Syahida.com – Mengenai kebiasaan mengucapkan istighfar yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada riwayat yang menyebut Rasulullah beristighfar 70 kali dalam sehari, ada pula yang mengatakan 100 kali. Sebenarnya, hal ini tidak perlu dipertentangkan.
Dalam pandangan Ustadz Tolhah Nuhin, Lc, riwayat tersebut sebetulnya tidak menunjukkan batasan, justru isyarat agar kita beristighfar lebih banyak lagi.
“Kita bisa beristighfar lebih dari 70 kali atau 100 kali sehari,” ujar pengajar di Pusat Studi Islam Al-Manar, Jakarta Timur ini. Bagaimana tidak kita tak luput dari perbuatan dosa, sementara Rasulullah adalah hamba Allah yang di bebaskan dari segala dosa. Tentu kita yang lebih butuh banyak beristighfar.
Di samping itu, menurut Tolhah, pelajaran yang dapat diambil dari riwayat tersebut, hendaknya beristighfar tidak menunggu ketika berbuat salah, tapi bagaimana istighfar menjadi salah satu dzikir kita sehari-hari.
Sayyidul Istighfar
Selain “Astaghfirullah hal Adzim”, terdapat kalimat istighfar yang paling sempurna atau sayyidul istighfar (penghulu istighfar). Menurut Tolhah, disebut sayyidul istighfar karena merupakan paling utama dari jenis istighfar yang lain.
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari, dari Syaddad Aus radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Penghulu istighfar adalah apabila engkau mengucapkan Allahumma anta rabbii laa ilaaha illaa anta kholaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘aala ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu. A’udzu bika min syarri maa shana’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbii, faghfirlii fainnahuu laa yagfirudz dzunuuba illa anta (Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji-Mu dan akan menjalankannya dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang mengampuni segala dosa kecuali engkau).”
Kalimat istighfar ini,papar Tolhah, bermakna pengakuan, baik pengakuan sebagai hamba maupun pengakuan terhadap dosa.” Jadi seakan-akan seorang hamba itu mengingat kembali bahwa dirinya telah melakukan Mou (memorandum of understanding atau nota kesepahaman, red) dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa ‘Aku adalah ciptaan-Mu, aku adalah hamba-Mu, dan tidak ada yang bisa mengampuni dosaku kecuali Engkau,’” jelasnya.
Balasan yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk orang yang membaca sayyidul istighfar ini pun besar. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari, seseorang yang membaca sayyidul istighfar di siang hari dalam keadaan meyakininya,kemudian meninggal dunia sebelum petang hari, maka ia akan menjadi penduduk surga. Pun seseorang yang mengucapkannya di malam hari dan meninggal dunia sebelum subuh, ia termasuk penduduk surga.
Yakin dalam berdoa
Salah satu ijtihad ulama untuk membiasakan membaca sayyidul istighfar adalah melalui Al-Ma’tsurat. Selain sayyidul istighfar, di dalam Al-Ma’tsurat terdapat doa-doa lain yang juga dibaca Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menurut Tolhah, doa-doa dalam Al-Ma’tsurat merupakan doa yaang tak hanya mampu menjaga ruhiyah agar selalu dekat denganAllah, tapi juga mampu membentengi diri kita dari sihir.
“Makanya kita jangan sekedar membaca, tapi harus yakin dengan istighfar itu,” ujar Tolhah. Sebab, perasaan yakin inilah yang akan membuat doa kita dikabulkan Allah. keyakinan dalam beristighfar tentu tak bisa datang sendiri. Salah satu yang memicu timbulnya keyakinan adalah pemahaman. “Kita harus paham dulu mengenai istighfar dan keutamaannya. Mengetahui keutamaan akan memberikan motivasi,” jelas Tolhah. “Kemudian, niatkan untuk melakukannya secara terus menerus dan terpelihara.”
Dalam membiasakan istighfar sehari-hari, jelas Tolhah, sama seperti ibadah lainnya yang membutuhkan manajemen waktu. Untuk membiasakan sayyidul istgihfar, misalnya, kita bisa membacanya saat akan berangkat kerja di pagi hari dans sepulang kerja di sore hari. Kemudian, agar bisa mengamalkan istighfar 100 kali sehari, beristighfarlah kapan pun ketika waktu luang atau bahkan sambil melakukan kegiatan sehari-hari.
Kisah Imam Ahmad & si Pembuat Roti
Sebuah kisah menarik berkenaan dengan istighfar terjadi di masa Imam Ahmad Hanbal. Dalam perjalanannya, Imam Ahmad hendak bermalam di sebuah masjid. Namun, penjaga masjid yang tidak mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah imam besar, mengusir Imam Ahmad yang akan merebahkan diri. Seorang pembuat roti –yang juga tidak tahu itu Imam Ahmad- melihat kejadian tersebut dan merasa iba. Ia mengajak sang Imam bermalam di rumahnya.
Imam Ahmad dilayani dengan sangat baik. Ia dipersilahkan beristirahat, sementara pembuat roti segera mengolah adonan roti untuk dijual esok hari. Ternyata, ada yang membuat Imam Ahmad tak segera memejamkan mata. Ia mendengar si pembuat roti beristighfar selama bekerja.
“Sejak kapan kamu selalu beristighfar tanpa henti?” tanya Imam Ahmad esok harinya.
“Sejak lama sekali. Ini sudah menjadi kebiasaan rutin saya, hampir dalam segala kondisi,” Jawab pembuat roti.
“Apakah kamu mendapatkan buah dari istighfar yang kamu ucapkan?”
“Ya, demi Allah. Tidak sekalipun aku memanjatkan doa melainkan doaku terkabulkan, kecuali satu permohonan,” jawab si pembuat roti, “yaitu melihat Imam Ahmad bin Hanbal.”
Imam Ahmad serta merta menjawab, “Akulah Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, sungguh aku telah ditarik untuk mendatangimu!”
Aida Hanifa
Wawancara: Didi Muardi.
[Syahida.com]
Sumber: Ummi No.7/ XXVI/ Juli 2014/ 1435 H