Syahida.com – Suami adalah pemimpin bagi keluarganya. Dia memiliki tanggung jawab untuk memimpin keluarganya dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Dalam prosesnya, kemampuan dan cara suami memimpin memiliki pengaruh besar terhadap anggota keluarga yang dipimpinnya.
Sebuah rumah tangga yang didominasi oleh sikap keras seorang kepala keluarga akan berakibat pada tumbuhnya rasa ketakutan yang berujung trauma terhadap kekerasan. Hal semacam itu sangat rentan dialami oleh anggota keluarga, baik istri maupun anak-anak. Meski sebagian orang yang beranggapan bahwa kekerasan terkadang diperlukan dalam rangka mendidik dan menanamkan sikap disiplin kepada anggota keluarga, namun nyatanya anggapan ini lebih banyak berdampak negatif daripada sisi positif yang diperoleh. Keluarga bukanlah kamp militer, sehingga menanamkan sikap kedisiplinan dengan cara-cara ala militer tidak sesuai bila dipraktikkan.
Sebaliknya, sikap lunak seorang kepala keluarga juga dapat menimbulkan efek yang tidak baik. Bila sikap lunak tersebut diwujudkan dengan memanjakan istri atau anak-anak, maka akan berakibat pada kemandirian dan ketergantungan mereka terhadap suami atau ayah. Sedangkan apabila sikap lunak diberikan dengan cara memberika kelonggaran yang begitu besar, maka akan menjadikan anggota keluarga merasa bebas melakukan apapun hingga dapat berujung pada tindakan di luar batas kewajaran, baik secara syar’i maupun dari sisi norma lainnya.
Lebih ironis lagi, jika seorang kepala keluarga tidak memiliki kemampuan dan keberanian untuk memimpin keluarganya. Ia cenderung diam dan menuruti setiap ucapan istrinya yang terkesan seperti mendikte. Suami seolah menjadi budak, sementara sang istri menjadi rajanya. Sebuah fenomena suami takut kepada istrinya.
Apabila seoroang suami tidak mampu bangkit dari bayang-bayang istrinya dan tidak pernah berusaha mencoba untuk memegang kendali kepemimpinan dalam rumah tangga, maka keadaan yang demikian akan berakibat pada mudahnya seorang istri bersikap durhaka kepada suaminya. Bahkan anak-anak pun dapat meniru ibunya, berani berbuat durhaka kepada ayahnya.
Wajib hukumnya bagi seorang suami untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Bukan sekedar karena ia seorang laki-laki, tetapi lebih dikarenakan Allah telah menjadikannya sebagai seorang ‘qawwam’ bagi istrinya, dan tentu bagi anak-anaknya pula. Tidak ada alasan untuk tidak menjadi nahkoda pada bahtera keluarganya, karena hal itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kepemimpinan yang seharusnya dipraktekkan oleh seorang suami adalah kepemimpinan yang dilakukan dengan cara arif dan bijaksana. Model seperti ini berada di tengah antara sikap lunak dan keras. Suami hendaknya mampu menjadi seorang yang lemah lembut dengan keluarganya, namun di sisi lain yang juga tetap dituntut untuk menjaga wibawanya selaku kepala keluarga. Artinya, ketika ia berinteraksi dalam keseharian bersama istri dan anak-anak, maka yang dinampakkan adalah sikap lemah lembutnya, namun saat ia mendidik kedisiplinan atau terpaksa menjatuhkan hukuman, maka ia mampu menegakkannya dengan sebijak mungkin
Saat seorang suami terpasksa memberikan teguran kepada istrinya, atau seorang ayah memberikan hukuma kepada anaknya, jangan sekali-kali menampakkan raut muka bahagia. Ia harus dapat meyakinkan istri dan anaknya bahwa dirinya tidak menyukai kesalahan yang telah diperbuat oleh mereka, sehingga ia terpaksa mengambil tindakan itu.
Hukuman ditegakkan dengan tujuan untuk mendidik. Alangkah baiknya disampaikan akan membuat mereka menyesal, berhati-hati dan tidak mengulangi kembali. Jika tidak ada sisi positif dari sebuah hukuman, maka sebaiknya suami menghindari melakukan hukuman. Sebuah hukuman ditegakkan dengan syarat harus mempunyai sebab dan tujuan yang jelas.
Bersikap bijak adalah dengan cara memahami keadaan anggota keluarga, kemudian berusaha memberikan arahan sesuai dengan keadaan tersebut. Misalnya, seorang istri yang tiba-tiba suka marah-marah, hendaknya suami harus mampu menggali apa penyebab istrinya marah-marah. Bisa jadi istri marah karena hal-hal sepele, atau mungkin karena masalah kewanitaan seperti mengalami stress pra-menstruasi. Pada saat semacam ini, langkah tepat yang dapa t diambil oleh suami adalah dengan mengalah serta berusaha memahami keadaannya. Seorang suami hendaknya mampu untuk senantiasa bersikap baik kepada istri dan anak-anaknya, meskipun pada saat itu, istri dan anak-anaknya sedang marah atau jengkel kepadanya.
Hasan Al-Bashri radhiyallahu anhu mengatakan, “Akhlak yang baik dalam urusan keluarga ad atiga, yaitu mengerahkan kemampuan kita untuk mengurus keluarga, menahan dari hal-hal yang tidak baik dan menampakkan wajah ceria.”
Memimpin bukan berarti bersikap otoriter, memaksakan kehendak dan mudah menjatuhi hukuman. Sikap otoriter bukanlah pilihan yang tepat bagi setiap nahkoda dalam bahtera rumah tangga karena sebuah rumah tangga seharusnya dipimpin dengan kasih sayang, kelembutan dan cinta dari seorang kepala keluarga terhadap istri dan anak-anaknya. Bersikap otoriter justru akan menjadi bumerang bagi kepala keluarga karena dapat berakibat pada pembangkangan tersembunyi istri dan anak-anaknya. Atau jika mereka tidak berani bersikap membangkang, akan sangat mungkin bagi mereka mengalami trauma, sehingga ketika berhadapan dengan sang kepala keluarga, mereka merasa ketakutan. Mereka lebih merasakan bahagia jika istri atau ayah mereka yang galak tidak di rumah.
Memperbaiki pola memimpin sebuah rumah tangga adalah sebuah keharusan. Ubahlah pola keras dan otoriter dengan sikap lembut, penuh cinta, namun tetap tegas dalam mendidik dan mengarahnya. Seorang kepala keluarga seharusnya memilih sikap yang bijak dan melupakan gaya otoriter. Dengan demikian, niscaya istri dan anak-anak akan merasa nyaman di bawah kepemimpinannya. [Syahida.com]
Sumber: Kitab Asadullah Al-Faruq (24 Jam amalan agar Istri makin sayang)