Syahida.com – Jika ada sosok nyata yang tak menyenangkan untuk disebut, sosok itu adalah Kematian. Inilah ketetapan Allah yang pasti akan datang kepada kita semua.
“Setiap jiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali ‘Imran: 185)
Manusia sering bermimpi dapat mengendalikan waktu, namun kenyataannya mati tidak dapat dihentikan.
“Dan tiap-tiap orang yang mempunya batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)
Maka, saat medis angkat tangan dan malaikat maut menghampiri, saat itu harta, tahta, dan wanita tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan andai kata ia tersembunyi di tempat yang paling tersembunyi, mati pasti menghampiri.
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa: 78)
Lalu bagaimana mungkin kita lari dari kematian, bahkan jika manusia mampu menemukan mesin supercepat, lebih cepat dari kedipan mata sekalipun. Kematian tetap saja menghampiri. Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Jumu’ah: 8).
Nafas terakhir berhembus lebih panjang dari biasanya. Apakah yang dirasakan oleh jasad saat itu? Akankah hembusan terakhir itu adalah ruh yang keluar dari jasad kita? Ataukah apakah itu tanda dari Sakaratul Maut?
Adakah Firasat Kematian
Di masyarakat sering kali kita mendengar orang yang menceritakan firasat kematian sebelum maut menjemputnya. Apakah benar firasat itu datang kepada seseorang sebelum meninggal? Karena jika memang itu ada dalam syariat agama, berarti seseorang akan mengalami Sakaratul Maut yang cukup panjang. Seperti apa pandangan syariat dalam masalah ini? Masalah semacam ini tidak bisa di nalar karena bersifat ghaib. Perkara ghaib tidak bisa diketahui oleh siapa pun kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita hanya diperintahkan untuk mengimaninya saja, itu pun jika terdapat petunjuk secara jelas dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jika ternyata tidak ada, maka tak seorang pun dibenarkan mengada-adakannya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isro’: 36)
Allah juga berfirman,
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahui kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahui (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’am: 59).
Cukuplah dua ayat ini menegaskan, bahwa orang yang dapat merasakan Sakarat jauh hari dan firasat kematian, itu tidaklah benar. Karena waktu kematian adalah rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisinya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti), apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).
Lalu apa yang dimaksud dengan Sekarat? Kalimat Sekarat adalah salah satu kata yang dikenal luas, hampir semua lapisan masyarakat mengetahuinya. Sekarat berasal dari bahasa Arab, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
“Dan datanglah Sakaratul Maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaf: 19).
Dari hadist Imam Bukhari dari Aisyah ra. Dikisahkan, menjelang wafatnya Rasulullah SAW, setelah mengusapkan air ke wajahnya beliau bersabda,
“Tiada ilahi yang berhak di ibadahi selain Allah. Sesungguhnya kematian itu ada Sekaratnya.”
Menukil dari pendapat ulama, Al Hafizh Ibnu Hajar memaknai Sekarat, bentuk plural dari Sakar, adalah suatu bentuk keadaan tidak sadar karena pengaruh rasa sakit. Artinya, Sekarat adalah hilangnya kesadaran seseorang karena rasa sakit yang sangat menyakitkan menjelang tercabutnya ruh dari jasad.
Seperti apakah rasa sakit orang yang sedang sekarat? Orang yang sedang sekarat akan merasakan sakit yang luar biasa. Rasa sakitnya pernah digambarkan oleh Sahabat Nabi Ka’ab kepada Umar bin Khattab, sakitnya seperti ranting pohon yang banyak durinya dimasukkan ke dalam rongga mulut setelah duri itu masuk ke dalam rongga, kemudian dicabut paksa sekeras-kerasnya sehingga ada duri yang masih tertinggal di rongga mulut.
Itu sebabnya dalam riwayat Ibnu Hibban, Umar bin Khattab menjelang wafatnya sempat mengatakan,
“Jika saja aku memiliki emas memenuhi bumi, akan ku jadikan sebagai tebusan pada hari ini (karena beratnya) hailil mathla’ atau sekarat dan kengerian penampakkan siksa kubur dan akhirat.”
Sebelumnya hal ini juga sempat disampaikan langsung oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Janganlah kalian mengharap-harapkan mati, karena sesungguhnya haulul mathla (sekarat dan kengerian penampakan siksa kubur dan akhirat) itu sangat keras dan sesungguhnya kebahagiaan ada pada panjangnya usia seorang hamba, lalu Allah memberikan rezeki bertaubat.” (HR. Ahmad).
Rasa sakit luar biasa ini benar-benar mengerikan. Inilah yang pernah dikatakan Sahabat mulia Amr bin Ash kepada anaknya menjelang wafat.
“Wahai anakku! Demi Allah, seolah badanku berada dalam keranjang pakaian, dan seolah aku bernafas dengan jarum beracun, seolah-olah dahan berduri ditarik dari kedua kakiku sampai ke ujung ubun-ubunku.”
Jika memang sangat amat menyakitkan, lalu mengapa orang yang sekarat tidak berteriak. Orang yang sekarat tidak bisa berteriak karena rasa sakitnya telah mencapai tingkat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Rasa sakit tersebut seolah mematikan fungsi kemampuan berteriak seseorang.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan,
“Sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat dan setiap anggota badan satu atas lainnya menyerahkan diri (untuk dicabut ruhnya saat sekarat).”
Oleh karenanya mulailah satu persatu anggota badan menjadi dingin. Mulai dari telapak kaki, menjalar ke lutut dan seterusnya hingga ke ubun-ubun. Semua anggota tubuh tersebut merasakan sekaratnya masing-masing. Maka tepatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa ruh yang dicabut dan raga yang sekarat, diikuti oleh tatapan mata.
“Sesungguhnya ruh apabila dicabut, mata mengikuti (arah keluar) nya ruh.” (HR. Muslim)
Apakah itu Talqin Mayit? Karena rasa sakit luar biasa itulah, orang yang sedang sekarat tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu hendaklah kita, memandu orang yang sedang sekarat dengan membacakan kalimat thayyibah laa ilaha ilallah ditelinganya dengan suara lirih. Inilah yang disebut Talqin. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Talqinkanlah orang yang sekarat (diantara) kalian (dengan La ilaha illallah).” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi menjelaskan makna hadist ini, bahwa hendaknya kita mengingatkan orang yang tengah sekarat dengan kalimat Laa ilaha ilallah supaya kalimat itulah yang menjadi akhir kata yang dia ucapkan, sebagaimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Siapa saja yang ucapan terakhirnya adalah Laa ilaha ilallah dia akan masuk surga.”
Mentalqin orang sekarat itu hukumnya sunnah, namun begitu saat mentalqin hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus atau berkesinambungan. Hal ini dilakukan agar dia tidak merasa terganggu dengan tekanan keadaan yang tengah ia hadapi dan kerasnya kesusahan yang menimpanya. Sehingga dikhawatirkan ia berbalik membenci sekalipun di hati. Akibatnya keluar dari kata-katanya ucapan-ucapan yang tidak pantas.
Itu sebabnya para ulama mengatakan, proses talqin orang sekarat, jika orang itu sudah mengatakannya hendaknya tidak diulang atau dituntun ulang. Kecuali jika orang sekarat itu mengeluarkan kata-kata lain selain syahadat. Sampai ia menjadikan ucapa terakhirnya adalah Laa ilaha ilallah.
Orang Sekarat Dibacakan Surat Yasin?
Sebagian masyarakat membacakan Surat Yasin kepada orang yang sekarat dan sebagian orang membacakan Surat Yasin setelah kematian.
Apakah demikian ini dibenarkan dalam syariat Agama? Dalam kitab Bulughul Maram karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani disebutkan sebuah hadist bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Bacakanlah surat Yasin atas mayit kalian.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hibban menilai hadits ini shahih. Sedangkan ulama hadits lainnya menilainya bahwa ini hadist Dhaif (lemah). Walaupun kisah hadits ini dipertanyakan namun mayoritas ulama seperti Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali membolehkan untuk mengamalkannya. Para ulama yang memandang bolehnya membaca Surat Yasin atas orang yang tengah Sekarat menilai, bahwa bacaan tersebut diharapkan dapat meringankan beratnya Sakaratul Maut.
Hal ini didasarkan oleh hadist Nabi SAW riwayat Ahmad, ketika seorang sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bernama Ghadaif bin al Harris al Zumali sedang sakit parah. Kemudian dia berkata, “Apakah diantara kalian ada yang bersedia membaca surat Yasin?” Lalu setelah Shalid bin Syuraih As Sadquni membacakannya sampai ke 40 ayat Ghadaif bin Al-Harris pun wafat.
Beberapa ulama berkata, apabila dibacakan di sisi orang sekarat akan diringankan sekarat darinya. Setelah orang sekarat itu telah meninggal, tidak ditemukan tuntunan membacakan Surat Yasin.
Seperti perkataan Ibnu Hibban, setelah mengomentari hadits diperbolehkannya membacakan Surat Yasin pada orang yang sedang sekarat, bahwa hadits itu tertuju pada siapa saja yang tengah hadir kematian atasnya. Bukan ditujukan atas orang yang tengah mati. Pendapat ini diperkuat oleh para ulama setelahnya bahkan ulama masa kini.
Apakah Kondisi Sekarat Menunjukan Amalannya?
Beratnya sakaratul maut, apakah menandakan sesuatu? Karena banyak kita jumpai orang yang sangat kesulitan saat menghadapi sakaratul maut. Apakah itu menandakan bahwa orang itu tidak baik? Susahnya sekarat yang dihadapi seseorang tidak menandakan apapun. Karena Nabi sendiri ketika sekarat, merasakan susahnya. Ini berlaku bagi semua orang.
Aisyah ra. bahkan mengatakan seperti yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat. Dan sungguh beliau berada di sisiku ketika itu, maka setelah ini aku tidak akan membenci beratnya kematian seseorang setelah apa yang dialami Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, hadist ini menerangkan bahwa kerasnya sekarat kematian seseorang tidak menunjukkan atas kurangnya derajat seseorang. Akan tetapi hal itu, bagi orang yang beriman, bisa menjadi tambahan kebaikan untuknya dan bisa juga sebagai penggugur keburukan-keburukannya.
Al-Mubarakfuri dalam kitabnya berkata, ‘Manakala aku mengetahui beratnya sakarat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, akhirnya aku tahu bahwa hal tersebut bukanlah bagian dari peringatan yang menunjukkan atas buruknya akhir hidup orang yang mati dan sesungguhnya kematian yang ringan ataupun yang mudah, bukan bagian dari kemuliaan.”
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa apapun keadaan seorang beriman ketika sekarat, seperti lidahnya menjulur, mengeluarkan busa, atau dengan mata terbelalak sekalipun, bukanlah pertanda bahwa orang tersebut celaka.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Seorang beriman akan mati dengan disertai keringat dari bagian kening samping.”
Perlakuan Malaikat Pada Ruh Kafir
Lalu bagaimanakah keadaan orang Kafir saat sekarat? Dan bagaimanakah malaikat Kematian memperlakukan mereka? Berbeda dengan orang beriman, malaikat kematian memperlakukan orang-orang Kafir yang tidak beriman saat mereka Sekarat, dengan perlakuan yang sangat bengis. Allah berfirman,
“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): ‘Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.” (QS. Al-Anfal: 50).
Sebelum sampai kepada azab yang sesungguhnya di dalam kubur dan neraka, orang-orang kafir dan munafik terlebih dulu di azab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari saat-saat awal mereka akan berpindah ke alam Barzah yang mereka ingkari sebelumnya. Malaikat memukul wajah dan bagian belakang mereka. Ruhnya diperintah agar keluar sendiri dari jasad. Keadaan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya,
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (kafir) berada dalam tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): ‘Keluarkanlah nyawamu’ di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’am: 93).
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan hal keadaan orang kafir ketika nyawanya akan dicabut. Bahwa malaikat yang turun dari langit mendatanginya adalah malaikat yang berwajah hitam membawa sebuah wadah. Lalu barulah datang kepadanya malaikat kematian duduk di bagian kepalanya seraya berkata: ‘Wahai jiwa yang buruk! Keluarlah kepada murka Allah dan amarahnya. Lalu malaikat kematian membelah masuk ke tubuhnya dan mencabut paksa ruhnya seperti orang mengambil adonan tepung dari kapas yang basah. Setelah ruhnya tercabut, dengan sangat cepat diletakan ke wadah yang dibawa malaikat berwajah hitam. Seketika itu pula bau busuk keluar dari ruh tersebut. Bau yang lebih busuk dari bau bangkai yang paling menyengat di muka bumi ini.
Kemanakah Ruh Dibawa Dan Bagaimana Keadaannya
Setelah dicabut dari raga, kemanakah ruh manusia dibawa? Dan kapankah pertanyaan malaikat di mulai?
Dalam hadist riwayat Ahmad dari al Bara’ bin Azib disebutkan, setelah keluar dari jasadnya ruh akan dibawa ke langit ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah itu Allah memerintahkan agar ruh tersebut dikembalikan ke jasadnya di kubur. Saat itu ia mendengar suara langkah keluarganya yang pergi meninggalkan dia. Setelah keluarganya pergi, barulah kepadanya datang dua malaikat penanya, Munkar dan Nakir. Mendudukannya dan mulai bertanya kepadanya. ‘Siapakah Rabbmu? Apakah agamamu? Siapakah orang ini atau Nabi Muhammad yang telah diutus kepadamu? Dan apakah kitabmu?’
Maka mayat yang beriman akan menjawab dengan benar. ‘Allah adalah Rabbku, Islam adalah agamaku, Orang itu (Muhammad) adalah nabi utusan-Mu. Sehingga dibentangkanlah kuburannya dan pintu surga dibuka untuknya sehingga dia berkata: ‘Ya Allah segerakanlah kiamat tiba.’
Lain halnya dengan orang kafir. Ia tidak dapat menjawab, sehingga disempitkanlah kuburnya, pintu neraka dibuka ke arahnya. Dan malaikat memukul kepalanya dengan gada sehingga ia berteriak dengan sangat memilukan dan jeritannya di dengar oleh semua makhluk selain Jin dan manusia. Ia juga berkata, ‘Ya Tuhan! Jangan kiamatkan dunia.’
Semoga kita termasuk orang-orang yang diwafatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Husnul Khatimah. Wallahu a’lam bishawab. [Syahida.com]
Sumber : Khazanah Trans7