Syahida.com – Semakin hari, penyakit sang ibu bertambah parah. Ia mencari tahu tentang keberadaan anak perempuannya dengan maksud mendapatkan pengobatan dari anaknya itu, namun ia tidak kunjung menemuinya. Rupanya, anak perempuannya sedang sibuk mengusahakan gaun pengantin, berpindah dari satu butik ke butik lain, dari satu perancang ke perancang lainnya. Sementara ibunya bergulat dengan penyakit. Hari-hari terasa penuh derita bagi sang ibu, sedang bagi sang anak, hari-hari berjalan dengan amat perlahan, sebab ia tengah menantikan datangnya hari pernikahan!
Waktu yang dinanti-nanti hampir tiba. Sementara sang ibu telah dekat pula pada sakaratul maut. Sang anak perempuan mengenakan gaun pengantin putih, sedang ibunya memandang dengan mata sayu ke arah kain kafan putih yang telah dipersiapkan untuknya di sudut ruangan. Si anak perempuan memasuki saat paling membahagiakan dalam hidupnya, kebahagiaan menjadi seorang mempelai wanita. Para undangan telah berkumpul di ruang pesta, ia berdiri untuk menari, sedang sang ibu menyerahkan nyawanya pada sang Pencipta! Arwah sang ibu berlalu di atas altar pesta pernikahan anaknya dan memaki anak perempuannya melalui bait-bait berikut ini;
Indahnya nyanyian, tarian dan suasana malam
Bintang gemintang di sekelillingmu dan bulan pun berdendang
Bersenang-senanglah dengan kenikmatan fana, sedang aku
Dalam genggaman maut dan nafas tersengal-sengal
Wahai para kekasih, di manakah kalian berada saat maut membayangiku
Dan nestapa menyusup dalam urat nadiku
Tidakkah engkau dengar suara hati di atas bara api menjerit pilu?
Celaka dan terkutuklah engkau, tiada menemani aku
Saat maut menjemput, lalai oleh nyanyian dan kesenangan
Hati tersayat pilu saat tiada melihat kehadiranmu
Ia menangis bersama bara kepedihan yang membakar
Detik ketika nyawa ini terangkat, ia tersiksa
Oleh kerinduan pada dirimu, lalu melayang-layang saat ia meregang nyawa
Berputar-putar di atas altar pestamu, menangis, mengucap salam perpisahan
Namun tiada pandangan orang-orang itu yang menangkap kilas cahayanya
Cahaya kemaksiatan membutakan mata
Haruskah aku menjemput ajal sedang dalam jantungku
Tertancap panah-panah kedurhakaan berjatuhan laksana bintang berekor
Engkau mengadu saat aku berada di sisimu
Oleh sepotong duri, hatiku terasa remuk redam
Lihatlah, aku kini telah mati, dalam kesenderianku
Tak ada tangan kugenggam saat detak jantung berada di ujung maut
Aku mengira kalian telah bosan mendampingiku
Atau engkau sungguh mengharapkan kepergianku
Lihatlah, aku telah mati, bernyanyilah, menari dan berdendanglah
Aku tak pernah ada dalam hidupmu [Syahida.com]
Sumber: Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani (Keramat Hidup: Orangtua)