Syahida.com – Bismillahirrahmaanirrahiim. Namaku James D. Frankel. Aku akan menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku seorang professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar kelas Islam di Universitas Hawaii, Manoa. Dan aku tinggal di Hawaii selama 2 tahun, sekarang memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim memintaku apakah aku bisa menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah aku dapat melakukannya hari ini dan jika ini bermanfaat bagi siapapun, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.
Berasal dari Keluarga Yahudi
Seperti yang kuberitahu, aku tiba di Hawaii 2 tahun yang lalu. Sebelumnya, aku hidup di kota New York. Aku dilahirkan dan dibesarkan di kota New York, lahir pada tahun 1969, dan tumbuh di Kota Manhattan, juga di Brooklyn selama beberapa tahun hidupku. Aku mempunyai keluarga dan hidup yang bahagia. Orangtuaku membesarkanku tidak dengan agama manapun, tapi kurasa dengan beberapa nilai-nilai moral dasar. Sebenarnya dilihat dari garis keturunan, latar belakangku adalah Yahudi, tapi aku dibesarkan dalam didikan sekuler. Tidak banyak praktek agama, dan satu-satunya hubungan yang kudapat dengan agama adalah dari sisi ayahku, dari nenekku. Ibu dari ayahku yang merupakan Yahudi yang taat. Darinya, aku belajar beberapa hal, kisah-kisah Bible, kisah-kisah nabi. Untuk waktu yang singkat, orangtuaku sebenarnya memasukkanku ke sekolah Ibrani untuk belajar, tapi aku tidak terlalu nyaman di sana dan dikeluarkan karena terlalu banyak bertanya. Jadi mungkin inilah sifatku dan hal inilah yang membawaku kepada keadaanku saat ini.
Komunis di Usia 13 Tahun
Sebagai seorang professor dan muslim, aku terus bertanya banyak hal. Jadi aku tumbuh tanpa pondasi agama apapun, dan hal ini terus berlanjut dalam hidupku sampai aku mencapai remaja, sampai aku berumur 13 tahun aku mengalami sesuatu. Nomor satu: Aku membaca “The Communist Manifesto”, karangan Karl Max dan memutuskan bahwa aku seorang komunis pada umur 13 tahun. Kupikir nilai-nilainya bagus dan filosofinya berpotensial untuk memberikan manfaat kepada orang banyak. Pada saat itu juga, kurasa inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan Islam sejauh yang kuingat.
Diberi Hadiah Al Qur’an
Teman baikku pada saat itu berasal dari Pakistan. Aku belajar di sekolah internasional, jadi aku punya banyak teman dari berbagai penjuru dunia. Aku punya seorang teman Pakistan yang memberikanku sebuah Al Qur’an. Dia ingin aku membacanya, dia berkata, “Aku tidak ingin kau masuk neraka.” Dan tentu saja pada waktu itu, pemikiran tentang surga dan neraka tidak terlalu kupikirkan. Dan aku mengambil kitab itu dan menaruhnya di rak bukuku. Dan disitulah kitab itu bertahun-tahun tanpa pernah dibaca.
Selalu Berpikir Kritis
Beberapa tahun kemudian kurasa aku merasakan kekecewaan, ketika tahu bagaimana komunisme dipraktekkan dalam banyak negara di dunia, jadi aku membuang filosofi itu juga. Dan baru ketika aku masuk kuliah aku menanyakan sebuah pertanyaan yang akan menuntunku secara langsung kepada jalan ini. Kurasa sudah dari kecil aku selalu berpikir kritis. Aku selalu ingin tahu makna kehidupan dan pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: kenapa kita ada di sini? Kemana kita akan pergi? Kenapa kita menderita? Semua hal itu selalu hadir dalam pikiranku, bahkan ketika aku masih anak-anak.
Kematian Nenek dan Pertanyaan yang Tak Terjawab
Tapi seiring aku tumbuh dewasa dan ketika aku masuk universitas, aku lebih banyak fokus dalam studiku sampai aku mengalami sesuatu. Ingat dengan nenek yang sebelumnya kusebutkan? Ketika aku kuliah, aku tinggal di Washington D.C. Aku mendapat telpon dari sepupuku yang ingin kuliah di Maryland. Dan ini merupakan sebuah kunjungan bagi kakek-nenekku, bagi bibiku, dan sepupuku yang lain, dan mereka mengajakku makan malam. Dan aku menghabiskan sebagian besar waktu malam hanya berbicara dengan nenekku. Aku memberitahu tentang rencanaku untuk mulai belajar di Cina yang kulakukan pada saat itu. Aku memberitahu rencanaku untuk kembali ke New York untuk pindah ke Universitas Columbia. Dan aku melihat dia memberikan sebuah pemberkatan pada semua keputusan yang kubuat dalam permulaan hidupku sebagai seorang dewasa.
Pada akhir malam, aku berjalan bersamanya ke mobilnya, dan di tempat parkir dari restoran itu pergelengan kakinya terpelintir, dan dia jatuh terpeleset. Aku bertanya padanya, “Nenek, apakah kau baik-baik saja?”. Dia berkata, “Jangan khawatirkan aku, khawatirkan saja dirimu.” Aku berpikir, “Oke..” Kemudian aku terus berjalan bersamanya ke mobil, aku membuka pintunya, dia masuk ke dalam, aku mengecupnya dan mengucapkan selamat malam, dan berkata, “Tampaknya lain kali aku berjumpa denganmu adalah pada Hari Thanksgiving, ketika aku kembali dari New York.” Dia berkata kepadaku, “Jika Tuhan mengizinkan.” Dan aku tidak berpikir banyak pada waktu itu. Aku menutup pintunya dan mobilnya jalan. Sepupuku mengantarku kembali ke asrama dan aku pergi tidur.
Keesokan subuhnya aku mendapatkan telpon dari sepupuku. Aku bertanya mengapa dia menelponku sepagi itu. Dia berkata bahwa nenek sudah meninggal. Aku berkata, “Yang benar?” Kupikir mungkin dia sedang bercanda. Aku berkata, “Apa yang kau bicarakan?”. Dan dia menjelaskan bahwa nenek mendapat serangan jantung dalam tidurnya. Dan tentu saja kata-kata terakhirnya masih bergema dalam telingaku. Aku berkata, “Sampai jumpa lagi.” Dan dia berkata, “Jika Tuhan mengizinkan.” Dan aku berkata, “Apakah kau baik-baik saja dan dia berkata, “Jagalah dirimu sendiri.” Jadi sampai hari ini aku masih merasa bahwa kunjungan itu tak terduga dan tentu saja kepergian tak terduga baginya. Dan sampai hari ini aku hanya bisa menerka-nerka apa makna pertemuan dengan nenekku hari itu. Yang seperti kukatakan merupakan satu-satunya hubunganku dengan agama.
Aku kembali ke New York untuk pemakamannya, dan itu adalah pemakaman berdasarkan cara Yahudi tradisional dan rabbi (pendeta Yahudi) yang memberikan eulogi (pujian pada orang yang meninggal) membicarakan tentang nenekku. “Sarah adalah harta karun yang langka”, katanya. “Dia seperti permata dan sekarang Tuhan telah membawa permata ini kembali pada-Nya.” Aku berkata, “Oke, memang itu yang dikatakan seorang rabbi (pendeta Yahudi)”.
Ketika rabbi (pendeta Yahudi) itu datang ke rumah kakekku untuk menghormatinya, aku ingin bertanya beberapa pertanyaan pada rabbi itu. Aku ingin bertanya tentang beberapa praktek yang dilakukan dalam rumah Yahudi pada saat seseorang meninggal, dan dia berkata, “Jangan khawatir tentang hal-hal itu, itu hanya tradisi.” Aku berkata, “Oke, bagaimana dengan ini? Dalam ceramahmu kau berkata bahwa nenekku… Aku tidak tahu seberapa baik kau mengenal dirinya, tapi kau berkata bahwa dia diambil oleh Tuhan. Jadi dimana dia sekarang? Dan untuk kasus ini, kemana aku akan pergi? Kemana kau akan pergi? Kemana kita semua akan pergi? Kenapa kita ada di sini?” Dan semua pertanyaan yang ada dalam hati seorang manusia. Dan rabbi itu, aku sangat mengingatnya, dia melihat jam tangannya dan berkata, “Aku harus pergi.” Dan kurasa dia tidak sadar betapa hal itu membuatku marah, dan kurasa dia juga tidak sadar bahwa sejak saat itu dia membuatku menapaki sebuah jalur yang akan menuntunku hingga keadaanku saat ini, karena aku menjadi sangat tertarik dengan pertanyaan itu. Saat itu, aku ingin mencari jawaban pertanyaan itu untuk menghormati memori nenekku.
Mempelajari Berbagai Agama
Aku mencoba mencari komunitas Yahudi yang dapat menjawab pertanyaanku itu. Komunitas yang kutemukan.., pada saat itu aku berumur 18 atau 19 tahun… Komunitas yang kutemukan tidak membuatku puas. Dan aku menanyakan pertanyaan yang sudah berulang kali kutanyakan sejak kecil : “Apakah Tuhan hanya untuk bangsa Yahudi?” Hanya ada 20 juta orang Yahudi di dunia, sedangkan ada milyaran orang lain. Tuhan juga menciptakan mereka, benar kan?
Jadi aku mulai belajar sendiri, aku mulai mempelajari Bible. Dan saat itu musim panas ketika aku berada di Inggris, aku ada di sana untuk magang. Ada beberapa Kristen Evangelis yang menghampiriku untuk berbincang-bincang, dan tentu saja mereka juga ingin agar aku menerima iman mereka. Aku berpikir, “Oke, kenapa tidak mencoba Kekristenan?” Aku belum pernah benar-benar memikirkannya. Dan ketika membaca Bible, aku mendapatkan rasa cinta yang kuat dan rasa hormat kepada Yesus. Tapi mereka menginginkanku untuk melompat lebih jauh. Mereka ingin aku menerima Yesus sebagai Tuhanku dan penyelamatku , tapi hal itu tidak bisa kulakukan. Yesus bagiku adalah seperti seorang abang. Yesus bagiku lebih seperti seorang guru. Yesus bagiku adalah seorang Yahudi. Dan aku tidak dapat menerima yang mereka katakan tentang Yesus. Tapi seperti yang kukatakan, aku mendapatkan hubungan yang kuat tentang Yesus. Kupikir, “Oke.., aku tak akan mendapatkan jawaban apapun untuk pertanyaanku.”
Seorang diri, aku juga belajar filosofi ketimuran, Budha. Aku membaca Upasnishads dan aku membaca filosofi barat, khususnya Yunani dan Romawi, filosofi Stoic, tapi tak ada yang benar-benar menjawab pertanyaan mendalam yang kupunya.
Dan pada suatu hari, aku kembali ke New York tepat sebelum perkuliahan semester baru dimulai. Aku berada di Times Square, dan ini pada awal tahun 1990, jadi Times Square sangat berbeda dengan masa sekarang. Saat itu masih agak berantakan. Di sana ada pecandu narkoba, wanita malam, dan berbagai macam pengkhotbah agama. Dan aku ingat sedang berbicara kepada seseorang aku selalu senang membicarakan agama dengan orang-orang seringkali sebagai seorang skeptis. Dan ada seseorang yang merupakan Yahudi pencinta Yesus. Dia memberitahuku apa yang dia imani, dan aku sudah mendengar hal itu sebelumnya. Pada dasarnya dia menganut agama Kristen. Dan dia memintaku untuk berdoa bersamanya, tapi aku berkata, “Maaf, aku tidak mengimani apa yang kau imani.” Dia berkata, “Tapi kau beriman pada Tuhan.” Aku berkata, “Kupikir begitu.” Dia berkata, “Kalau begitu, berdoalah bersamaku. Berdoa saja kepada Tuhan.” Dia menempatkan tangannya di bahuku, memejamkan matanya dan mulai bicara kepada Bapa. Ketika matanya terpejam, aku mulai melihat ke sekeliling, dan di pojok aku melihat seseorang dengan jenggot hitam yang panjang, mengenakan jubah putih (jellabiya), sorban putih. Mereka adalah orang Afrika atau orang Afrika Amerika. Tapi tampaknya mereka baru saja membolak-balik halaman Bible. Mereka terlihat seperti Noah, Abraham, atau seperti itu. Aku berpikir, “Hm… aku seharusnya tidak menilai buku dari sampulnya, dan mengapa tidak bicara dengan mereka?”
Setelah orang Yahudi Kristen itu selesai berdoa, aku menghampiri mereka dan bertanya, siapakah mereka dan apa yang mereka khotbahkan. Mereka memberitahuku bahwa aku mungkin tak akan tertarik mendengarnya. Aku berkata, “Kenapa tidak?” Mereka berkata, “Karena kau adalah iblisnya.” Aku berkata, “Benarkah? Aku iblisnya?” Mereka berkata, “Semua orang kulit putih adalah iblis.” Dan aku berkata, “Jika aku iblisnya, biarkan aku bertanya satu pertanyaan saja. Jika aku adalah iblis, kenapa aku begitu haus untuk mengenal Tuhan?” Mereka menjelaskan padaku, “Bahkan iblis pun beriman pada Tuhan.” Aku bertanya pada mereka, “Darimana kalian mendapatkan pengetahuan ini?” (Aku sebenarnya tahu, aku pernah membaca sebuah essay di kampus tentang ‘Malcom X and The Nation of Islam’). Jadi aku paham bahwa mereka mungkin adalah bagian dari grup Black Nationaalist Movement itu. Tapi aku tetap bertanya apa sumber mereka tentang ini yang menyebutkan tentang sifat setanku. Mereka memberikanku beberapa ayat dari Bible, kurasa dari Injil Daniel. Aku berkata, “Tidak, tidak… Jika aku mau Bible, aku dapat mendapatkannya dari orang Yahudi Kristen itu atau orang Kristen lainnya. Bagaimana dengan kitabmu? Bukankah kalian membaca Al Qur’an?” Mereka berkata, “Ya.” Dan mereka memberiku beberapa ayat untuk dibaca dari surat Al Kahfi.
Membaca Al Qur’an untuk Pertama Kalinya
Aku membawa pulang kertas berisi catatan tentang ayat itu dan aku langsung menuju ke rak dimana ada Al Qur’an yang diberikan padaku 6 tahun yang lalu oleh temanku, Mansur. Aku mulai membacanya, aku mencari ayat yang diberitahukan oleh mereka, membacanya, dan tentu saja tidak ada ayat yang mengatakan bahwa aku atau orang kulit putih lainnya adalah iblis. Tapi karena aku sudah terlanjur membacanya, maka aku membalik ke halaman awal, dan aku mulai membacanya. Dan aku membaca, membaca, dan membaca hingga akhirnya aku tertidur dengan kitab itu di tanganku.
Pada hari berikutnya, aku membaca, membaca, dan membaca ketika ada waktu luang. Dan kapanpun aku punya waktu luang, di antara jadwal kelas, ketika pergi ke sekolah memakai kereta bawah tanah New York, aku terus menerus membaca Qur’an. Qur’an membuat hatiku bergetar dimana kitab lainnya tidak pernah, dan tentu saja Bible tidak bisa membuatku seperti itu. Bahasa Qur’an yang langsung, dan fakta bahwa Tuhan Penguasa Semesta, Sang Pencipta seperti yang dijelaskan oleh kitab itu sendiri. Dia langsung berbicara denganmu dengan sangat intim dan langsung pada beberapa ayat. Hal itu membuat hatiku bergetar dimana aku tak pernah merasakannya sebelumnya. Dan aku tak dapat memberitahumu dimana atau kapan tepatnya ada waktu ketika aku membacanya terkadang air mataku mengalir membasahi pipiku. Terkadang ketika aku membacanya, bulu-bulu di tanganku berdiri dan juga di tengkukku. Aku tidak bisa menjelaskan di ayat mana, tapi pada suatu titik aku menyadari bahwa aku sedang membaca firman Tuhan.
Aku Sudah Menjadi Seorang Muslim?
Di sekitar tahun baru pada waktu itu, kurasa Januari tahun 1990, aku bertemu dengan teman-teman semasa SMA. Kami pergi minum kopi dan membicarakan tentang kehidupan masing-masing. Mereka bertanya kepadaku, “Apa yang kau percayai akhir-akhir ini?” Mereka tahu ketika aku masih komunis, aku mengalami berbagai fase sebagai anak muda, dan mereka tahu bahwa aku adalah orang yang tidak terlalu percaya pada apapun. Jadi mereka bertanya padaku dan aku berkata, “Aku percaya pada Tuhan.”
Mereka berkata, “Benarkah? Tuhan apa?”
Aku berkata, “Hanya ada satu Tuhan”
Dan mereka berkata, “Darimana kau tahu tentang ini?” A
ku berkata, “Aku membacanya dari Qur’an.”
Mereka berkata, “Jadi kau telah membaca Qur’an? Jadi kau benar-benar percaya bahwa ini adalah pesan Tuhan dan Muhammad adalah Rasul Tuhan?”
Aku berkata, “Ya, kurasa begitu.”
Temanku berkata, “Oke, biar kuluruskan hal ini. Kau percaya bahwa hanya ada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya?”
Aku berkata, “Ya, aku percaya.”
Dia berkata, “Kau seorang muslim.”
Aku tertawa. Aku berkata, “Aku seorang muslim? Kaulah yang Muslim, karena kau dari Pakistan. Aku hanya seseorang yang percaya adanya Tuhan. Itu saja! Kaulah yang Muslim!”.
“Jika kau percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa, dan Muhammad adalah utusan-Nya, maka kau seorang Muslim.”
Dan aku terkejut mendengarnya. Untuk beberapa hari berikutnya, aku harus berpikir apa artinya itu.
Sendirian Belajar Cara Beribadah dari Buku
Kemudian aku menghubungi temanku, Mansur, yang memberiku Quran ketika aku berumur 13 tahun. Aku dengar dia bekerja di Universitas Pennsylvania dan berkerja di Muslim Studies Association di sana. Jadi aku memintanya apakah dia bisa mengirimkan beberapa buku kepadaku. Buku-buku yang memberikan pengenalan tentang Islam dan juga bagaimana kehidupan dan syarat-syarat seorang Muslim. Dan dia mengirimkanku satu buku yang berjudul “Islam in Focus”. Aku tidak ingat siapa nama pengarangnya sekarang, tapi buku ini menyediakan pengenalan yang baik, tidak hanya pada dasar-dasar iman, tapi juga tentang kelima rukun Islam. Aku belajar caranya sholat, aku belajar mengucapkan syahadat, aku belajar caranya berwudhu. Semua hal ini dari buku itu. Dan aku mulai sholat, kurasa kau dapat mengatakan aku seorang Muslim yang tetutup karena aku hidup di rumah orangtuaku saat itu dan aku selalu menutup pintunya ketika sholat. Dan bahkan pertama kalinya aku puasa di Bulan Ramadhan, aku melakukannya benar-benar sendirian. Aku tidak punya komunitas, aku hanya mengira-ngira kapan matahari terbut dan kapan matahari tenggelam, dan makan pada waktu yang diperbolehkan. Jadi pada 6-8 bulan pertama kehidupanku sebagai Muslim, aku benar-benar sendirian dan sumber petunjukku adalah Al Qur’an, dan buku-buku para ulama. Dan itulah kisahku memeluk Islam.
Reaksi Keluarga Saat Mengetahui Keislamanku
Pada suatu titik, aku harus memberitahu keluargaku. Jadi aku harus keluar dari kesendirian ini. Pada suatu malam ketika makan bersama, aku duduk dengan keluargaku dan aku berkata kepada mereka, “Kalian tahu bahwa aku sering membaca Qur’an.” Mereka berkata, “Ya, kami tahu, kau membawanya kemanapun.” Aku berkata, “Aku benar-benar mengimaninya. Disamping beriman, ada beberapa praktek yang harus dilakukan sebagai bagian dari keimanan itu, yang kuputuskan untuk kuikuti. Jadi kurasa itu menjadikanku seorang Muslim.” Reaksi ibuku sangat kuat. Dia menangis. Dan kurasa mungkin dia bertanya kepada dirinya sendiri, dia melihat ke ayahku dan berpikir, “Apakah kami melakukan hal yang salah? Bagaimana ini bisa terjadi?” Kurasa reaksi ayahku lebih tenang, dia mungkin berpikir, “Anakku seorang komunis ketika dia berumur 13 tahun, dia menjadi skinhead(sub-budaya Inggris) ketika berumur 16 tahun, dia melewati begitu banyak fase, mungkin ini hanyalah fase lainnya. “ Dan kurasa ayah dan ibuku merencanakan sesuatu.
Mungkin mereka pikir, ini sebuah fase, tapi ini bukan fase yang asal berlalu begitu saja, kupikir begitu. Dan ibuku tampaknya menyadari bahwa aku serius dan tentu reaksinya adalah merasa takut dan menyesal. Dan kurasa ini dapat dimengerti, ketika seseorang punya pandangan terdistorsi yang didasari informasi yang salah atau terbatas. Jadi mereka adalah tantangan yang terberat dalam tahun pertama itu, yaitu mencoba berkomunikasi dengan orang tuaku. Aku harus mengatakan, Alhamdulillah, mereka sangat pengertian dan penyabar dan kami telah saling memahami lebih baik.
Saat itu, mungkin ibuku khawatir kalau-kalau aku akan berubah menjadi seperti monster. Tapi aku berusaha meyakinkannya bahwa sejak masuk Islam, aku menjadi pelajar yang lebih baik. Kurasa aku menjadi anak yang lebih baik. Kalian tahu, aku bukan anak yang buruk sebelum masuk Islam, mungkin bagi sebagian orang. Belajar dalam jalan ini penting bagi mereka agar dapat memperbaiki diri sendiri. Dalam kasusku, aku berterima kasih pada orangtuaku karena telah memberiku nilai-nilai yang dapat kukenali ketika masuk Islam. Dan sebelumnya aku bukan orang yang buruk dan Insya Allah, Islam telah membuatku menjadi orang yang lebih baik. Jadi jalur setiap orang berbeda-beda, bagaimana cara mereka sampai kesana.
Setiap orang punya cara yang berbeda dalam memahami jalan ini. Bagiku hal ini banyak kaitannya dengan belajar dan mendapatkan ilmu. Kurasa itulah yang menjadi dasar kehidupan. Tujuan dasar Islam adalah untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan tentang dunia dan jagat raya, dan pengetahuan tentang hubungan kita dengan Allah. Jadi ini mendorongku ke dalam karirku. Aku tidak tahu apakah aku akan menjadi professor sekarang, jika tidak menjadi Muslim. Aku tidak mengatakan bahwa semua orang harus menjadi professor, tapi bagiku ini adalah perjalanan yang panjang dari belajar dan sekarang mengajar.
Hikmah 20 Tahun dalam Islam
Seiring berjalannya waktu, aku juga menghormati agama lain juga, yang kupikir takkan kudapat jika aku tidak menempuh jalan Islam ini. Kupikir sesuatu yang harus dimasukkan hati oleh Muslim yang baru adalah: ketika seseorang menjadi Muslim, orang itu tidak menjadi orang yang berbeda. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang-orang membawa sesuatu yang mereka miliki sebelumnya ke dalam Islam. Jadi bahkan di antara sahabat-sahabatnya, ada beberapa orang yang punya bakat khusus atau tantangan, dan hal-hal inilah yang harus mereka terus jalani setelah menapaki jalan ini. Jadi begitu juga, kurasa hal ini benar bagiku, ada banyak tantangan dan hidup terus memberikan tantangan. Ini hanya membutuhkan kesabaran.
Bagiku ini adalah perjalanan yang sudah hampir 20 tahun. Hanya Allah yang tahu bagaimana dan kapan akan berakhir. Jadi nasihatku kepada Muslim yang baru atau bahkan kepada orang-orang yang sudah menjadi Muslim sejak waktu yang lama adalah tetap bersabar, dan lihatlah apa yang Allah sediakan yang akan mengejutkan kalian. Bukan dengan rasa takut, namun dengan cinta dan harapan.
Jika ada non-Muslim yang mendengarku hari ini, kurasa kau berhutang pada dirimu sendiri untuk mengetahui sebanyak yang kau bisa tentang dunia di sekelilingmu. Islam dipastikan ada di dunia, ini tak terhindarkan, di berita, dan di lingkungan sekitar kita. Dan jika kau tidak mengenal Muslim manapun, mungkin kau akan mengenalnya pada suatu waktu. [Syahida.com]