Syahida.com – Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 4: 103)
Waktu shalat tidak boleh diakhirkan ataupun diajukan.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, menyampaikan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang waktu Subuh. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan saat terbit Fajar. Keesokan harinya beliau mengakhirkan (shalat) Fajar sampai (langit timur) kekuning-kuningan. Saat itu beliau memerintahkan Bilal (Untuk mengumandangkan adzan), lantas beriqamat dan shalat. Selesainya beliau bersabda, “Inilah waktu shalat (Subuh).”[1] Dalam versi riwayat Muslim beliau bersabda: “Waktu shalat (Subuh) kalian adalah diantara yang sudah kalian lihat (kemarin dan hari ini).”[2]
Abu Bakar bin Abu Musa meriwayatkan dari ayahnya bahwa seseorang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menanyakan waktu-waktu shalat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menjawabnya. (keesokan harinya) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menjawabnya. (keesokan harinya) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan Shalat Subuh saat Fajar merekah. Orang-orang hampir tidak bisa saling mengenal satu sama lainnya. (Siang harinya) beliau memerintahkan (muadzin) untuk mengumandangkan iqamat shalat Dzuhur begitu matahari tergelincir dan seseorang mengatakan bahwa saat itu sudah tengah hari. Dialah orang yang palin mengerti diantara mereka. (sore harinya) Rasulullah saw memerintahkan (Muadzin) untuk mengumandangkan iqamat shalat Ashar padahal matahari masih tinggi. Kemudian begitu matahari terbenam beliau memerintahkan (muadzin) untuk mengumandangkan iqamat shalat Maghrib. Setelah itu beliau memerintahkan (muadzin) untuk mengumandangkan iqamat shalat Isya’ saat mega merah hilang (dari ufuk barat). Keesokan harinya beliau mengakhirkan shalat Subuh sampai saat bubaran seseorang mengatakan bahwa matahari telah terbit atau hampir terbit. Lalu beliau mengakhirkan shalat Dzuhur sampai mendekati waktu pelaksanaan shalat Ashar hari sebelumnya. Kemudian beliau mengakhirkan shalat Ashar sampai saat bubaran seseorang mengatakan bahwa matahari telah berwarna merah. Setelah itu beliau mengakhirkan shalat Maghrib sampai mega merah mulai meredup. Dan beliau mengakhirkan shalat Isya’ sampai sepertiga malam yang pertama. Pagi harinya beliau memanggil orang yang telah bertanya, beliau bersabda, “Waktu (masing-masing) adalah diantara dua (waktu: kemarin lusa dan kemarin ).”[3]
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah adzan Bilal menghalangi sahur salah seorang dari kalian. Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari supaya yang bangun (shalat malam) dari kalian kembali (tidak tidur lagi) dan yang tidur menjadi sadar. Dia tidak memberitahukan datangnya Fajar atau Subuh sehingga begini -Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi isyarat dengan kedua tangan beliau-.”[4]
Ibnu Hajar menulis bahwa perawi hadits ini mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan gambaran, Fajar Shadiq yang membentang memenuhi cakrawala; berbeda dengan Fajar Kadzib yang orang-orang Arab menyebutnya ekor serigala. Ia muncul di petala langit lalu turun, menghilang.”[5]
Di dalam Al-Muhalla Ibnu Hazm menulis, “Ada dua Fajar dan dua syafaq. Fajar yang pertama adalah yang memanjang menjulang ke atas cakrawala seperti ekor serigala; setelah itu cakrawala kembali gelap. Saat ini orang yang hendak berpuasa belum dilarang makan dan minum. Waktu shalat Subuh belum masuk. Hal ini tidak dipersilisihkan sama sekali oleh para ulama. Fajar berikutnya adalah yang berwarna putih terang di cakrawala langit timur di tempat terbitnya matahari. Tempat terbit fajar ini berpindah seiring berpindahnnya tempat terbitnya matahari. Fajar ini adalah pendahuluan sinar matahari. Warna terangnya akan terus bertambah bersemu warna merah yang indah. Dengan jelasnya fajar ini masuklah waktu puasa, waktu adzan shalat subuh, dan waktu shalat subuh. Tentang masuknya waktu shalat Subuh dengan jelasnya fajar ini juga tidak diperselisihkan sama sekali oleh para ulama.”[6]
Di dalam Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi menulis, “Fajar yang terkait dengan berbagai hukum: masuknya waktu puasa, masuknya waktu shalat subuh, dan lain sebagainya adalah fajar yang kedua. Fajar Shadiq. Bentuknya melingkar. Dan tidak ada pengaruh hukum bagi fajar yang pertama atau fajar Kadzib yang bentuknya memanjang.” [Syahida.com]
Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad Riziq
[1] Shahih Sunan An-Nasa’i, hadits no. 623
[2] Shahih Muslim, hadits no. 613
[3] Shahih Muslim, hadits no. 614.
[4] Shahih Bukhari, hadits no. 621.
[5] Fath al-Bari, 2/313.
[6] Fath al-Bari, 2/ 313.