Syahida.com – Banyak sekali sikap yang berbeda dari berbagai kelompok dalam memaknai hadist tersebut. Kalangan Qadariyah menolak hadist ini, karena menyebutkan adanya takdir yang sudah ada sejak zaman azali.
Sebaliknya, hadist ini menjadi pijakan di kalangan Jabariyah, karena memang secara gamblang hadist ini menyebutkan, “Adam akhirnya mengalahkan Musa,” Adam beralasan pada takdir yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Tanggapan mengenai pandangan ini akan disampaikan selanjutnya.
Yang lain berpendapat, Adam mengalahkan hujah Musa karena Musa mencela Adam atas suatu dosa yang Adam sudah bertobat dari dosa tersebut, dan orang yang bertobat laksana orang yang tidak memiliki dosa.
Menurut pendapat lain, Adam mengalahkan hujah Musa karena Adam lebih tua dan lebih dulu ada sebelum Musa. Yang lain berkata, karena Adam adalah ayah Musa. Ada juga yang mengatakan, karena syariat mereka berdua berbeda. Ada yang beralasan, karena keduanya berada di dalam Barzakh, dan taklif sudah tidak lagi berlaku di sana menurut mereka.
Jelasnya, hadist ini diriwayatkan dengan banyak sekali bentuk mantan berbeda, sebagian lainnya diriwayatkan secara makna, dan hadist ini masih perlu didiskusikan.
Inti sebagian besar matan-matan hadist ini dalam kitab Shahihain dan kitab-kitab lain menyebutkan, Musa mencela Adam karena telah mengeluarkan dirinya sendiri dan juga keturunannya dari surga, Adam kemudian berkata pada Musa, “Bukan aku yang mengeluarkan kalian dari surga, yang mengeluarkan kalian dari sana adalah yang membuatku keluar dari sana karena memakan pohon yang dilarang untuk kumakan, Dialah yang memberlakukan, menakdirkandan menentukan hal itu sebelum aku diciptakan. Dia adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Kau mencelaku atas suatu hal tidak lebih dari karena dilarang memakan buah pohon tersebut, tapi aku memakannya. Adanya aku dikeluarkan dari surga karena kesalahan itu, sama sekali bukan tindakanku. Bukan aku yang mengeluarkan kalian dan juga diriku sendiri dari surga. Ini sepenuhnya karena takdir dan perbuatan Allah. Ia punya hikmah di balik semua itu.” Dengan alasan ini, Adam mengalahkan Musa.”
Siapa pun mendustakan hadist ini, berarti menentang kebenaran dengan sadar, karena hadist ini diriwayatkan secara mutawattir dari Abu Hurairah. Cukuplah Abu Hurairah sebagai perawi yang adil, hafizh dan ahli.
Hadist ini juga diriwayatkan dari sahabat lain, seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.
Bagi yang menakwilkan hadist ini dengan berbagai makna seperti telah disinggung sebelumnya, semua itu keliru baik dari sisi literal maupun kandungannya. Toh masih banyak yang hujahnya kebih kuat dari kari kalangan Jabriyah.
Pandangan Jabariyah terkait hadist ini bisa ditanggapi sebagai berikut:
Pertama; Musa tidak mencela atas suatu dosa yang pelakunya sendiri telah bertobatdari dosa itu.
Kedua; Musa sendiri pernah membunuh nyawa yang tidak diperintahkan untuk dibunuh. Musa kemudian memohon ampunan kepada Allah, seperti yang Allah sampaikan dalan firman-Nya, “Dia (Musa) berdia, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kau telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang’.” (Al-Baqarah: 16).
Ketiga; Andai takdir terdahulu dijadikan kambing hitam atas kesalahan dan dosa yang dilakukan seorang hamba, tentu bisa dijadikan justifikasi bagi siapa pun yang telah melakukan dosa, lalu yang bersangkutan menyalahkan takdir, sehingga qishas dan hudud tidak bisa dilaksanakan. Andai takdir bisa disalahkan dan dijadikan hujah, tentu menjadi pembenaran bagi siapa pun untuk melakukan dosa-dosa besar ataupun kecil. Itu tentu saja akan menjurus pada banyak sekali konsekuensi mengerikan. Itulah kenapa ulama berkata bahwa Adam hanya berhujah pada takdir atas suatu musibah, bukan atas kemaksiatan. Wallahu a’lam. [Syahida.com]
– Bersambung…
Sumber : Kitab Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, Kisah 31 Nabi dari Adam Hingga Isa, Versi Tahqiq