullah, masjid berfungsi sebagai media pertama bagi para wanita untuk mempelajari agama Islam. Bahkan sebagai tempat bertemu dan berkumpul dengan wanita lainnya dalam shalat jamaah dan Jum’at.
Kewajiban menghidupkan fungsi Masjid ini dibebankan kepada setiap muslim dan muslimah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika kewajiban ini diabaikan, maka Islam akan punah. Tidak ada lagi yang disebut umat. Bendera telah diturunkan. Tidak ada yang tersisa.
Tidak sedikit dari akhwat yang mengadu. Para wanita itu umumnya cerdas dan sedang dalam usia belajar. Kemudian mereka menikah dengan laki-laki pekerja di perkebunan muslim. Setelah menikah suaminya melarang mereka keluar rumah dan aktif dalam kegiatan dakwah, padahal medan dakwah sangat membutuhkan kehadiran kaum wanita selain keberadaan kaum laki-laki.
Tetapi, kecerdasan wanita yang mestinya disalurkan ini hendaknya tidak mengalahkan keberadaan suaminya dan anak-anak. Sebuah kebijaksanaan jika memberi setiap yang berhak sesuai dengan haknya. Jika hak suami adalah menegakkan tiang rumah tangga, maka hendaknya dia menggunakan haknya tersebut. Jika tidak, maka akan berdampak negatif. Tidak ada kesempitan di dalam Islam dan tidak ada upaya penyempitan. [Syahida.com]
Sumber : Kitab WANITA DALAM FIQIH