Syahida.com – Asbabun Nuzul Q.S. 22 al-Hajj: 52.
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukan oleh setan itu, dan Allah menguatkan Ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: 22 al-Hajj: 52)
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Nabi saw. di Mekah membaca surah, Wan najmi idza hawa (Demi Bintang ketika terbenam) sampai ayat, A fa ra-aitumul lata wal uzza wa mantast tsalisatai ukhra {Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggu al-Lata dan al-‘Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)} (QS: 53: an-Najm: 1-20), setan menyelipkan pada lidah beliau, Tilkal gharaniqul ‘ula wa inna syafa’ata-hunna la turtaja (Itulah berhala-berhala yang paling mulia dan syafaatnya benar-benar diharapkan). Berkatalah kaum musyrikin: “Dia belum pernah menyebut-nyebut dan memuji tuhan kita sebelum ini.” Setelah sampai pada ayat sajdah, nabi saw. sujud dan mereka pun mengikutinya. Maka turunlah ayat ini (QS: 22 al-Hajj: 52) sebagai penegasan bahwa setan selalu berusaha membelokkan apa-apa yang ditugaskan kepada para nabi dan rasul, tetapi Allah melindunginya dari gangguan setan. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnul Mundzir dengan sanad yang shahih, yang bersumber dari Sa’id bin jubair. Diriwayakan pula oleh al-Bazzar dan Ibnu Marsuwaih, melalui jalan lain dari Said bin Jubair, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas].
KETERANGAN:
Menurut al-Bazzar, riwayat-riwayat yang menyebutkan gharaniqul ‘ula tidak ada yang muttashil (yang sampai kepada Nabi saw) kecuali sanad yang ia riwayatkan. Bersambungnya riwayat ini melalui rawi tunggal, yaitu Umayyah bin Khalid, dan ia termasuk rawi yang dapat dipercaya dan masyhur. Pendapat ini menjadi pegangan as-Suyuthi.
Hadits semakna diriwayatkan pula al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang rawinya antara lain al-Waqidi; diriwayatkan pula oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu Abbas; diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari al-‘Aufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas; diriwayatkan pula oleh Ibnu Ishaq di dalam Kitab as-Sirah, dari Muhammad bin Ka’b dan Musa bin ‘Uqbah, dari Ibnu Syihab; diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ka’b dan Muhammad bin Qais; dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-Suddi. Riwayat-riwayat tersebut memiliki makna yang sama dan semuanya daif atau munqathi’, kecuali dari sumber Sa’id bin Jubair pada Riwayat yang disebut pertama.
Menurut Ibnu Hajar,banyaknya sanad dalam riwayat ini menunjukkan bahwa kisah ini mempunyai sumber. Disamping itu terdapat dua sanad yang shahih tapi mursal yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yang satu dari az-Zuhri yang bersumber dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman bin al-Harits bin Hisyam, dan yang satunya lagi dari Dawud bin Hind yang bersumber dari Abul ‘Aliyah.
Adapun perkataan Ibnul ‘Arabi dan ‘Iyadl yang menyatakan bahwa riwayat ini semuanya palsu dan tidak bersumber, tidaklah dapat dijadikan pedoman. [Syahida.com]
Sumber : Kitab Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an), K.HQ Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk.