Syahida.com – Sebuah tim wakil pemerintah pusat pada tahun 1967 mendatangi sebuah desa di NTT lalu meminta penduduk setempat untuk memilih satu di antara tiga agama: Kristen Katolik, Kristen Protestan, atau Islam. Mengapa?
Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, tepatnya di Desa Oeue, enam jam perjalanan darat ke arah timur Kota Kupang. Saat itu, penduduk setempat belum memeluk agama. Mereka masih menganut kepercayaan animisme. Kedatangan tim tersebut adalah salah satu langkah pemerintahan dalam rangka membasmi gerakan PKI yang diklaim telah melakukan makar di Jakarta lewat G 30 S/ PKI. Dengan cara ini, pemerintahan ingin memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia telah memeluk agama.
Menghadapi pilihan itu, pemimpin masyarakat desa kala itu, Gabriel Isu, ternyata mengambil pilihan yang tidak disangka-sangka, ia memilih Islam dan mengganti namanya menjadi Gunawan Isu. Keputusan Gabriel pun disokong oleh tokoh masyarakat yang lain, di antaranya Tuak Nobisa, yang kemudian berganti nama menjadi Arifin Nobisa. “Ini pilihan yang tidak umum. Sebab, masyarakat NTT umumnya beragama Kristen karena para misionaris sudah ada yang datang sebelumnya,” kata Zulkarnain Nobisa, tokoh masyarakat Desa Oeue yang juga putra Arifin Nobisa.
Kembali ke Titik Nol
Keputusan Gunawan Isu yang di dukung oleh para pemuka masyarakat di Desa Oeue dan beberapa desa di sekitarnya, “Waktu itu jumlah masyarakat yang menjadi Muslim mencapai 10 orang,” kenang Zulkarnain. Tapi sayangnya, setelah pengalaman itu tidak ada bimbingan yang diberikan oleh pemerintah. “Karena tidak ada bimbingan, lambat laun banyak yang murtad. Mereka kembali ke kepercayaan lama. Dari 10 ribu kembali ke nol, “ katanya lagi.
Angka umat Islam yang menurun drastis ini menyebabkan Gunawan dan Arifin bahwa mereka tidak bosa hanya bersandar pada pemerintahan untuk membina umat. Akhirnya, sekitar tahun 1990-an mereka mulai mengirimkan beberapa pemuda yang masih selamat keislamannya untuk berlajar Islam ke Jawa, salah satunya Zulkarnain.
Merantaunya Zulkarnain dan beberapa temannya ke pulau Jawa untuk belajar telah membuka jalan bagi Muslim Oeue untuk berhubungan dengan dunia luar. Hubungan yang dibina oleh Zulkarnain di tempat ia merantau membuahkan hasil. Beberapa waktu setelah keberangkatan Zulkarnain ke Jakarta, beberapa ormas Islam yang peduli dengan kondisi di Oeue mulai berdatangan ke sana, di antaranya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan PPPA Darul Qur’an pimpinan Ustadz Yusuf Mansur.
Zulkarnain sendiri baru kembali ke Oeue pada tahun 2004 setelah bermukim selama lima tahun di Bandung setelah lulus dari Fakultas Ilmu Komunitas Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung pada 1999. Dengan bantuan dari beberapa ormas Islam yang datang. Arifin dan Zulkarnain perlahan berhasil membawa penduduk Oeue kembali kepada Islam. “Butuh 37 tahun bagi kami untuk mengembalikan umat kepada Islam. Kini, 2.024 keluarga yang ditulangpunggungi oleh 624 KK di Desa Oeue telah kembali menjadi Muslim,” tutur Zulkarnain.
Terus Bertahan
Kembalinya penduduk Desa Oeue kepada Islam bukan berarti tugas Zulkarnain dan para dai di sana sudah selesai. Masih ada setumpuk tugas pembinaan umat yang harus dikerjakan. Bukan hanya masalah agama tapi juga persoalan pendidikan dan kesejahteraan sosial yang sampai kini kondisinya sangat memprihatinkan. Dari segi ekonomi, Desa Oeue terhitung sangat miskin. “Hampir seluruh penduduk bermatapencaharian bertani. Pendapatan penduduk Oeue sekitar 40 ribu rupiah perbulan. Itu pun pendapatannya sudah dibilang lumayan,” kata Zulkarnain. Bimbingan pada petani juga belum ada sehingga pertanian di Oeue belum terarah.
Zulkarnain juga menyayangkan minimnya perhatian pemerintahan pada pembangunan desanya, “Jalan menuju desa kami masih berbatu dan berlubang. Dari dulu belum dibenahi oleh pemerintahan.” Kondisi jalan yang buruk menambah kesulitan masyarakat Oeue untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka karena hasil panen yang didapat tidak bisa mencapai pasar dengan cepat. Biaya menuju pasar juga tinggi. Naik ojek dari desa ke kota kecamatan saja memakan biaya 40 ribu. “Kalau ada jual pisang satu sisinya 10 ribu rupiah, jual empat sisir, sudah habis buat ongkos ojek,” ungkap Zulkarnain.
Mata Air yang Terabaikan
Namun, di tengah kondisi yang begitu memprihatinkan, masyarakat Oeue masih tetap istiqamah menggenggam Islam sebagai agama mereka. Sekuat tenaga, Zulkarnain dan beberapa dai dari berbagai ormas setia membimbing umat meskipun secara kuantitas jumlah pembimbing masih jauh dari memadai. Sarana pendidikan juga mulai dirintis. “Alhamdulillah kini di Oeue sudah ada satu Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Tapi kalau mau melanjutkan harus ke kota kecamatan,” papar Zulkarnain lagi.
Selain sekolah, pendidikan bagi masyarakat Oeue juga dilakukan lewat masjid. Menurut Zulkarnain, Oeue memiliki masjid terbanyak di banding desa-desa lain di Kecamatan Amunaban Timur, bahkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ada sekitar tujuh masjid di Oeue yang seluruhnya diupayakan untuk dimakmurkan, bukan Cuma digunakan untuk ibadah tapi juga dipakai untuk pertemuan warga dan penyuluhan-penyuluhan.
Abainya pemerintah semakin menjadi ironi ketika pendudukan desa Oeue bukan hanya mencari cara sendiri untuk bertahan hidup, tapi juga menyokong kehidupanan bagi masyarakat lain di daerah sekitar. “Alhamdulillah, di masa kering seperti ini Oeue termasuk desa yang masih terdapat banyak air. Sekarang kami sedang mencari jalan agar bisa membagi air ini ke daerah lain,” kata Zulkarnain yang bolak-balik ke Jakarta untuk mengurus pembangunan saluran air itu.
Melihat kemandirian masyarakat dan sumber daya air yang dimiliki oleh Oeue nampaknya sudah saatnya bagi pemerintah untuk segera turun membenahi infrastruktur. “Kami seperti dibiarkan. Kami harap pemerintah bisa segera membangun jalan dan membantu pendidikan masyarakat,” harap Zulkarnain. [Syahida.com]
Sumber: Majalah Ummi No. 11| XXIV