Syahida.com – Istri adalah orang yang sangat mudah terpengaruh oleh perilaku suami. Jika ia melihat suaminya sangat menjaga aib, iffah, akhlak, atau ibadah yang baik, istri akan segera meniru. Namun, jika ia melihat suaminya tidak mau menerima kebenaran dan menolak hukum-hukum agama serta etika-etika dalam berumah tangga, istri tidak akan mau memenuhi perintah Rabb-nya dan mengerjakan apa yang bisa mendatangkan ridha suaminya.
“Banyak istri yang semula rajin beribadah, menjaga harga diri, dan perilaku berubah sebaliknya setelah berpindah ke rumah suaminya. Ia membuang kehormatan dan wibawanya karena terpengaruh sang suami.”[1]
Mengapa para suami tidak mau mengambil Rasulullah sebagai teladan dalam teknik mendidik istri, mengajari perkara-perkara agama, memotivasi untuk taat dan mengingatkannya kepada Allah?[2]
Abu Hurairah dan Abu Sa’ad menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika seorang suami bangun malam dan membangunkan istrinya, kemudian keduanya shalat dua rakaat, keduanya ditetapkan sebagai orang yang banyak berzikir kepada Allah.”[3]
Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Apa yang menghalangimu untuk mendengarkan apa yang akan aku wasiatkan kepadamu; jika telah masuk waktu pagi, ucapkanlah:
“Dzat yang Maha Hidup dan terus mengurus (makhluk-Nya), dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah seluruh urusanku dan jangan engkau biarkan aku (tanpa mendapat pertolongan-Mu) sekejap pun.”[4]
Begitu juga ketika Rasulullah mengajarkan kepada Ummul Mukminin, Juwairiyyah binti Al-Harits sebuah zikir pagi dan petang.
“Mahasuci Allah dan dengan memuji-Nya sebanyak jumlah makhluk-Nya, ridha diri-Nya, seberat Arsy-Nya dan sebanyak kalimat-Nya.”[5]
Betapa mulia orang-orang yang saling tolong dalam ketaatan kepada Allah.
Alangkah bahagianya ketika seorang istri mendapati suaminya berkenaan memotivasi dan membantunya untuk beribadah, serta duduk bersamanya di bawah naungan aktivitas rabbani ini.
Alangkah bahagianya keluarga muslim yang berorientasi akhirat.
Alangkah indahnya ketika suami istri duduk bersama, sang istri membaca Al-Qur’an lalu suaminya membenarkan bacaannya atau menjelaskan ayat tersebut untuknya. Atau, berdua melakukan kegiatan yang merupakan bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Oleh karena itu, wahai suami yang mulia. Betolak dari firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tarhim: 6)
Pelajarilah buku yang bermanfaat bersama istri Anda jika Anda belum bisa membuat satu metode sederhana yang sesuai dengan kondisi dan pemahaman istri. Buatlah perpustakaan islami di rumah Anda, meskipun hanya sederhana dan terbatas. Misalnya, Anda menyediakan buku, kaset ceramah atau video islam, serta sarana yang lain. Perpustakaan insya Allah dapat bermanfaat untuk mengasah ilmu dan amal istri Anda.
Ajaklah istri Anda untuk menghadiri kajian yang bermanfaat. Jangan halangi ia –tentunya dengan batas tertentu- untuk menghadiri kajian khusus untuk wanita. Sebab, dalam semua kegiatan itu ada ketentraman dan kebahagian hidup berumah-tangga.
Pesan Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Jika seorang suami sudah mengajari istrinya, seorang istri tidak boleh keluar untuk bertanya kepada ulama, meskipun ilmu suaminya sangat terbatas. Suamilah yang mewakili istrinya untuk meyampaikan jawaban kepada istrinya. Namun, jika suami tidak melakukan hal itu, istri boleh keluar untuk bertanya. Ia bahkan wajib melakukan hal itu. Suaminya dianggap bermaksiat jika menghalanginya.
Meskipun seoerang istri ingin mempelajari kewajibannya, ia hanya boleh pergi ke majelis ilmu dengan kerelaan (baca: Izin) suaminya. Dari sini, jika istri tidak mengetahui salah satu hukum haid dan istihadhah, sementara suaminya tidak mengajarinya maka suami dan istri tersebut berdosa.[6] [Syahida.com]
—
Bersambung
Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.
[1] Lihat Min Akhtha’il Azwaj, karya Muhammad bin Ibrahim Al-Ahmad, hlm 30.
[2] Silahkan dirujuk pernyataan penulis berjudul Sabilil Muttaqin fi Tarbiyatiz zaujah ‘aladdin.
[3] HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Di shahihkan Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ (333).
[4] HR. An-Nasa’i dan selainnya. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (5820).
[5] HR. Muslim.
[6] Lihat Ihya’ ‘Ulumuddien: 2/48.