Syahida.com – “Saya kalau cerita masa lalu itu nggak sanggup. Bikin bukunya saja nggak selesai sampai sekarang. Nggak kuat. Tapi yang jelas, saya bisa mengambil hikmahnya. Allah menempa saya sedemikian rupa di masa lalu agar saat ini saya bisa berbagi dengan banyak orang.”
Menuturkan kisah hidupnya kepada Ummi, membuat Yuila Karmiluwati yang akrab disapa dengan Bunda Yulia, harus berkali-kali menyeka air mata. Namun, ia bukanlah perempuan cengeng lagi lemah. Sebaliknya, ia adalah sosok yang kuat meski berbagai cobaan hidup menerpanya seolah tiada henti.
Masa lalu yang penuh duka justru membuat Bunda Yulia mampu berdiri tegar dan berbagi di hadapan ratusan pendengar sambil menyemangati mereka dengan kata-kata motivasi. Ya, Bunda Yulia kini adalah motivator sebuah perusahaan training nasional, dengan spesifikasi training Seni Mengelola dan Mengatasi Masalah Hidup. Sedikitnya tiga kali dalam sepekan ia terjadwal mengisi acara training motivasi, baik di Jakarta maupun di luar pulau.
Dua Kali Lumpuh
Masa kecil Bunda Yulia tak bisa dibilang manis. Ia korban broken home. Beranjak remaja, ia tidak diizinkan orang tua melanjutkan pendidikan ke SMA, namun akhirnya ia bisa sekolah atas biaya sendiri. Ketika berumah tangga pun ujian datang silih berganti.
Saat melahirkan anak kedua, pada 1996, tiba-tiba Bunda Yulia lumpuh. Hanya kepala dan tangan yang dapat digerakkan. Ia tak bisa bangun dari tempat tidur, apalagi berdiri. “Diagnosis dokter, saya kena TB Tulang Belakang,” tuturnya.
Tuberkulosis (TB) tulang belakang tidak menyerang paru-paru, melainkan susunan tulang belakang sehingga menyebabkan kerusakan struktur tulang. Jika tidak di deteksi sejak dini, penderita akan mengalami lumpuh dan tulang belakang harus dipoerasi untuk membersihkan kuman penyebab TB, atau bahkan membuang bagian tulang yang rusak dan mencangkoknya.
Selam tiga tahun terbaring lumpuh, akhirnya BundaYulia mendapatkan dana bantuan dari sebuah lembaga amal untuk mengoperasi pemasangan pen. “Waktu itu di punggung saya dipasang dua pen dengan 8 mur,” tuturnya. Setelah pemasangan pen, ia rutin melakukan terapi di RS Koja, Jakarta Utara hingga akhirnya bisa berjalan kembali.
Biaya pengobatan yang tidak sedikit membuat Bunda Yulia dan keluarga tidak punya apa-apa lagi. tak sanggup mengontrak rumah, ia tinggal di bedeng triplek Tanjung Priok. “Saat itu kami tinggal di atas sampah,” tuturnya getir. Demi menyambung hidup, pekerjaan apa pun ia lakukan selama itu halal dan bukan dari hasil meminta-minta. Ia sempat menjadi pembantu rumah tangga, memulung, berjualan kue, hingga berjualan jilbab.
Tahun 2005, setelah pindah ke Depok, Bunda Yulia kembali mengalami kelumpuhan. Pen di punggungnya patah karena terlalu sering membawa beban berat. “Bayangkan, setiap hari saya bawa tas ransel besar di punggung yang isinya dagangan jilbab dan kue brownies. Tangan kanan dan kiri juga menenteng bawaan. Saya keliling ke TK-TK untuk menawarkan barang dagangan. Ketika di jalanan agak menanjak, pen saya patah.”
Beruntung, ia mendapatkan lagi bantuan untuk biaya pengobatan. Kali ini dari Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC). Jahitan punggungnya pun dibuka, pen dilepas dan dilakukan pencangkokan tulang. Jadi sebagian tulang belakang saya ini adalah tulang rusuk perut,” jelasnya.
Tak Putus Menuntut Ilmu
Soal pengalaman merasakan kegetiran hidup, mungkin Bunda Yulia bisa dikatakan kenyang. “Orang itu suka bilang ke saya, kok, kayanya masalahmu banyak amat, ya? Nggak ada berhentinya kena masalah. Ya miskinlah, sakitlah, cerailah,” ujarnya seraya tertawa.
“Tapi itulah mungkin yang membuat saya bisa memotivasi orang lain, kemudian orang lain tersentuh dengan motivasi saya, karena saya sudah kenyang mengalami masalah hidup.”
Kendati hidup dalam kesulitan, semangat Bunda Yulia untuk menuntut ilmu tak pernah surut. Walau tak di biayai orang tua,ia tetap melanjutkan pendidikan ke SMA. Bahkan, ketika dirinya tengah menjanda, dengan tiga anak yang masih kecil-kecil, ia meyempatkan kuliah di STID Al-Hikmah, Bangka, Jakarta Selatan.
“Saya harus pintar, saya harus cerdas, agar anak-anak saya pun menjadi anak yang cerdas.” Tekadnya. Di tempat kuliah itulah ia bertemu dengan Hajjah Amismar, sesama mahasiswi Al-Hikmah, yang kemudian menjadi ibu angkatnya. Hajjah Amismar kemudian banyak membantu Bunda Yulia melewati masa-masa sulit, termasuk membiayai sekolah ketiga anak Bunda Yulia, Abdurrahman Adzaki (21), Faturrahman (18), dan Mohammad Rizki Fauzan (12).
Awal ia menjadi motivator pun tak lepas dari semangatnya menimba ilmu. Tahun 2011, ia dan suami menghadiri sebuah seminar parenting di daerah Gunung Puteri, Bogor. Seminar tersebut menghadirkan Aris Ahmad Jaya, Direktur PT ABCO Sugesti Motivatindo, sebuah perusahaan jasa trainer dan motivator. Awalnya, Bunda Yulia hanya menawarkan sebidang tanah yang ia ingin jual di daerah Cariu, Bogor, selepas acara seminar tersebut. Terkesan dengan pembawaan Bunda Yulia, sang direktur menawarkan untuk belajar dengannya.
“Awalnya, saya nggak tahu kalau saya disuruh belajar menajdi motivator. Saya ikut aja saran Pak Aris untuk ikut kemana pun dia mengisi training motivasi.” aku Bunda Yulia. Dari hasil ikut-ikut itu, ia belajar bagaimana berbicara di depan orang banyak dan cara menumbuhkan motivasi dalam diri orang lain.
Bunda Yulia membagi kiatnya dalam menghadapi masalah. “Setiap kali tertimpa masalah, saya mencoba mengingat kebahagiaan-kebahagiaan saya, mengingat wajah anak-anak saya. Setelah itu timbul lagi semangat dalam diri saya,” ujarnya dengan mantap. Aida Hanifa
Cobaan dalam Rumah Tangga
Sebagai motivator, Bunda Yulia kerap menerima curahan hati para peserta training. Seorang ibu yang curhat mengenai masalah rumah tangganya pada Bunda Yulia pernah mencibir, “Ah, Bunda nggak tahu perasaan saya. Bunda, kan, tidak pernah mengalami seperti saya.” Mendengar itu, Bunda Yulia hanya bisa mengulum senyum.
Memang tak banyak peserta yang tahu bahwa ia juga pernah mengalami kegagalan berumah tangga. “Setelah sembuh dari lumpuh yang pertama, dan sebelum hijrah ke Depok, saya bercerai dengan suami saya, “ ungkapnya. “Selama tujuh tahun, ada tarik-ulur dalam batin saya. Setiap kali terpikir untuk cerai, hati saya bilang, nanti dulu, kasih kesempatan lagi. Begitu terus selama tujuh tahun hingga akhirnya saya bulatkan untuk bercerai.”
Kini sudah hampir enam tahun Bunda Yulia kembali mengarungi biduk Rumah Tangga. Ia menikah dengan Bambang Supriyanto yang usianya lebih muda sepuluh tahun darinya.
Pengalaman jatuh bangun inilah yang membuat Bunda Yulia tahu apa yang harus ia lakukan ketika menerima curhatan para ibu tentang kondisi rumah tangga mereka. Ia juga sengaja membuka pintu rumahnya bagi siapa pun yang datang untuk berkonsultasi. Bahkan pernah pula ia harus menjawab telepon jam 3 pagi hanya untuk mendengarkan keluhan seorang ibu.
“Orang cerita ke saya itu terkadang bukan untuk mencari solusi. Solusinya sebenarnya sudah diketahui. Ia cerita ke saya hanya untuk di dengar, untuk mengeluh.” [Syahida.com]
Sumber : Majalah Ummi