Syahida.com – Al-Qur’an menyebutkan tipe-tipe suami. Tidak salah manakala saya menuliskannya dalam lembaran ini sebagai bahan koreksi bagi kita bersama. Jika ternyata kita berada pada tipe yang salah, langkah bijak yang paling tepat untuk diambil adalah dengan segera memperbaikinya.
Berdasarkan keimanannya, Al-Qur’an membagi suami istri ke dalam empat tipe:
- Tipe keluarga di mana suaminya kafir dan istrinya juga kafir. Tipe ini diwakili oleh Abu Lahab dan istrinya yang bernama Hindun, disebut juga dengan nama Ummu Jamil. Kisahnya terdapat d dalam Al-Qur’am surat Al-Lahab.
- Tipe keluarga di mana suaminya beriman kepada Allah, sedangkan istrinya kafir. Tipe ini diwakili oleh Nabi Nuh Alaihis salam dan istrinya, serta Nabi Luth Alahis salam dan istrinya. (At-Tahriim [66]: 10)
- Tipe keluarga di mana suaminya kafir, sedang istrinya muslim. Tipe ini diwakili oleh Asiyah binti Mazahim, istri Fir’aun. (At-Tahriim [66]: 11).
- Tipe keluarga di mana suaminya dan istri adalah orang yang beriman kepada Allah. Tipe ini diwakili oleh Ibrahim dan istrinya, Hajar. (Ibrahim).
Zaman telah berubah, tetapi sejarah seolah merupakan roda yang senantiasa berputar. Tipe-tipe yang dikisahkan Al-Qur’an ini hidup ribuan tahun lalu. Namun karakteristik dan sifatnya tetap abadi sampai sekarang. Keempat tipe tersebut sangat mudah kita temui untuk masa sekarang ini. Ada suami yang shalih, tetapi istrinya kedapatan selingkuh. Atau sebaliknya, sang istri rajin beribadah dan sungguh-sungguh dalam memenuhi hak-hak suami, namun suami justru memiliki kebiasaan berjudi. Inilah realita kehidupan bahwa akan selalu ada keempat tipe di atas.
Adapun kita, tentunya berharap dan tentunya berusaha, jangan berharap saja, yaitu memiliki keluarga sebagaimana tipe yang keempat, suami dan istri adalah dua hamba yang beriman kepada Allah, sehingga mampu mewujudkan sebuah keluarga Islam dalam rangka mengharap ridha-Nya. Insyaallah.
Keutamaan Suami Atas Keluarganya
Sebagai seorang laki-laki dan seorang suami, saya wajib untuk bersyukur karena telah diberikan kesempatan oleh Allah mengemban predikat ‘suami’. Apalagi ketika saya mengetahui banyaknya keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada sosok yang bernama suami. Semoga setiap laki-laki muslim yang menyandari dan mensyukuri kenikmatan ini.
Kenikmatan yang melekat pada diri seorang suami adalah berupa keutamaan-keutamaan yang luar biasa yang diberikan oleh Allah. Kenikmatan tersbeut menuntut kepada penikmatnya untuk mensyukurinya. Adapun cara mensyukuri adalah dengan hati, lisan dan perbuatan. Hati membenarkan bahwa kenikmatan itu berasal dari Allah. Lisan mengucapkan pujian dan rasa terima kasih kepada Allah karena telah memberikan kenikmatan tersebut. Sedangkan perbuatan, ia mensyukuri dengan cara sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah radhiyallahu anhu, yaitu, “Tashrifun ni’mah ‘ala muuraadi mu’thihaa,” menggunakan nikmat sesuai dengan kehendak Pemberi nikmat (Allah Ta’ala).
Apa saja keutamaan yang melekat pada diri suami, sehingga menjadikan keutamaan-keutamaan tersebut sebagai besar baginya dan wajib untuk disyukuri? Berikut ini beberapa keutamaan seorang suami. Keutamaan ini tidak didapati oleh seseorang kecuali bila ia memiliki predikat sebagai suami.
Pertama, suami adalah qawwam bagi wanita (istri-istrinya). Allah sengaja memilih kata ‘qawwam’, sebuah kata yang memiliki makna luar biasa. Kata ‘qawwam’ merupakan perwujudan dari semua kewajiban suami terhadap istri, meliputi pemimpin, pelindung, pendidik dan sebagainya. Allah mendeskripsikan tugas tersebut dalam satu kata, yaitu ‘qawwam’, sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Laki-laki (suami) itu adalah qawwam bagi wanita (istri)…” (An-Nisa [4]: 34).
Qawwam merupakan fungsi yang luar biasa dari seorang suami. Dengan fungsi itu pula, seorang suami diwajibkan menjaga dirinya, istri dan anak-anaknya dari siksa api neraka, sebagaimana peringatan Allah dalam Surat At-Tahrim ayat 6. Pada proses ini, fungsi ‘qawwam’ harus digunakan dengan bijaksana. Ketika ia digunakan dengan tidak bijaksana, yang terjadi adalah kesewenang-wenangan dan pemaksaan yang dapat berujung pada sikap perlawanan dan pembangkangan. Padahal, dalam memegang fungsi ini, seorang suami kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingakan kita:
“Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya..”[1]
Kedua, suami adalah orang pertama yang wajib ditaati oleh istri. Pada suatu ketika, para sahabat radhiyallahu ‘anhum hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian mereka bertanya, “Kami melihat orang non-Arab, sangat dihormati rajanya dengan bersujud. Padahal engkau lebih berhak dihormati seperti itu.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi komentar lain:
“Seandainya aku (boleh) menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, aku pasti menyuruh seorang istri sujud kepada suaminya.”[2]
Tentunya ketaatan semacam ini adalah ketaatan dalam perkara yang hak dan mubah, bukan perkara maksiat. Jika suami memerintahkan suatu perbuatan yang merupakan salah satu bentuk dari kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban bagi istri untuk menaatinya. Bahkan wajib bagi istri untuk menolak dan meluruskannya.
Ketaatan istri terhadap suaminya adalah keutamaan yang besar bagi seorang suami. Artinya, suami memiliki hak atas istrinya untuk ditaati. Sedangkan bagi istri, ketaatan terhadap suami dapat melahirkan keutamaan yang luar biasa untuknya, yaitu jaminan akan jannah sebagaimana janji Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Jika seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka ia peroleh panggilan: Masuklah dalam surga dari pintu manapun yang engkau kehendaki.”[3]
Ketiga, suami dapat menjadi sebab seorang istri memperoleh surga atau neraka. Jika seorang istri menaati suaminya dan tidak pernah mendurhakainya, maka layak baginya menerima balasan berupa surga (sebagaimana hadist pada keutamaan kedua).
Adapun bagi seorang istri yang mendurhakai suaminya atau tidak mensyukuri atas pemberian suaminya, atau tidak mensyukuri atas pemberian suaminya, maka baginya balasan berupa siksa neraka. Hal ini sebagaimana yang disampaikan dalam sebuah riwayat dari Hushain bin Mihshan, bahwa saudara perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya) pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena ada keperluan. Setelah ia menyelesaikan keperluannya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?”
Ia menjawab, “Sudah.”
Beliau bertanya kembali, “Bagaimana sikapmu kepada suamimu?”
Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali yang aku tidak mampu mengerjakannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.”[4]
Keempat, keridhaan suami menjadi salah satu sebab datangnya keridhaan Allah terhadap seorang istri. Sebaiknya, kemurkaan suami akan menjadi salah satu sebab kedatangan murka Allah. Bahkan para malaikat dan bidadari di jannah juga ikut murka terhadap istri yang mendapatkan murka dari suaminya, atau mendurhakai perintah, atau menyakiti hati suaminya.
Demikian beberapa keutamaan seorang suami mewakili sekian banyak keutamanaan yang ada. Adanya keutamaan-keutamaan tersebut, tidak seharusnya menjadi suami bersikap superior, mau menang sendiri dan memperlakukan istri layaknya budak. Keutamaan-keutamaan tersebut hendaknya digunakan secara bijaksana mengingat di balik semua keutamaan yang didapatnya, suami juga mengingat di balik semua keutamaan yang didapatnya, suami juga dibebani tugas dan tanggung jawab yang sangat berat. Kelak, tugas dan tanggung jawabnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. [Syahida.com]
- Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmdzi.
- Tirmidzi dalam Sunannya
- Ibnu Hibban dalam al-Mawaarid dan Thabranii dalam al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Bazzar dari Anas radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’.
- Ibnu Abi Syaibah (VI/ 233, No. 17293), An-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (No. 77-83), Ahmad (IV/ 341), Hakim (ll/ 189) dan Baihaqi (VII/ 291). Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” Adz-Dzahabi menyepakatinya.
Sumber: Kitab Asadullah Al-Faruq (24 Jam amalan agar Istri makin sayang)