Syahida.com – Shalat Subuh diawal waktu disebut taghlis, yang berasal dari kata ghalas. Di dalam kamus Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa makan ghalas adalah gelap akhir malam. Di dalam hadits disebutkan, “Adalah (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam) melaksanakan shalat Subuh disaat ghalas: yaitu di akhir malam; di awal fajar yang kedua.
Ada juga istilah isfar, melaksanakan shalat Subuh setelah suasana terang benderang sebelum terbit matahari. Isfar sendiri artinya munculnya awal cahaya siang sebelum terbit matahari dan tampaknya bulatannya bagi orang-orang yang melihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Demi Subuh jika mulai terang.” (Al-Muzzamil (73: 34), ‘Wajah-wajah pada hari itu terang (bercahaya).” (‘Abasa 80: 38)
Para ahli ilmu telah sepakat ilmu telah sepakat bahwa melaksanakan shalat Subuh di waktu ghalas atau di waktu isfar sama-sama boleh. Mereka berbeda pendapat mana yang lebih utama dari dua waktu itu. Yang benar-wallahu a’lam-, melaksanakannya di waktu ghalas lebih utama daripada melaksanakannya, di waktu isfar. Inilah pendapat jumhur, kebanyakan ulama, dan para imam madzhab selain madzhab Hanafi. Alasan yang mendasari pendapat ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha bertutur, “Para wanita mukminin turut melaksanakan shalat Subuh bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan berselimutkan kain masing-masing. Mereka pulang ke rumah masing-masing seusai melaksanakan shalat tanpa ada yang mengenali mereka karena gelap.”[1]
Jabir bin Abdullah menyatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa melaksanakan shalat Subuh saat masih gelap.”[2]
Abu Barzah al-Islami menuturkan, “Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mempersalahkan penundaan shalat Isya’ sampai sepertiga malam. Beliau tidak suka tidur sebelumnya dan berbincang-bincang sesudahnya. Beliau melaksanaan shalat Subuh dan saat seseorang keluar (selesainya) dia tahu siapa yang ada disebelahnya. Beliau membaca sekitar 60 sampai 100 ayat di dalam dua rakaat itu atau di dalam salah satunya.”[3]
Hadits-hadits diatas shahih dan secara nyata menjelaskan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa melaksanakan shalat Subuh saat masih gelap, diawal waktunya. Inilah pendapat kebanyakan ulama dan para imam: Asy-Syafi’i, Malik, Ahmad, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Ibnu Jarir, dan Dawud. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Pengarang Al-Mughni menulis, “Adapun shalat Subuh, melaksanakannya saat ghalas lebih utama. Pendapat inilah yang dipegangni oleh Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq. Dan diriwayatkan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abdullah bin Zubair, dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat demikian.[4]
Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa lebih utama melaksanakan shalat Subuh saat sudah terang, isfar, setiap hari, baik di musim panas maupun musim dingin. Hujjah mereka adalah hadits Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Laksanakanlah shalat Subuh saat isfar; sesungguhnya itu lebih baik banyak pahalanya.”[5]
Dan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, katanya, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat melainkan pada waktunya kecuali dua shalat: shalat jamak Maghrib dan Isya’ –di Mudzdalifah- dan shalat Subuh pada hari itu sebelum waktunya.
Mereka beralasan, melaksanakan shalat Subuh pada waktu isfar akan memperbanyak jumlah jamaah. Juga, waktu untuk melaksanakan shalat sunnah lebih panjang. Tentunya yang memberi peluang lebih besar untuk melaksanakan shalat sunnah lebih utama.
Ada beberapa ulama yang mengkompromikan dalil-dalil jumhur dengan dalil-dalil madzhab Hanafi. Mereka menyatakan bahwa dalil-dalil mereka sebenarnya tidak bertentangan. Sebaliknya justru saling menguatkan. Penjelasannya, hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Jabir radhiyallahu ‘anhu menerangkan keutamaan melaksanakan shalat Subuh di waktu ghalas; sedangkan hadits Rafi’ bin Khudaij radhiyallahu ‘anhu menerangkan keutamaan menyelesaikan pada waktu isfar. Semakin panjang bacaan kita dalam shalat subuh agar saat selesai kita sudah berada pada waktu isfar semakin besar pula pahalanya.
Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far Ath-Tahawi dengan sangat gamblang. Beliau adalah seorang ulama mujtahid madhzab Hanafi dari abad ketiga Hijriyah. Di akhir pembahasan masalah ini di dalam kitab beliau yang berjudul Syarh Ma’anil Atsar, beliau menulis, “Maka seyogianya dilakukan adalah mulai melaksanakan shalat subuh pada waktu ghalas dan menyelesaikannya pada waktu isfar. Inilah yang sesuai dengan dalil-dalil yang kami riwayatkan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat beliau.”[6]
Dari kalangan ulama Malikiyah, ada Ibnu Abdul Barr yang dalam kitabnya yang berjudul At-Tahmid menulis, “Riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman melaksanakan shalat Subuh pada saat ghalas adalah shahih. Adalah mustahil jika mereka meninggalkan yang utama. Sebab merekalah orang-orang yang paling benayak melaksanakan berbagai keutamaan.”[7]
Di dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim menulis, “Sungguh, shalat Subuh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah pada saat ghalas sampai beliau wafat. Hanya sekali beliau melaksanakannya pada saat isfar. Jeda waktu antara sahur dengan ghalas dengan shalat Subuh selam 50 ayat. Lantas bagaimana dengan hadits Rafi’ bin Khudaij, Laksanakanlah shalat Subuh saat isfar; sesungguhnya itu lebih banyak pahalanya!” setelah diteliti, maksud saat isfar di adalah mengerjakanya dalam waktu yang lama sampai saat isfar tiba, bukan memulainya setelah isfar sebagaimana dilaksanakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pastilah sesuai dengan perbuatan beliau, tidak bertentangan dengannya. Bagaimana bisa diduga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam senatiasa melakukan suatu amalan hal mana pahalanya yang besar pada kebalikannya?”[8]
Penulis al-Manhal berkata, “Zhahir dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai (shalat subuh) pada saat ghalas dan menyelesaikannya kadang-kadang pada saat isfar seperti diterangkan oleh hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dan kadang-kadang pada saat isfar seperti diterangkan oleh hadits Abu Barzah. Ini sangat tergantung pada panjang-pendeknya bacaan. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa membaca antara 60-100 ayat.”[9]
Di dalam Irwa Al-Ghalil ada catatan yang baik dari syaikh Nashiruddin Al-Albani. Beliau menulis, “Makna yang ditunjukkan oleh seluruh lafal hadits adalah memanjangkan bacaan di dalam shalat sehingga shalat saat isfar. Semakin terangnya isfarnya semakin utama dan semakin banyak pula pahalanya.” Kemudian Syaikh Al-Albani menghadirkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan beliau menyatakan keshahihannya. Yaitu hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallammelaksankan shalat subuh saat tebit Fajar sampai mata dapat melihat.[10] Maknanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai shalat subuh setelah terbit fajar tanpa mengakhirkannya dan selesai pada saat isfar, saat segala sesuatu mulai jelas bagi mata. Jika saja tidak ada hadits selain ini, sungguh ini pun cukup. Namun kita akan menambahkannya dengan jawaban Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atas pertanyaan Abdullah bin Mas’ud, amalan apakah yang paling utama? Beliau menjawab, ‘Shalat di awal waktunya.’[11]
Ghalas adalah awal waktu Fajar. Abu Mas’ud Al-Badri menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat Subuh disaat ghalas sekali, kemudian melaksankannya saat isfar sekali, dan setelah itu shalat-shalat subuh beliau adalah di saat ghalas semuanya sampai beliau wafat. Beliau tidak keluar darinya kecuali di saat isfar.[12]
Tiga hadits ini disertai dengan sikap inshaf, tidak berpihak, akan menyelesaikan perbedaan pendapat dalam hal ini.
Syubhat hadits Abdullah bin Mas’ud
Ada yang melaksanakan shalat subuh sebelum waktunya dengan menjadikan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai dasarnya. Beliau bertutur, “…dan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat subuh sebelum waktunya.”
Sungguh, hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak mendukung pendapat mereka sama sekali. Sebab makna hadits itu adalah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat diluar waktu biasanya. Hari itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar melaksanakan shalat di awal waktu supaya waktu untuk manasik lebih lapang. Sementara biasanya beliau memberi waktu untuk berwudhu bagi yang berhadats atau mandi bagi yang junub.[13]
Tentang pendapat yang mengatakan bahwa dengan isfar jumlah jamaah akan semakin banyak dan bahwa dengan isfar waktu untuk melaksanakan amalan sunnah sebelumnya lebih banyak sehingga ia lebih utama, maka pendapat ini tertolak dengan adanya hadits yang menerangkan kesunnahan mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Hadits yang menjelaskan keutamaan isfar maknanya adalah memperpanjang bacaan sehingga kita keluar dari shalat saat sudah isfar. Tidak ada yang lebih indah dan lebih utama daripada sunnah, pastilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi orang pertama yang melakukannya dan menujukannya kepada kita.
Tentang isfar akan memperbanyak jumlah jamaah, sesungguhnya ini menyangkut situasi dan kondisi jamaah serta imam mereka. Imam merekalah yang paling mengerti tentang mereka. Jika imam mengetahui bahwa mengakhirkan shalat beberapa saat atau sampai saat isfar lebih bermanfaat bagi jamaah, dia dipersilakan melakukannya. Ini seperti yang saya dengar bahwa di beberapa tempat di Amerika, kaum muslimin mengakhirkan shalat sampai saat isfar, sehingga mereka yang rumahnya jauh tidak terlambat. Selain juga karena berbagai faktor pekerjaan mereka. Demikian pula halnya dengan beberapa negara di Eropa yang kaum muslimin disana tidak mengetahui waktu fajar kecuali di awal cahaya siang. Maka atas nama mashlahat, isfar disini diperkenankan. Namun tetap tidak dikatakan bahwa hal itulah yang lebih utama atau sunnah. Akan tetapi dikatakan bahwa hal itu boleh karena dibutuhkan. Pun Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab pertanyaan tentang waktu shalat dengan praktik. Pada hari pertama beliau melaksanakan shalat subuh disaat ghalas, dan pada hari berikutnya beliau melaksanakannya pada saat isfar; lantas beliau bersabda, “Waktu shalat itu antara keduanya.”
Tentang pernyataan mereka bahwa yang memberi banyak kesempatan untuk amalan sunnah maka dia lebih utama, sungguh ini adalah pernyataan yang bertentangan yang bertentangan dengan hadits yang menerangkan bahwa waktu antara adzan dan iqamat shalat subuh hanya untuk shalat sunnah fajar saja atau meng-qadha’ shalat malam yang tertinggal. Selebihnya tidaklah mustahab (baca: sunnah). Ini akan diterangkan lebih lanjut di bab lain.
Kemudian tentang perbedaan waktu antara musim dingin dan musim panas. Malam musim dingin lebih panjang. Waktu ghalas setelah adzan Fajar pendek.
Berkenaan dengan ini ada dalil yang akan kami jadikan sebagai penutup pembahasan ini. Sayangnya hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah, karena lemah sekali. hadits ini dibawakan oleh penulis Al-Mirqat. Sebelum membawakannya dia menulis, “Sebagian orang menyatakan bahwa isfar itu untuk malam-malam yang pendek, supaya orang-orang yang banyak tidur tidak ketinggalan shalat. Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, berkata, ‘Saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutusku beliau bersabda, ‘Di musim dingin laksanakanlah shalat Subuh saat ghalas, panjangkanlah bacaan sekadar yang dimampui oleh orang-orang, dan janganlah membuat mereka bosan. Di musim panas laksankanlah shalat Subuh saat isfar, sebab malam-malam pada saat itu pendek dan orang-orang umumnya tidur. Tunggulah mereka supaya mereka mendapati (shalat jamaah).”[14] [Syahida.com]
Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad Riziq
[1] Al-Lu’lu wal marjan, hadits no. 377.
[2] Al-Lu’lu wal marjan, hadits no. 388.
[3] Al-Lu’lu wal marjan, hadits no. 379.
[4] Al-Mughni, 1/405.
[5] Shahih Ibnu Hibban hadits no. 1490, shahih sunan At-Tirmidzi hadits no. 154, dan Ibnu Majah hadits no. 154 dan Ibnu Majah hadits no. 672. Lafal hadits diatas lafal Ibnu Hibban.
[6] Irwa’ul Ghalil, 1/387.
[7] At-Tahmid, 4/340.
[8] I’lam Al-Muwaai’in, 2/383.
[9] Al-Manhal Al-‘Adzb Al-Mawarud 3/350.
[10] Irwa’-Al Ghazali 1/287 secara ringkas.
[11] Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih no. 1475 dan Ibnu Khuzaimah hadits no. 327, dia menyatakan keshahihannya. Ada yang mengatakan bahwa hadits ini umum dan dikhususkan oleh hadits, “Laksanakan shalat subuh saat isfar…” sebagaimana adanya hadits yang mengkhususkan menunggu sampai dingin untuk shalat Dzuhur di hari yang panas juga dengan mengkahirkan shalat Isya’ sampai separuh malam. Namun, pendapat ini terbantahkan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa shalat-shalat Subuh Nabi dilaksanakan saat ghalas dan penafsiran para ulama terhadap isfar, bahwa maksudnya adalah saat keluar dari shalat bukan saat memulai.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Pensyarahnya berkata, “Para periwayatnya orang-orang yang tsiqqah,” ‘Aun Al-Ma’bud, 2/45. Ini juga di dalam Syarh As-Sunnah, al Baghawi 2/197. Isnadnya dinyatakan hasan oleh muhaqqiqnya.
[13] Al-Manhal Al-‘Adzb Al-Maurud 3/349.
[14] Syarh As-Sunnah hadits no. 356. Muhaqqiqnya mengatakan sanadnya lemah sekali.