Syahida.com – Setiap laki-laki yang berani mengambil keputusan untuk menikah harus berani pula memikul konsekuensi sebuah pernikahan. Dengan demikian, laki-laki yang semula berstatus lajang, kini ia memiliki status baru, yaitu sebagai suami. Status baru ini yang kemudian menghadirkan sejumlah kewajiban yang harus ditunaikan. Salah satu dari kewajiban itu adalah memberi nafkah keluarga, baik berupa sandang, pangan, papan, dan berbagai kebutuhan lainnya.
“…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya..” (Al-Baqarah [2]: 233).
Ibnu katsir menafsiri ayat tersebut dengan menyatakan, “Wajib bagi seorang ayah memberi nafkah kepada ibu-ibu dan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan cara yang ma’ruf yaitu sesuai dengan kebiasaan yang dianggap ideal oleh mereka (para istri), tanpa berlebihan atau terlalu bakhil.”
Para ulama, termasuk imam fiqih yang empat, telah sepakat menetapkan bahwa hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami. Demikian dikatakan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Mundzir dan lainnya.
Ibnu Hamz mengatakan, “Seorang suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya sejak selesainya pelaksanaan akad nikah, baik istri itu berbuat musyuz atau tidak, kaya atau miskin, memiliki orang tua atau yatim, masih gadis maupun sudah janda, merdeka maupun budak berlian, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.”
Kewajiban mencari nafkah tidak boleh disepelekan oleh seorang suami. Jika ia mengabaikannya, berarti ia meninggalkan hukum wajib dan akan mendapatkan siksa dari Allah. Sedangkan jika ia menunaikannya sesuai dengan kemampuan, baginya pahala di sisi Allah karena ia telah menunaikan kewajibannya.
Bagaimana jika seorang laki-laki telah menikah selama dua tahun, tetapi belum juga mandiri dan kebutuhan hariannya dibiayai oleh orang tuanya?
Kasus semacam ini memang banyak terjadi di sekitar kita. Ketika seorang laki-laki menikah, ia hanya bermodalkan nekad, tetapi tidak memiliki pandangan ke depan, khususnya dalam masalah menafkahi keluarga. Ia hanya berusaha mencari lowongan pekerjaan dan memasukkan lamaran bekerja. Alhasih, ia tidak ada pemasukan, sementara kebutuhan hariannya dibiayai sepenuhnya oleh orang tua.
Kebaikan orang tua yang untuk sementara membiayai kebutuhan harian keluarga anaknya memang patut disyukuri. Namun demikian, seharusnya hal itu tidak menjadikan pembenar bagi suami untuk bermalas-malasan dalam mencari nafkah. Meskipun orang tua membantu kebutuhan harian anaknya, tetap tidak menggugurkan kewajiban seorang suami untuk menafkahi istrinya. Ia tidak akan selamanya bergantung kepada orang tuanya karena ia kini telah memiliki keluarga sendiri. Ia harus mampu mandiri. Bekerja di suatu tempat atau berwirausaha adalah alternatif yang harus diambilnya sesegera mungkin. Menafkahi istri dan anak adalah kemampuan dalam memeras keringat, meski hasilnya hanya berupa sedikit makanan yang belum cukup untuk sehari.
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Tidak sepantasnya seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja tidak mencari rezeki dan hanya berdoa, ‘Wahai Allah berikanlah aku rezeki.’ Bukankah kalian mengetahui bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak?.” [Syahida.com]
Sumber: Asadullah Al-Faruq (24 Jam Amalan Agar Istri Makin Sayang)