Syahida.com – Membiasakan diri tidur mengerjakan shalat Subuh sampai keluar waktunya dengan terbitnya matahari tanpa udzur adalah dosa besar. Pelakunya berada dalam posisi terancam siksa kecuali jika bertaubat kepada Allah, dan Allah menerima taubatnya atau dia mendapatkan ampunan dan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan orang yang diserang kantuk berat sehingga tidak bisa mengerjakan shalat pada waktunya, dan ini tidak menjadi kebiasaannya, maka tidak ada dosa baginya. Pena pencatat amal buruk diangkat dari orang tidur sampai dia bangun. Dalam tidur tidak ada unsur menyepelekan. Pun nyawa sekalian hamba berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kewajibannya adalah melaksanakannya sesudah bangun.
Imam Al-Bukhari dan Muslilm meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa lupa (melaksanakan) shalat atau tidur darinya, maka kaffaratnya adalah mengerjakannya jika ingat.” Dalam riwayat lain bunyinya, “Jika salah seorang dari kalian tidur (sehingga tidak mengerjakan) shalat atau lupa darinya, hendaklah dia mengerjakan jika ingat; sesungguhnya Allah berfirman: ‘Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.’” (QS: Thaha: 20: 14)[1]
Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, menuturkan bahwa beberapa orang menyampaikan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam perihal mereka (sehingga tidak mengerjakan) shalat. Beliau pun bersabda, “Sungguh, tidak ada (unsur) menyepelekan itu adanya saat berjaga. Jika salah seorang dari kalian lupa (melaksanakan) shalat atau tidur darinya, maka hendaklah dia mengerjakannya jika ingat.”[2]
Diriwayatkan, pernah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabat tertidur dari shalat Subuh. Saat mereka bangun matahari sudah terbit. Maka mereka pun mengerjakannya berjamaah dengan didahului adzan dan iqamat setelah keluar waktunya.
Abdullah bin Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari ayahnya bahwa suatu malam Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabat mengadakan suatu perjalanan. Beberapa orang mengusulkan untuk beristirahat. Beliau pun bersabda, “Aku khawatir kalian nanti tertidur dari shalat.” Bilal angkat suara, “Saya akan membangunkan kalian.” Maka mereka berbaring tidur. Sementara Bilal menyandarkan punggungnya ke binatang tunggangannya. Bilal pun tertidur. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terbangun saat matahari telah terbit, “Wahai Bilal! mana yang kamu katakan?” kata Nabi. “Saya belum pernah tertidur seperti tadi,” jawab Bilal. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda, “Sesungguhnya Allah menggenggam nyawa kalian saat Dia menghendaki dan mengembalikannya saat Dia mengehendaki. Wahai Bilal, berdiri dan serulah orang-orang untuk mengerjakan shalat!” beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu. Dan saat matahari mulai tinggi dan berwarna putih beliau berdiri shalat.”[3]
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Bilal mengumandangkan adzan. Setelahnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengerjakan shalat dua rakaat dan kemudian mengerjakan shalat Ghadat (Subuh). Beliau mengerjakan apa yang beliau kerjakan setiap harinya.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hadits diatas:
- Disyariatkannya adzan shalat Subuh dan selain shalat Subuh dalam perjalanan dan setelah keluar waktunya
- Disyariatkannya mengerjakan shalat Subuh dan shalat-shalat yang lain secara berjamaah setelah keluar waktunya.
- Dibolehkan menunda pelaksanaan qadha’ shalat sunnah Fajar dan mengerjakannya shalat sebelum yang wajib.
- Shalat sunnah Fajar adalah shalat rawatib yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat berpergian. [Syahida.com]
Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad Riziq
[1] Shahih Muslim hadits no. 684 dan Al-Bukhari hadits no. 697. Lafal diatas lafal Muslim.
[2] Shahih sunan An-Nasa’i hadits no.599.
[3] Al-Bukhari hadits no. 595, Muslim hadits no. 681, dan Shahih Sunan An-Nasa’i no. 816. Lafal diatas lafal Al-Bukhari.