Syahida.com – Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya menuturkan kisah yang hampir mirip. Ia menyatakan, “Zaid bin Habbab bercerita kepada kami, Abu Mudzir Salam bin Sulaiman An-Nahwi bercerita kepada kami, Ashim bin Abu Najud bercerita kepada kami, dari Abu Wa’il, dari Harist, bin Hassan, yang lain menyebut Ibnu Zaid Al-Bakri, ia berkata, ‘Aku pergi untuk mengadukan Alla’ bin Al-Hadhrami kepada Rasulullah SAW, lalu aku melintas di Rabdzah. Di sana ada seorang wanita tua renta dari Bani Tamim tinggal seorang diri. Wanita tua itu kemudian berkata, ‘Hai Hamba Allah! Aku punya keperluan dengan Rasulullah SAW, bisakah kau membawaku untuk menemui beliau?’ Aku kemudian menggendong wanita tua itu hingga tiba di Madinah. Saat itu Masjid penuh orang, panji hitam berkibar, dan Bilal mengalungkan pedang di hadapan Rasulullah SAW. Aku kemudian bertanya, “Ada apa ini?” Mereka berkata, ‘Amr bin Ash hendak diutus ke suatu tempat.’
Aku kemudian duduk, Rasulullah SAW masuk rumah atau tenda lalu aku meminta izin masuk untuk menemui beliau. Aku kemudian masuk, lalu mengucapkan salam. Beliau lantas bertanya, ‘Adakah suatu keperluan antara kalian dengan Bani Tamim?’ ‘Ya. Kami memang serius berperang melawan Bani Tamim. Aku berpapasan dengan seorang wanita tua dari Bani Tamim yang tinggal seorang diri. Ia memintaku untuk menggendongnya dengan maksud untuk menemuimu, orangnya sekarang berada di depan pintu.’ Rasulullah SAW mempersilakan si wanita tua masuk, ia kemudian masuk. Ia marah, duduk dengan gelisah dan tidak tenang, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah orang terdesak (memohon pertolongan)?’
Aku menyela pembicaraan dan mengatakan, ‘Sungguh, aku ini seperti yang dikatakan orang-orang terdahulu, ‘Ma’za membawa kematiannya.’ Aku menggendong ibu tua ini tanpa aku sadari bahwa ia adalah musuhku. Aku berlindung kepada Allah dan rasul-Nya bahwa ia menjadi musuhku aku berlindung kepada Allah dan rasul-Nya jika aku menjadi utusan seperti utusan kaum Ad.’
Rasulullah SAW bertanya, ‘Jelaskan, siapa itu utusan kaum Ad?’ Rasulullah SAW sebenarnya lebih tahu kisah tentang utusan kaum Ad menuturkan, ‘Kaum Ad tertimpa kemarau hebat, mereka kemudian mengirim seorang utusan bernama Qail. Ia kemudian berpapasan dengan Mu’awiyah bin Bakar dan singgah di tempatnya selama sebulan. Mu’awiyah memberinya khamr. Dua budak wanita menyanyi untuknya, keduanya bernama Jaradah. Setelah sebulan berlalu, Qail pergi menuju gunung Tihamah, ia kemudian berdoa, ‘Ya Allah! Sungguh Engkau tahu, aku datang bukan untuk menjenguk orang sakit ataupun menebus tawanan. Ya Allah! Berilah kaum Ad hujan seperti sedia kala.’
Awan-awan hitam kemudian berlalu, lalu ada yang menyerukan, ‘Silahkan kau pilih yang mana.’ Qail menunjuk awan hitam, kemudian ada yang menyerukan, ‘Ambillah abu yang membinasakan ini, abu yang tiada akan menyisakan seorang Ad pun.’ Abu Wa’il meneruskan, ‘Menurut riwayat yang sampai padaku, setelah angin tersebut mendekat seukuran cincinku ini, mereka semua binasa.’
Abu Wa’il menuturkan, ‘Ia, Harist, benar. Setelah itu, setiap kali ada yang mengirim utusan, mereka berkata, ‘Jangan menjadi seperti utusan kaum Ad’.”
Hadist yang sama juga diriwayatkan At-Tirmidzi dari Abd bin Humaid, dari Zaid bin Habbab, dengan matan yang sama. Juga diriwayatkan An-Nasa’i dari hadits Salam Abu Mundzir, dari Ashim bin Bahdalah. Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini melalui jalur Ashim bin Bahdalah. Hadist dan kisah ini juga disebutkan oleh sejumlah mufassir, seperti Ibnu Jarir dan lainnya, saat menafsirkan kisah ini.
Mungkin kisah yang dimaksud adalah kisah kebinasaan kaum Ad terakhir, karena kisah yang disampaikan Ibnu Ishaq dan lainnya menyebut Mekkah, padahal kota Mekkah baru didirikan setelah masa Ibrahim Al-Khalil kala menempatkan Hajar dan putranya, Isma’il, disana. Setelah itu kabilah Jurhum ikut menetap di sana, seperti yang akan dijelaskan berikutnya. Berbeda dengan kaum Ad pertama. Kaum Ad pertama adanya sebelum masa Ibrahim. Di samping itu, kisah kaum Ad di atas menyebut Mu’awiyah bin Bakar dan bait-bait syair. Bait-bait syair ini dituturkan jauh setelah masa kaum Ad pertama, juga tidak mirip kata-kata kaum terdahulu. Kisah ini juga menyebut awan yang dikirim berisi kobaran api, sementar angin yang membinasakan kaum Ad pertama adalah angin dingin. Ibnu Mas’ud , Ibnu Abbas dan para Imam Tabi’in lain menafsirkan, sharshar artinya dingin, dan ‘atiyah artinya berhembus dengan kencang.
“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus,” yaitu tujuh malam delapan hari secara penuh dan terus-menerus,” yaitu tujuh malam delapan hari secara penuh dan terus menerus. Menurut salah satu sumber, di mulai dari hari Jum’at. Yang lain menyebut hari Rabu.
“Maka kamu melihat kaum Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (Al-Haqqah: 6-8). Mereka disamakan seperti batang-batang pohon kurma tanpa pelepah dan bagian atas, karena angin kencang menerpa salah seorang dari mereka lalu ia terangkat ke udara, kemudian ia dilemparkan dengan terjungkal, kepala tepat di bawah hingga pecah, tubuhnya tergeletak tanpa kepala, seperti yang Allah sampaikan dalam ayat berbeda, “Sesungguhnya, Kami telah menghembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus.” (Al-Qamar: 19). Yaitu pada hari nahas bagi mereka, siksa terus menimpa mereka tanpa henti.
“Yang membuat manusia bergelimpang, mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya.” (Al-Qamar: 20). Siapa yang menyatakan bahwa hari Rabu adalah hari nahas dan merasa dial pada hari ini berdasarkan pemahaman tersebut, ia keliru dan menyalahi Al-Qur’an, karena dalam ayat berbeda Allah SWT berfirman, “Maka Kami tiupkan angin yang sangat bergemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang nahas.” (Fushshilat: 16). Seperti diketahui, siksaan terjadi selama delapan hari berturut-turut. Jika yang dimaksud adalah hari nahas, berarti tujuh dalam sepekan semuanya membawa kesialan. Tidak seorang pun berkata seperti itu.
Allah SWT berfirman, “Dan (juga) pada (kisah kaum) Ad, ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan.” (Adz-Dzariyat: 41). Yaitu angin yang tidak menghasilkan kebaikan, karena angin seorang diri tidak akan bisa menggiring awan ataupun menyerbukkan tanaman. Hanya angin yang membinasakan dan tidak menghasilkan kebaikan. Karena itu Allah SWT berfirman, “ (Angin itu) tidak membiarkan suatu apa pun yang dilandanya, bahkan dijadikannya seperti serbuk.” (Adz-Dzariyat: 42). Yaitu laksana sesuatu yang usang dan sama sekali tidak bisa dimanfaatkan.
Disebutkan dalam kitab Shahihain dari hadits Syu’bah, dari Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Aku diberi pertolongan dengan angin timur, sementara kaum Ad dibinasakan dengan angin barat.”
Adapun firman Allah SWT, “Dan ingatlah (Hud) saudara kaum Ad ketika dia mengingatkan kaumnya tentang bukit-bukit pasir dan sesungguhnya telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan setelahnya (dengan berkata), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, aku sungguh khawatir nanti kamu ditimpa azab pada hari yang besar’.” (Al-Ahqaf: 21). Secara lahir, Ad yang dimaksud adalah kaum Ad pertama, karena rangkaian kisahnya mirip dengan kisah kaum Hud, dan mereka adalah generasi manusia pertama. Kemungkinan lain kaum yang disebutkan dalam kisah ini adalah kaum Ad kedua, seperti telah ditunjukkan oleh penjelasan kami sebelumnya, juga berdasarkan hadits dari Aisyah yang akan disebut berikutnya.
Firman Allah SWT, “Maka ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan bagi kita’.” Saat kaum Ad melihat sesuatu yang terbentuk di langit seperti awan azab. Mereka yakin awan tersebut awan rahmat, padahal sebenarnya awan siksa. Mereka mengharapkan kebaikan di balik awan itu, tapi yang mereka dapatkan justru puncak keburukan. Allah SWT berfirman, “(Bukan!) Tetapi itulah azab yang kamu minta agar disegerakan datangnya,” yaitu siksa yang kalian minta untuk disegerakan. Setelah itu Allah menjelaskan dengan firman-Nya, “(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih’.”(Al-Ahqaf:24).
Kemungkinan, azab ini adalah angin sangat dingin yang berhembus dengan kencang yang menimpa mereka selama tujuh malam delapan hari berturut-turut, hingga tak seorang pun di antara mereka tersisa. Angin terus membuntuti mereka hingga masuk ke dalam gua-gua pegunungan, mengeluarkan lalu membinasakan mereka semua. Menghancurkan rumah-rumah dan bangunan-bangunan kokoh. Karena mereka menyombongkan kekuatan dengan mengatakan, “Siapa yang lebih kuat dari kami?” Allah akhirnya menguasakan sesuatu yang jauh lebih kuat dan lebih kuasa untuk menimpa mereka, yaitu angin yang membinasakan.
Kemungkinan angin ini menimbulkan angin kencang pada akhirnya. Yang masih tersisa di antara mereka mengira bahwa itu adalah awan rahmat dan pertolongan. Namun, Allah mengirim kobaran api untuk mereka, seperti yang disebutkan sejumlah mufassir. Siksa ini sama seperti yang pernah menimpa penduduk Madyan. Azab berupa angin sangat dingin dan siksa api menyatu untuk mereka. Inilah bentuk siksaan yang paling berat, karena ditimpa dua hal berlawanan, selain suara menggemuruh seperti yang disebutkan dalam surah Al-Mukminun. Wallahu a’lam.
Ibnu Abi Hatim menuturkan, “Ayahku bercerita kepada kami, Muhammad bin Yahya bin Dharis bercerita kepada kami, Ibnu Fudhail bercerita kepada kami, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, ia mengatakan, ‘Rasulullah SAW menuturkan, ‘Angin yang Allah kirimkan untuk kaum Ad hingga membuat mereka binasa tidak lain hanya sebesar tempat cincin. Angin ini melintasi penduduk pedalaman, lalu membawa mereka beserta hewan ternak dan harta benda mereka terbang di antara langi dan bumi. Kemudian saat penduduk kaum Ad di perkotaan melihat angin beserta isinya, mereka berkata, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.’ Lalu angin tersebut melemparkan para penduduk pedalaman dan hewan-hewan ternak mereka kepada penduduk perkotaan’.”
Hadist ini juga diriwayatkan Thabrani dari Abdan bin Ahmad, dari Isma’il bin Zakariya Al-Kufi, dari Abu Malik, dari Muslim Al-Mala’i, dari Mujahid dan Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, “Rasulullah SAW menuturkan, ‘Angin yang Allah kirimkan untuk kaum Ad hingga membuat mereka binasa tidak lain hanya sebesar tempat cincin. Allah kemudian mengirim penduduk pedalaman (yang terbawa di pusaran angin) kepada penduduk perkotaan. Saat penduduk perkotaan melihatnya, mereka mengatakan, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita, datang mengarah ke lembah-lembah kita.’ Pada penduduk pedalaman berada dalam pusaran angin itu, lalu para penduduk pedalaman dilemparkan ke arah penduduk perkotaan, hingga mereka semua binasa’.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Angin menimpa harta-harta simpanan mereka hingga melesat dari sela-sela pintu.” Saya (Ibnu Katsir) sampaikan, “Selain Ibnu Abbas mengatakan, ‘Hingga harta-harta simpanan mereka melasat tanpa perhitungan.”
Intinya, hadist ini perlu dicermati lebih jauh jika dinyatakan marfu’. Di samping itu, perawi bernama Muslim Al-Mala’i juga diperdebatkan, dan hadist ini kacau. Wallahu a’lam.
Tekstual ayat menyebutkan, kaum Ad melihat azab itu datang menghampiri, secara etimologi bisa dipahami bahwa azab tersebut berupa wan, sepeti ditunjukkan dalam hadist bin Hassan Al-Bakri, jika memang kita menbih tegas lagi, jadikan hadist ini sebagai penafsiran kisah di atas.
Lebih tegas lagi disebutkan dalam riwayat Muslim dalam kitab Shahih, ia menyatakan, “Abu Bakar Ath-Thahir bercerita kepada kami, Abu Wahab bercerita kepada kami, ia berkata, ‘Aku mendengar Ibnu Juraji meriwayatkan dari Atha’ bin Abu Rabbab, dari Aisyah r.a, ia menuturkan, “Setiap kali angin berhembus, Rasulullah SAW berdoa, ‘Ya Allah! Sungguh aku memohon kepada-Mu kebaikan yang ada padanya, dan kebaikan yang Kau kirimkan bersamanya. Aku berlindung kepada-Mu keburukan dari angin ini, keburukan yang ada padanya, dan keburukan yang Kau kirimkan bersamanya.’ Aisyah meneruskan, ‘Ketika langit gelap berawan, rona muka beliau berubah, beliau keluar masuk (rumah), datang dan pergi. Dan ketika turun hujan, beliau merasa senang.’ Aisyah mengetahui hal itu, lalu ia bertanya kepada beliau. Beliau menjelaskan, “Wahai Aisyah! Mungkin awan itu seperti yang dikatakan kaum Ad, ‘Maka ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita’.”
Juga diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu dari Majah dari hadist Ibnu Juraji.[1]
Bersumber dari jalur berbeda; Imam Ahmad menuturkan, “Harun bin Ma’ruf bercerita kepada kami, Abdullah bin Wahab memberitakan kepada kami, Amr bin Harits memberitakan kepada kami, bahwa Abu Nadhr bercerita kepadanya, dari Sulaiman bin Yasar, dari Aisyah, ia menuturkan, ‘Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW tertawa terbahak-bahak sampai terlihat uvula (anak lidah/anak tekak) beliau, beliau hanya tersenyum.’
Aisyah meneruskan, ‘Saat beliau melihat awan atau angin, hal itu bisa diketahui melalui rona wajah beliau. Aisyah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Ketika orang-orang melihat awan, mereka senang dengan harapan membawa hujan. Namun setahuku saat engkau melihatnya, terlihat rona tidak suka di wajahmu?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Aisyah! Tidak ada yang memastikan untukku bahwa di dalamnya tidak ada azab! Sungguh, kaum Nuh disiksa dengan angin kencang. Suatu kaum juga pernah melihat azab, namun mereka mengatakan, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita’.”
Hadist tersebut secara tegas menyebut dua kisah berbeda, seperti yang sudah pernah saya singgung sebelumnya. Dengan demikian, kisah yang disebutkan dalam surah Al-Ahqaf adalah mengisahkan kaum Ad kedua, sedangkan kisah-kisah lainnya yang disebutkan dalamAl-Qur’an menuturkan tentang kaum Ad pertama. Wallahu a’lam bish shawab.
Hadist serupa juga diriwayatkan Muslim dari Harun bin Ma’ruf, sementara Imam Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkannya dari hadist Ibnu Wahab.[2]
Kisah ibadah haji yang dilakukan Hud sudah kami sebut sebelumnya saat menuturkan kisah ibadah haji yang disampaikan Nuh. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, ia menyebut ciri-ciri makam Hud A.S di Yaman. Yang lain menyebut, makam Hud terdapat di Damaskus. Sebagian orang mengatakan, makam Hud terletak tepat di sebuah dinding kiblat Masjid Jami’ Damaskus. Wallahu a’lam. [Syahida.com]
1. Muslim dalam kitab Shahih-nya, kitab: Meminta hujan, bab: Memohon perlindungan kala melihat angin kencang dan mendung. At-Tirmidzi dalam tafsir surah Al-Ahqaf, Ibnu Majah dalam kitab: Doa, bab: Bacaan yang diucapkan seseorang kala melihat awan dan hujan.
2. Bukhari, kitab: Tafsir, Bab: Tafsir surah Al-Ahqaf, Muslim, kitab: Meminta hujan, bab: Memohon perlindungan kala melihat angin kencang, Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab: Adab, bab: Bacaa yang diucapkan ketika angin berhembus dengan kencang.
TAMAT
Sumber : Kitab Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, Kisah 31 Nabi dari Adam Hingga Isa, Versi Tahqiq