Syahida.com – Perempuan muda itu mencoba tersenyum. Setengah ragu ia melangkah. Ia tahu, semua mata tetangga akan tertuju padanya. Bulan lalu ia menikah, dalam keadaan hamil 4 bulan. Ia sadar perutnya yang makin membesar tak bisa lagi ditutupi. “Tapi hidup, harus terus berjalan,” begitu bisik hatinya.
Longgarnya norma sosial?
Fenomena hamil sebelum menikah kini semakin merebak. Orang tidak shock lagi ketika mendengar remaja belasan tahun sampai perempuan dewasa berbadan dua sebelum menikah. Tayangan infotainment gencar memberikan artis-artis yang hamil lebih dahulu dengan teman kencannya. Bagai ‘santapan lezat’, beritanya terus diburu. Sang artis pun tak sembunyi-sembunyi lagi dengan perutnya yang membuncit. Beberapa malah tertawa-tawa ketika disorot kamera.
Pemerintah mengakui bahwa tingkat kehamilan di luar nikah sangat tinggi, mencapai 17% tiap tahun yang akhirnya meningkatkan garfik aborsi. Survey Badan koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyimpulkan, separuh remaja lajang di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks pranikah, dengan rentang usia 13-18 tahun.
“Berdasar data, dari 100 remaja, 51 diantaranya sudah tidak perawan,” ungkap Kepala BKKBN Sugiri Syarief. Menurutnya, hal yang sama terjadi pula di Surabaya (54 %), Yogya (37%), dan Bandung (47%).
Vera Itabiliana K Hadiwidjoyo, Psi, Psikolog anak dan remaja, mengatakan hal ini disebabkan, terjadinya pergeseran nilai-nilai, terutama di kota besar. Hubungan seks di luar nikah yang tabu dan terlarang kini dianggap hal biasa. Akibatnya, risiko kehamilan di luar nikah juga semakin besar.
Menurut Vera, upaya pencegahan maupun pemberian sanksi sosial jadi kurang maksimal, karena masyarakat mulai menganggap hal ini sebagai kewajaran. Jika sudah dianggap hal yang wajar, sulit mengharapkan terjadinya sanksi sosial bagi mereka yang hamil di luar nikah. Apalagi tidak setiap orangtua menganggap hamil diluar nikah adalah hal memalukan dan menjadi aib. Reaksi orangtua, termasuk solusi yang dipilih, juga jadi sangar subyektif.
Menikah sebagai solusi?
Irma –sebut saja demikian- (38) tahun, hamil di luar nikah ketika kuliah semester tiga. Ilham, pacarnya, bersedia bertanggung jawab. Mereka menikah dan berhenti kuliah. Ilham lalu bekerja, dan Irma jadi ibu rumah tangga. Di tahun ketiga pernikahan, mereka semakin sering cekcok. Gaji yang diperoleh tak sebanding dengan kebutuhan hidup.
Merasa tak mampu mengatasi masalah, keduanya sepakat bercerai. Namun beruntung orangtua Irma dan Ilham turun tangan sehingga perceraian urung terjadi. “Sungguh tak enak memasuki pernikahan tanpa kesiapan mental dan kedewasaan,” ujar Irma. Saat itu hanya membayangkan keindahan, tak pernah terpikir risiko yang mungkin terjadi.
Apa yang dialami Irma dibenarkan Dr Erna karim, M.Si, sosiolog dari Universitas Indonesia. Pernikahan yang tanpa ilmu hanya akan membuat kualitas keluarga semakin terpuruk, naiknya angka perceraian dan anak-anak terlantar. Selama ini menikahkan anak yang hamil di luar nikah menjadi satu-satunya solusi yang dilakukan banyak orangtua. Ketika anak hamil, maka ia akan segera diminta untuk menikah, siap atau tidak siap mentalnya.
Hal yang mengerikan adalah ketika mereka tak beranai mengakui kehamilannya. Terlebih bila si pacar menolak bertanggung jawab. Maka indikasi paling nyata adalah angka aborsi yang meningkat tajam serta semakin seringnya kita mendengar berita penemuan mayat bayi yang dibuang.
Bingkai sosial vs bingkai agama
Bingkai sosial yang kini semakin bergeser mungkin bisa memberikan pemakluman. Tapi sesungguhnya bingkai agama harus mampu menjadi pagar yang membentengi anak-anak kita dari perilaku seks bebas. Bagaimanapun agama sudah mengatur tentang zina. Pelanggaran, bahkan hukuman yang layak diberikan terhadap pelakunya. Islam menekankan bahwa zina adalah dosa besar, dan pelakunya layak dicambuk 100 kali dan diasingkan hingga setahun lamanya. Ustadzah Nurhamidah, Lc., M.Ag dengan tegas menyatakan, kondisi ini terjadi karena kelemahan iman. Iman yang dimiliki tidak lagi mampu menjadi pembeda antara haq dan batil.
Menurutnya, pernikahan sebagai jalan yang dipilih solusi di dunia. Sebaliknya orangtua harus mengingatkan anaknya, bahwa peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang sanksi diakhirat tak bisa diabaikan. Nurhamidah juga meminta orangtua untuk tidak berhenti mengingatkan anaknya untuk bertobat dan terus berbuat baik, demi mengharap ridha dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sulit rasanya memberikan mendidik anak dan membentenginya dari kehidupan yang semakin bebas hanya kepada sekolah, pemerintah, apalagi media massa. Tindakan preventif yang mungkin dilakukan adalah merekatkan hubungan keluarga, dengan penanaman nilai akhlaq dan keimanan.
Orangtualah yang memiliki peran utama dan ideal untuk mendidik dan memberitahu anak-anaknya sejak dini. Perlu ketegasan sikap orangtua untuk membentuk anak menjadi pribadi kuat dan tegas membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Komunikasi terbuka dan hangat antara anak dan orang tua lebih efektif untuk menjaga agar anak tak mudah terjerumus dalam hubungan seks pranikah. [Syahida.com]
Sumber: Ummi No.7/ XXIII/ November 2011/ 1432 H
Tanda-tanda hari Kiamat termasuk salah satu topik yang mendapat perhatian besar dari Rasulullah SAW dalam…
Adapun tanda-tanda peristiwa yang membicarakan dekatnya hari Kiamat, maka ayat-ayat tersebut terkesan membicarakan secara sekilas.…
“Ilusi adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah pertama untuk penyembuhan”.…
Mengapa Nabi Isa - sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad - malah justru membunuh babi…
Sejak mewabahnya COVID-19, kini hampir sebagian besar penduduk bumi dilarang untuk saling bersentuhan, harus menjaga…
Sejak awal tahun 2020 ini, seluruh dunia dilanda wabah penyakit COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2…
This website uses cookies.