Syahida.com – Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (Maryam 19: 59)
Mungkin hanya satu makna yang dipahami dari fase “Menyia-nyiakan shalat” adalah meninggalkannya dan tidak menunaikannya. Ini adalah makna yang paling cepat ditangkap saat mendengar atau membaca ayat ini. Tidak diragukan bahwa ini adalah makna yang benar. Namun, yang tidak terbesit dalam pikiran adalah mengakategorikan penundaan shalat sampai keluar waktunya sebagai bentuk menyia-nyiakan shalat dan bahwa pelakunya terancam dengan ayat ini.
Sebagian sahabat dan tabi’in berpendapat, menafsirkan “menyia-nyiakan shalat” dengan meninggalkannya tidak benar. Menurut mereka, yang benar hanya menafsirkan dengan mengakhirkannya sampai keluar waktunya. Meninggalkannya dan tidak melaksanakannya adalah kufur.
Berikut ini beberapa pertanyaan mereka:
Di dalam Ad-Durr Al-Mantsur, As-Suyuthi meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Menyia-nyiakannya bukan berarti meninggalkannya. Terkadang seseorang menyia-nyiakan sesuatu tanpa meninggalkannya. Yang dimaksud menyia-nyiakan adalah mengakhirkannya sampai keluar waktunya.”
As-Suyuthi juga meriwayatkan dari Al-Qasim bin Mukhaimirah, “Makna ‘Menyia-nyiakan shalat’ adalah mengakhirkannya sampai keluar waktunya; jikalau mereka meninggalkannya, kafirlah mereka.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyitir pernyataan Masruq berikut, “Tidaklah seseorang yang menjaga shalat lima waktu ditulis sebagai orang-orang yang lalai. Menyia-nyiakan shalat adalah kebinasaan. Menyia-nyiakan adalah mengakhir-akhirkan sampai keluar waktunya.”
Ibnu Jarir menyitir pertanyaan Umar bin Abdul Aziz, “Menyia-nyiakannya bukanlah meninggalkannya, akan tetapi menyia-nyiakan waktu (sehingga keluar waktunya).”
As-Suyuthi dan Ibnu Katsir mengutip ucapan Ka’ab Al-Ahbar berikut, “Demi Allah, aku benar-benar mendapati sifat orang-orang munafik di dalam Taurat. (Yaitu): Suka minum arak, suka menuruti syahwat, suka meninggalkan shalat, suka bermain dadu, suka tidur saat pelaksanaan shalat Isya’, suka tidur pagi, dan suka meninggalkan shalat jamaah.” Kemudian Ka’ab membaca ayat berikut ini:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mempertaruhkan hawa nafsunya. Maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS: Maryam: 19)
Ibnu Jarir Ath-Thabari menulis, para ulama berpendapat sama saat menafsirkan firman Allah, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS: Al-Ma’un: 107: 4-5)
Seseorang menyampaikan kepada Abdullah bin Mas’ud, “Sesungguhnya Allah ta’ala banyak menyebut tentang shalat didalam Al-Qur’an. ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.’ (QS: Al-Maun:107: 4-5), ‘(Yaitu) orang-orang yang senantiasa mengerjakan shalatnya.’ (QS: Al-Ma’arij: 70: 34), ‘(Yaitu) orang-orang yang menjaga shalatnya.’ (QS: Al-Ma’arij: 70: 34) Abdullah bin Mas’ud ra, “Yaitu pada waktu masing-masing.” Mereka berkata, “Kami tidak pernah berpendapat bahwa itu adalah meninggalkan. Meninggalkanya adalah suatu kekafiran.”
Menafsirkan “(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS: Al-Maun: 107: 5) Abdullah bin Abbas ra berkata, “Yaitu orang-orang yang mengakhirkannya dari waktunya.” Masruq berkata, “Melalaikannya artinya menyia-nyiakan waktunya.”
Atha’ bin Yasar berkata, “Segala puji bagi Allah yang berfirman, ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.’ (QS: Al-Ma’un: 107: 5) dan tidak berfirman di dalam shalatnya.” (Selesai kutipan dari Ibnu Jarir)
Ancaman siksa bagi yang lalai dari shalat bukan bagi yang lupa dalam shalatnya. Mush’ab bin Sa’ad pernah bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bagaimana menurut Ayah firman Allah, ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya?’ (QS: Al-Ma’un: 107: 5) dan adakah diantara kita yang tidak lupa? Adakah diantara kita yang hatinya tidak berbisik?” Ayahnya menjawab, “Bukan begitu. Hanyasanya yang dimaksud adalah menyia-nyiakan waktu.”[1]
Dari atsar-atsar tersebut kita mengerti bahwa menyia-nyiakan waktu shalat sama dengan menyia-nyiakan shalat itu sendiri. Dan shalat adalah pilar agama yang paling urgen. Barangsiapa menyia-nyiakannya maka dia lebih menyia-nyiakan lagi kewajiban-kewajiban yang lain. Oleh sebab itulah, tak hanya seorang sahabat dan tabi’in yang menegaskan, barangsiapa keluar waktunya maka dia kafir dan darahnya boleh ditumpahkan.
Diantara mereka yang menyatakan demikian adalah Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abu Darda’; semoga Allah meridhai mereka semua. Dari kalangan selain sahabat adalah Ahmad bin Hambal; Ishaq bin Rahawaih; Abdullah bin Al-Mubarak, An-Nakha’i, Al-Hakam bin Utbah, Ayyub As-Sukhtiyani, Abu Dawud Ath Thayalisi, Abu Bakar bin Abu Syaibah, Zuhair bin Harb, dan selain mereka.[2]
Pembaca budiman, dari bab ini bersama saya anda telah mengetahui pernyataan para salaf tentang urgensi menjaga waktu shalat dan bahaya menyepelekannya. Apalagi shalat Subuh yang 80% orang-orang yang shalat telah menyepelekannya. Mereka telah memulai hari dengan salah satu kemaksiatan yang paling berbahaya bagi keimanan seorang hamba. Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan.
*Tanya jawab:
Pertanyaan: saya seorang pemuda yang tak pernah meninggalkan shalat. Hanya saja seringkali saya terlambat tidur hingga saya pasang alarm jam saya pada pukul 07.00; setelah matahari terbit. Setelah saya bangun saya shalat dan berangkat kuliah. Kadang-kadang,pada hari kamis atau jum’at saya bangun sangat terlambat, satu atau dua jam sebelum Dzuhur. Saya pun melaksanakan shalat Subuh setelah itu. Perlu diketahui bahwa hampir setiap shalat saya kerjakan di kamar asrama. Masjid asrama sebenarnya tidak seberapa jauh. Salah seorang kawan pernah mengingatkan saya bahwa hal itu tidak boleh. Saya sangat berharap, kiranya syaikh berkenan menjelaskan hukum shalat saya. Semoga Allah membalas dengan kebaikan.
Jawaban: (oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz): “Barangsiapa sengaja memasang alarm pada jam setelah matahari terbit sehingga dia tidak mengerjakan kewajiban shalat subuh pada waktunya maka dia telah sengaja meninggalkannya. Dia kafir karena perbuatannya itu menurut sebagian ulama. Kita memohon keselamatan kepada Allah atas kesengajaannya meninggalkan shalat. Demikian juga jika seseorang sengaja mengakhirkannya sampai menjelang Dzuhur, lantas melaksanakan shalat Subuh pada waktu Dzuhur.
Adapaun orang yang ketiduran sehingga waktu shalat habis, maka hal itu tidak mengapa. Namun, dia wajib melaksanakannya begitu bangun. Ini jika dia ketiduran dan lupa.
Seseorang yang sengaja mengakhirkan shalat sampai keluar waktunya atau memasang alarm jam pada jam setelah habis waktu shalat sehingga dia tidak bangun pada waktu shalat, maka yang dilakukannya sama dengan sengaja meninggalkan shalat. Dalam pandangan ulama dia telah melakukan satu perbuatan munkar yang besar. Tentang kafir tidaknya, para ulama berbeda pendapat. Jika dia tidak menentang kewajibannya, jumhur ulama mengatakan bahwa dengan itu dia telah kafir, kufur akbar. Pendapat inilah yang dipegangi oleh para sahabat.
Tentang meninggalkan shalat jamaah, ini pun kemungkaran yang tidak boleh dilakukan. Setiap laki-laki wajib berjamaah di masjid berdasarkan hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia adalah seorang sahabat yang buta matanya. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid.” Maka dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk melaksanakan shalat di rumah. Beliau memberi keringanan baginya. Namun ketika Ibnu Ummi Maktum beranjak pergi, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menanyainya, “Apakah kamu mendengar seruan untuk shalat?” “Ya.” Jawabnya. Beliau pun bersabda; “Jika begitu, penuhilah!”
Ini untuk orang buta yang tidak punya orang yang menuntunnya ke masjid. Meskipun demikian Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap memerintahkannya untuk mengerjakan shalat di masjid. Maka mestinya yang sehat dan bisa melihat lebih wajib darinya. Ya, wajib bagi seorang yang beriman untuk melaksanakan shalat di masjid, tidak boleh menyepelekannya, dan tidak boleh juga shalat di rumah padahal masjid dekat. (Telah ada izin dari Departemen Penerangan untuk mencetaknya sebagai bagian dari buku kecil berjudul Arbahul Bidha’ah fi Fawaidi Shalatil Jama’ah no. 3/3683, tanggal 21/6/1408 H). [Syahida.com]
Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad Riziq
[1] Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan isnad yang baik. Demikian dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam Az-Zawajir, 1/133.
[2] Az-Zawair, 1/138.