Syahida.com – Ada ungkapan, bila dai adalah dokter, maka Umat adalah pasiennya. Namun apa yang terjadi jika dokter salah dalam mengobati? Alih-alih sembuh, pasien malah bertambah parah sakitnya. Demikian halnya dalam dakwah tidak mencapai tujuannya. Salah satu bentuk kesalahan tersebut adalah ketika di dalam diri dai berkembang penyakit mental (ma’nawiyah), antara lain:
Sikap Reaktif (Infi’aliyyah)
Seorang dai dikatakan reaktif jika setiap gerakannya tidak berangkat dari tujuan dan sasaran; tidak berdasarkan tahapan-tahapan; dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas. Akibatnya, semua manuvernya tak lebih dari sekedar reaksi terhadap kondisi yang muncul saat itu atau terhadap isu yang dianggap aktual.
Dengan kata lain, dakwah yang Infi’aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (sistem) yang jelas. Padahal Allah telah menegaskan pentingnya manhaj yang jelas itu dalam firman-Nya, “Katakanlah! Inilah jalanku, aku menyeru ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas.” (QS. Yusuf [12]: 108)
Untuk bisa bekerja berdasarkan manhaj, dibutuhkan satu syarat; kesabaran. Dalam surat Al-Ashr telah dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, semua orang dalam keadaan merugi dari waktu ke waktu kecuali hamba tersebut senantiasa bersabar di dalam saling mengajak semua manusia untuk taat kepada Allah. Terkadang kita ingin sekali hidayah datang saat ini juga ketika telah berdakwah. Pada hakikatnya, kerja dakwah adalah kerjanya Allah dan mustahil Allah gagal dalam pekerjaan-Nya.
Kuatnya Figuritas (Wijahiyyah)
Telah banyak kericuhan terjadi akibat figuritas ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan disampaikan oleh orang yang dia jadikan figur. Sebaliknya, dia pasti akan menerima apa pun yang disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya, betapapun nyata-nyata salah menurut Qur’an dan Sunnah.
Figuritas dapat memunculkan tradisi taqlid (sikap membebek). Sikap yang kemudian berkembang adalah kecintaan pada tokoh, bukan pada Islam. Berjuang karena figur dan bukan keikhlasan. Pada waktu bersamaan, pembelaan terhadap Islam melemah.
Islam memerintahkan kita taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pada waktu bersamaan, Allah juga memerintahkan agar pengorbanan dan perjuangan dilakukan karena-Nya, bukan karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seoang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya rasul-rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang (murtad)?” (QS. Ali Imran [3]: 144)
Merasa Paling Hebat (I’tizaziyyah)
Dakwah seharusnya mengarahkan orang pada sikap tawadhu (rendah hati). Bila seorang dai sejak awal merasa paling hebat dan dakwahnya paling benar, yang akan tumbuh adalah sikap sombong dan takabur, serta memandang orang lain dan gerakan dakwah lain tidak artinya. Perasaan selalu nomor satu adalah penyakit yang ditularkan Iblis. Iblis merasa hebat dengan sesuatu yang sebetulnya bukan parameter kehebatan. Refleksi I’tizaziyyah dalam dakwah hadir dalam berbagai bentuk. Bentuk yang sering muncul, keengganan menjalin kerja sama dalam suatu proyek dakwah. Bahkan merasa bisa melakukan dakwah sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal lain yang kerap timbul juga, klaim kebenaran mutlak untuk diri dan kelompak sendiri serta kesalahan mutlak untuk orang lain. Sering kali dalam bentuk pengelompokan dan “pengkavlingan” negeri akhirat. Siapa yang mengikutinya “ditempatkan” di surga dan yang tidak mendukung ia “masukkan” ke neraka. Seolah ia telah dititipi kunci surga oleh Allah.
Merendahkan dan Menafikan Kebaikan yang Lain (Intiqashiyyah)
Bagaikan dua sisi mata uang, bangga dengan diri sendiri selalu bersanding dengan sikap merendahkan orang lain. Jika ini yang berkembang, ada dua kemungkinan yang muncul saat melihat keberhasilan orang lain, yaitu dengki dan menafikan keberhasilan itu.
Dengki maupun sikap menutup mata terhadap keberhasilan yang dicapai orang pada dasarnya sama, yaitu tidak mensyukuri karunia Allah karena karunia itu tidak turun kepada dirinya. “Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan,” (QS. Yunus [10]: 58).
Akibat sikap infi’aliyah (reaksioner), wijahiyyah (orientasi figur), i’tizaziyyah (merasa kuat), energi dakwah akan banyak terkuras untuk merespons berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem sosial yang terjadi. Sementara itu, permasalahan umat yang sesungguhnya terabaikan.
Bukan berarti dakwah tidak perlu menanggapi permasalahan yang ada. Akan tetapi dalam konteks ini, ada beberapa hal yang harus ditegaskan. Pertama, berdasarkan paradigma Islam, segala problem kemasyarakatan maupun individual muncul akibat jauhnya manusia dari akidah dan syariat Islam. Kedua, karenanya, harus ada gerakan yang integral dan simultan untuk membenahi akibat umat dan menumbuhkan keberpihakan terhadap syariat Islam.
Paling tidak, ada dua syarat untuk bisa menyelesaikan persoalan ini: adanya kerja sama (amal jama’i) antara da’i dan kelompok dakwah; dan, terciptanya kondisi masyarakat yang mempunyai kesadaran dan wawasan Islam yang syamil (integral).
Namun, bagaimana mungkin terjalin amal jama’i yang harmonis, saling menguntungkan dan penuh ukhuwah jika terdapat i’tizaziyyah dan intiqashiyyah? Mungkinkah masyarakat akan sampai ada tingkat pemahaman yang baik jika mereka tak diajak menyalami keutuhan Islam, akibat terjebak dengan fenomena dan isu temporer? Penyakit para dai ini harus diwaspadai. Jika tidak, ia bisa menimbulkan kehancuran dan kebinasaan. [Syahida.com]
Sumber: Majalah Ummi No. 6 | XXVI