Syahida.com – “Keluarga pencinta ilmu bukanlah tercipta dalam waktu sekejap. Ia ada karena orangtua mewariskan kecintaan akan ilmu kepada anak-anaknya.”
Mungkin sering kita lihat aktivis dakwah yang di masa kuliahnya gigih menuntut ilmu dan banyak terlibat kegiatan sosial, ketika menikah semangatnya melempem. Ia tenggelam (atau malah menenggelamkan diri) dalam pekerjaan rumah tangga. Bahkan, seolah tak cukup waktu untuk membaca buku, mengikuti kajian, atau berdiskusi; apalagi memikirkan bagaimana langkah membentuk keluarga pembelajar, anak-anak yang mencintai ilmu dan bermanfaat bagi sesama.
Padahal, orangtualah basis pertama anak dapat tumbuh sebagai pribadi yang mencintai ilmu. Menurut Belen Medina, dalam buku The Filipino Family, keluarga adalah lembaga dasar masyarakat yang menjadi kelompok sosial pertama bagi individu untuk berinteraksi. Di keluarga pula seseorang menghabiskan paling banyak waktu sepanjang hidupnya. Hal ini membuat keluarga berfungsi penting dalam membentuk perilaku anak (berdasarkan pengalaman pertama berinteraksi) yang akan berperan penting bagi kehidupannya di masa datang.
Keluarga cinta ilmu mensyaratkan orangtua yang mau belajar dan siap menjadi orangtua. Memang tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua. Namun, dengan kemauan dan komitmen kuat menjadi pribadi pembelajar, serta mewariskan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak, jalan untuk membangun keluarga cinta ilmu selalu terbentang.
Ilmu yang Bermanfaat
Sesuai hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyebutkan, tuntutlah ilu dari buaian hingga liang lahat, maka, kata Septi Peni Wulandani, praktisi pendidikan yang peduli dengan dunia anak dan pengembangan keluarga, sudah selayaknya menuntut ilmu menjadi ruh setiap keluarga dalam mendidik anak-anaknya.
“Menuntut ilmu tidak terkotak-kotakkan dan tidak dibatasi oleh waktu dan ruang. Menuntut ilmu itu diawali dari anak bangun tidur sampai terlelap kembali. Semua aktivitas anak bersama kita haruslah dimaknai sebagai proses menuntut ilmu,” urai Septi.
Sayangnyam kita kerap salah persepsi mengenai keluarga berilmu. Dewi Utama Fayza, pemerhati pendidikan, menekankan, jangan maknai keluarga cinta ilmu sebatas anak yang kutu buku atau rajin sekolah. Apa gunanya anak gemar membaca buku tapi tidak bisa bersosialisasi, tak mau berbagi dengan sesama atau enggan merawat bumi tempat dia tinggal.
“Keluarga cinta ilmu itu sisinya sangat luas. Harus ada landasan keilmuwan, teori, praktik, dan menjadi habit atau kebiasaan yang memberikan manfaat. Dia (pembelajar, red) harus kaffah, utuh. Berilmu untuk kehidupan yang bermanfaat,” tegasnya. Ilmu bukanlah ilmu jika hanya sampai dicerna di otak, tidak bisa diolah dan disarikan sehingga bermanfaat buat masyarakat buat masyarakat, tambah Dewi.
Tetapkan Tujuan
Lalu bagaimana menumbuhkan semangat anak untuk menuntut ilmu? Septi memberikan contoh apa yang ia terapkan di keluarganya. Pendiri Komunitas Ibu Profesional ini bersama suami menetapkan empat tujuan mendidik anak, yaitu meningkatkan rasa ingin tahu anak (intellectual curiosity), mengasah kreativitas dan imajinasi anak (creative imagination), menggali rasa suka anak-anak untuk menemukan sesuatu (art of discovery and invention), dan membangun akhlak mulia (noble attitude).
“Keempat hal tersebut selalu kami jadikan finish line dalam prose mendidik anak, sehingga perjalanan mendidik anak, sehingga perjalanan mendidik anak di keluarga tidak terombang-ambing tak tentu arah. Cara penyampaiannya pun kami lakukan dengan tiga hal yang tidak pernah ditolak anak, yaitu bermain, dongeng dan hadiah.”
Melalui game “bertanya” tentang sesuatu hal, misalnya, Septi menumbuhkan rasa ingin tahu anak. Ini membuat mereka mencari ilmu dari rasa ingin tahunya itu. Kemudian, dengan tiga kata tanya pengasah kreativitas dan imajinasi anak, seperti “mengapa”, “mengapa tidak”, “bagaimana jika”, anak-anak asyik dengan proses menemukan, proses membuat hal baru, proses pencerahan dan memudahkan belajar mereka. Inilah tahap art of discovery and invention.
“Biasanya jika sudah memasuki tahap itu, anak-anak selalu ingat dua kalimat yang kami tekankan. ‘It’s okay to make mistakes as long as i learn from my mistakes’ dan ‘Good is not enough anymore, we must be different’. Ternyata dua kalimat ini ampuh untuk memicu semangat menuntut ilmu pada anak-anak,” tutur Septi.
Di titik akhir, Septi pun selalu menekankan pada ketiga anaknya, apabila ilmu itu sudah mereka raih, tidak akan ada nilainya jika terus disimpan untuk diri sendiri. “Bagikan ilmu tersebut agar menjadi bagian dari ilmu yang bermanfaat. Inilah penekanan pada poin membangun akhlak mulia.”
Anak-anak merupakan amanah Allah yang berat. Mereka hanya akan bisa meningkatkan kualitas hidupnya dengan ilmu. “Maka bekalilah generasi-generasi Rabbani ini dengan ilmu yang kuat. Sebab, tak selamanya anak-anak akan bersama kita,” pungkas Septi.
Yuk, Kejar Ketertinggalan Kita
Tak ada kata terlambat memulai keluarga cinta ilmu. Lakukan rekonstruksi sekarang juga. Dewi Utama Fayza dan Septi Peni Wulandani menyarankan hal berikut untuk mengejar ketertinggalan kita dalam membentuk keluarga pencinta ilmu.
- Dalam komunitas, ibu-ibu saling berbagi pengetahuan dan terus belajar.
- Gunakan teknologi. Selain buku, internet sebagai sumber bacaan genggamlah di tangan Anda.
- Ikuti seminar tentang pendidikan, pengasuhan anak dan lainnya yang bermanfaat untuk pengembangan diri.
- Buatlah ‘menu’ menuntut ilmu untuk anak-anak selayaknya menu makan mereka. Jadi, ada menu menuntut ilmu pada pagi, siang dan malam hari. Penuhilah aktivitas tersebut dengan bermain, dongeng dan hadiah.
- Buat sebanyak-banyaknya waktu yang berkualitas bersama anak-anak, Misal, usai shalat berjamaah, saat makan bersama, dalam perjalanan, dan sebagainya. Penuhi aktivitas tersebut dengan percakapan-percakapan yang berkualitas dan penuh kehangatan. [Syahida.com]
Sumber: Majalah Ummi No. 6 | XXVI