Syahida.com – Hati Ibunda Nadim berbunga-bunga saat menyaksikan Saha, mempelai wanita rupawan, segera dipersunting anaknya. Inilah saat membahagiakan yang ditunggu-tunggu oleh sang ibu dalam penantian panjang, untuk mengobati hatinya semenjak kepergian ayah Nadim. Sungguh tiada terkira kebahagiaan dan suka cita ibunda Nadim. Sebentar lagi anaknya akan menjadi laki-laki dewasa yang akan menghangatkan suasana rumah almarhum ayahnya. Tentu saja sang ibu akan berbahagia seperti saat anaknya menamatkan studinya pada Fakultas Teknik dan mendapat lapangan pekerjaan di sebuah perusahaan.
Saat itu ibunda Nadim tidak lagi menjadi penjahit busana untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan yang menuntut dirinya untuk duduk di balik mesin jahit, menyambut pelanggan yang kebanyakan para wanita; pecinta keanggunan. Tidak jarang ia harus bekerja lembur demi menjamin kebahagiaan dan harga diri keluarga, supaya tidak perlu meminta bantuan orang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Sang ibu menaruh harapan besar pada sang anak agar kelak mampu membantu meringankan beban yang menghimpitnya. Terlebih ia merasa lebih tua dari usia sebenarnya, lantaran beban tanggungjawab yang berat dan kerja banting tulang untuk menghidupi anaknya yang yatim disamping untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Akan tetapi, beberapa teman ibunda Nadim, yang mengenal jati diri Saha, diliputi perasaan senang bercampur khawatir. Alasan mereka mengapa tidak menceritakan perasaan itu kepada ibunda Nadim, tidak lain karena merasa khawatir ia akan menuduh mereka cemburu. Kecantikan raut wajah Saha telah merebut hati dan bahkan fikirannya. Ia tidak menyadari bahwa kecantikan telah membuat diri Saha angkuh, takabur dan sewenan-wenang. Hal itu diketahui dengan baik oleh setiap orang yang pernah bergaul dengan Saha.
Semenjak hidup bersama Nadim dan membina rumah tangga baru, keangkuhan dan arogansi Saha semakin menjadi. Keinginan Saha menjelma menjadi perintah yang wajib ditaati seluruh anggota keluarga tanpa terkecuali. Sang suami tidak berani menangguhkan permintaan sang istri, apapun bentuknya. Sebab, jika sang suami terlambat memenuhi permintaan sang istri, maka tiada kata maaf yang bisa diterima, dan secara otomatis dari mulut Saha keluar kata-kata makian. Rumah tangga berubah menjadi neraka yang panas tak tertahankan.
Semua anggota keluarga ingin terbebas dari angkara murka Saha dan bekerja demi kepuasan Saha. Akan tetapi, apakah Saha merasa puas? Ternyata tidak! Saya masih teringat ketika pada suatu hari Saha memaki anak perempuannya, Salwa, sebab kecintaannya kepada sang nenek, paman dan bibinya dan akibat kebaikan perilaku Salwa kepada mereka. Dalam kebenciannya, saya sempat mengajukan pertanyaan dan mendekatkan sudut pandang yang bertentangan dalam pikiran Saha.
“Apa buruknya Salwa berbaik-baik pada nenek dan bibinya? Bukankah hal itu justru membuat seorang ibu bahagia, karena jika seorang anak berbaik hati kepada nenek atau bibi dan pamannya, bukankah kepada ibu kandungnya ia akan lebih berbaik hati?” Mustahil Saha bisa menerima pendapat ini. Hawa nafsu Saha yang liar telah menutupi indahnya kebenarnya. Dirinya telah berpaling dari kebenaran. Dengan wajah semburat kemerahan, Saha berkata, ‘Tidak semua orang itu baik. Mereka itu seperti sekawan ular, musang berbulu domba!” Saha tidak lagi mampu mengendalikan hawa nafsunya dan ungkapan ini terlontar dari mulutnya;
“Cukup sudah penderitaan hidup yang mereka timpakan pada diriku melalui bisikan-bisikan jahat yang mereka tiupkan ke telinga Nadim. Apakah mereka merasa belum cukup sehingga masih ingin mencelakakan diriku melalui putriku? Demi Tuhan, aku tidak akan memberi tempat sejengkal pun di rumahku ini. Katakan kepada Nadim agar memilih satu di antara dua; aku atau kerabatnya! Semua terserah kepadanya. Jika ia memilih kerabatnya, maka rumah orangtuaku masih bersedia menerimaku!”
Suami Saha datang, … perang mulut tak dapat dihindarkan. Penjelasan dan argumentasi Nadim tidak berarti bagi Saha. Nadim tidak lagi mampu menyadarkan istrinya dengan nasihat apapun, sekalipun itu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu.” (Hadist Dha’if).
Nadim sadar akan watak istrinya yang keras. Dalam persoalan ini, ia mendapati sikap keras kepala dan ketidakpeduliaan istri yang bersikukuh mempertahankan pendapatnya yang amat memalukan. Kebiasaan menuruti kemauan istri membuat Nadim pasrah. Kali ini pun ia takluk kepada istrinya. Nadim yakin sang ibu, dengan kegelapan dadanya. Lebih tabah menerima kenyataan daripada istrinya.
Nadim memutuskan untuk berkata terus terang kepada ibunya. Dengan hati remuk redam ia berkata, “Berat rasanya untuk mengatakan hal ini padamu, ibu! Aku ingin menjadi anak yang berbakti dan berkorban apa saja untukmu…” Suasana berubah hening. Dalam situasi yang mencekam, kalimat demi kalimat yang hendak Nadim lontarkan seperti tertahan di tenggorokan.
Sang ibu menatap penuh kebingungan dan tanda tanya.
Kemudian Nadim melanjutkan setelah menundukkan emosinya, “Saha telah membuat aku lelah. Ia tidak ingin ada orang lain yang mengambil hak suaminya dan tinggal di rumah ini. Apa yang harus aku lakukan?”
Rasa kaget bercampur sedih membuat ibu Nadim tak kuasa menahan airmata. Dalan kebersahajaan, kepiluan, dan kepasrahan sang ibu berkata, “Lakukanlah apa yang menjadi kehendakmu. Aku dan saudara-saudaramu menyerahkan semuanya kepada Allah.”
Sang ibu bersama anak perempuannya keluar meninggalkan rumah Nadim, membawa kepedihan dan kepiluan hati. Kepergian mereka diikuti senyum kemenangan Saha, keangkuhan dan mereka diikuti senyum kemenangan Saha, keangkuhan, dan kekosongan jiwanya dari sifat manusiawi. Hari-hari berikutnya sang ibu hidup menderita, jauh dari kecukupan. Tidak jarang ia mendengar sang anak menyelenggarakan pesta, tetapi ia hanya bisa membayangkan mendapat sesuap makanan dari hasil jerih payah anak kandungnya. Sang ibu hanya mendapat bantuan dari dermawan yang tulus. Dari mereka yang hanya mengharapkan balasan Allah atas sedekah yang diberikannya kepada yang membutuhkan, seperti ibu Nadim.
Menerima pemberian adalah sesuatu yang berat bagi orang yang tidak biasa menggantungkan hidup pada belas kasih orang lain. Kalau saja bukan karena kemelaratan dan usia lanjut, tentu ia tidak akan menerimanya.
Bagaimana dengan Saha, benarkah ia kini telah menemukan kebahagiaan seperti yang pernah ia dendangkan saat itu? Apakah pandangan yang hina bisa menjadi teladan kebahagiaan?
Ada tiga hal yang membatalkan amal perbuatan; menyekutukan Allah, durhaka pada orangtua dan lari dari peperangan.
Sekarang rumah telah dikuasai Saha. Tentunya Saha berikut keluarganya senang bukan main, karena tiada siapa pun yang mengusik ketenangan mereka. Pikiran seperi itu sesungguhnya amat picik. Mereka tidak tahu bahwa kebajikan dan silaturrahim bisa melapangkan rezeki dan membahagiakan hidup!
Nadim sang suami, memaksakan diri untuk tabah. Ia menyambut kebahagiaan yang mereka rasakan, sehingga sikap Nadim ini membuat mereka semakin tampak berbahagia! Akan tetapi, keceriaan itu rupanya tidak berlangsung lama dan dengan cepat berubah menjadi petaka, terlebih ketika Nadim menyatakan sikap tegasnya. Sekarang ia sadar bahwa kenistaan itu ternyata bersarang dalam rumahnya. Ia menyadari bahwa harga dirinya sebagai laki-laki telah ternoda. Ia bersikeras menginginkan ibu dan saudara-saudaranya kembali, karena sebenarnya hanya Nadim seorang yang dapat dijadikan sandaran hidup bagi mereka. Nadim menginginkan agar ibu dan saudara-saudaranya dapat ikut merasakan kesenangan hidup yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada dirinya.
Namun sejauh ini, Saha tetap tidak menginginkan kehadiran ibu dan saudara-saudara suaminya. Sikapnya tidak berubah; tetap melarang anak perempuannya berbaik hati kepada kerabat suaminya. Tidak salah, rasa cemburu telah melahap hati nurani Saha dan bisikan-bisikan jahat telah merusak kebahagiaan hidup wanita itu. Ia tidak senang melihat suaminya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan kerabatnya, berbagi kebahagiaan atau kesusahan. Saha tetap menolak kehadiran kerabat Nadim dan bahkan ia rela mengorbankan kerabat sendiri demi mempertahankan sikapnya. Suatu ketika wanita itu mengatakan kepada sang suami,
“Jika engkau menghendaki aku jauh dari kerabatku, maka mulai detik ini dan seterusnya, aku tidak akan memperbolehkan seorang pun dari anggota keluargaku datang ke rumah ini. Jadi kerabatku atau kerabatmu haram mendatangi rumah ini! Apakah kau puas?”
Sekali lagi, Nadim bertekuklutut di hadapan istrinya. Nadim berkata, “Ya, aku puas!”
Rumah ‘durhaka’ itu telah menutup pintu bagi kedatangan kerabat suami maupun istri dan para penghuninya merasa cukup hidup sendiri tanpa kerabat.
Hari berganti dan tahun-tahun pun berlalu hingga tiba saat pernikahan putri mereka, Salwa. Nadim berfikir, momen ini ia akan manfaatkan sebaik-baiknya untuk membuktikan wewenangnya dalam rumahtangga dan kepemimpinannya atas seluruh anggota keluarga. Di samping itu, ia akan tampil di hadapan keluarga mempelai laki-laki sebagai orang yang terhormat dan mempunyai harga diri.
Tanpa meminta pendapat istri, Nadim mengundang seluruh kerabatnya dan kerabat istrinya untuk menghadiri resepsi pernikahan. Demikianlah, resepsi pernikahan Salwa menjadi kesempatan untuk mengobati luka hati kerabat Nadim dan istrinya.
Kehidupan keluarga Nadim kembali tenang. Ini berkat kesabaran dan ketabahan hati Nadim serta kemauan kerasnya untuk tidak melalaikan kewajiban merajut benang-benang kekerabatan dan menyambung tali silaturrahim.
Beberapa tahun setelah pernikahan Salwa, untuk pertama kalinya aku bertemu Saha dalam keadaan terpuruk. Aku melihatnya menangis keras, menahan derita batin dan menyesali nasib buruk yang menimpa dirinya. Kebahagiaan yang ia curahkan kepada putrinya, Salwa, telah ia terima balasannya, berupa kedurhakaan!
Ketika nestapa mencapai puncaknya, Saha menundukkan muka, menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan merengek seperti anak kecil. Seraya menyandarkan tubuhnya yang kurus kering ke dipan, dari dalam lubuk hati yang terluka keluar kata-kata lirih;
“Oh Salwa! Kini engkau tinggal bersama suamimu di sebuah rumah dan kalian tidak mengizinkan aku masuk ke dalam rumah!”
Itulah wanita durhaka, yang tiada akan datang kebaikan bagi dirinya. Itulah gambaran sikap ingkar atas kebaikan suami dan kerabatnya, siapa yang menyuguhkan cawan derita pada orang lain, kelak ia akan merasakan derita yang sama!”[1] [Syahida.com]
Sumber: Musa bin Muhammad Hajjad az Zahrani (Keramat Hidup: Orang Tua)