Syahida.com – Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka.” (QS. Al-Isra [17]: 23).
Orang membenarkan bahwa mayoritas anak-anak sekarang merupakan produk saluran televisi asing dan institusi pendidikan yang rapuh nilai. Berdinding tebal, namun hanya mampu melindungii anak didik dari panas dan dinginnya udara semata, tanpa sedikit pun memberikan perlindungan akhlak pada anak didiknya! Siapakah kiranya yang tidak percaya bahwa di antara mereka ada yang berani mengkritik ayahnya dengan terang-teranagn dan menuduh dia tidak faham pada keinginan anak. Ada pula yang berbicara dengan nada suara lebih tinggi dari suara ayahnya atau ada pula yang memandang ayahnya dengan pandangan merendahkan. Demikian pula sikap mereka pada ibu yang lemah dan tua renta!
Kalau saja Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui ungkapan yang lebih menyakitkan dari ungkapan ‘ah!’ (Arab: uff) yang dialamatkan pada ayah atau ibu, niscaya Allah akan mencantumkannya dalam al-Qur’an. Ia adalah kata yang tersusun dari dua huruf. “Ah”, yang merupakan ungkapan atas perasaan berat hati.
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga; Pendurhaka orangtua, pecandu khamr, dan orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya pada orang lain.” (HR. An-Nasa’i, Ahmad dan al-Hakim)
Jika diuraikan sebagai makna indrawi yang kasat mata, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama. Kata “uff” bisa diartikan kotoran telinga, atau hal-hal sepele yang dapat dirasakan oleh panca indra.
# # # #
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kita kemukakan di atas, maka menjaga perasaan kedua orangtua merupakan budi pekerti agung yang dapat mendekatkan diri hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masalahnya adalah apakah anak-anak kita yang hidup di zaman penuh kedurhakaan ini menyadari hal itu? Sungguh penulis merasa amat heran kepada seorang pemuda yang mengaku taat beragama, sementara setiap hari, pagi dan sore, melontarkan kata-kata hinaan kepada kedua orangtuanya, dengan ungkapan-ungkapan yang amat buruk, setiap kali terjadi perselisihan antara dia dan orangtuanya! Sungguh tindakan itu, selamanya sama sekali tidak mengandung kebajikan. Barangkali di tengah pembicarannya yang kasar pada ayah atau ibunya, terdengar dering telepon. Ia mengangkat gagang telepon dan berbicara dengan si penelepon yang tidak lain adalah sahabatnya dan seketika nada bicaranya berubah lembut,
“Hai, selamat datang!”, “Semoga Allah memberi balasan yang untukmu”,”Semoga Allah memberkahimu”,”Semoga Allah berkenan memberi jalan kebaikan kepada kita!” dan seterusnya!
Ibu dan ayahnya terkejut bukan main mendengar kata-kata lembut anaknya saat berbicara kepada kita dengan ungkapan lembut dan indah itu? Kita tidak menemukan akhlak yang demikian luhur di rumah yang malang ini?!” Akibatnya, orangtua hidup dalam kekhawatiran dan kecemasan. Mereka merasa tidak betah di rumah dan berharap bisa keluar dari rumah agar terhindar dari lidah anaknya yang pedas. Namun, celaka pada saat yang sama mereka kekhawatiran akan mendapat celaka apabila mereka pergi dari rumah. Walhasil, orangtua hidup di persimpangan jalan; antara takut dan gundah.
Adapun perilaku anak tersebut di kantor amat bertolak belakang. Anda akan melihat dirinya amat kecil dan hina di depan atasan, menundukkan kepala dan merendah sebisanya. Watak manusia seperti ini tidak diharap ada sisi baiknya. Tiada kebaikan pada diri setiap insan, apabila ia tunduk dan patuh pada orang lain, sedang dirinya menghalangi ayah dan ibunya dari ajaran Islam dan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia, bahkan dari nilai-nilai yang telah lama dikenal oleh bangsa Arab sebelum datangnya Islam.
Anda saksikan anak-anak zaman ini. Mereka menatap orangtua dengan pandangan merendahkan dan menghina selanjutnya melontarkan kalimat-kalimat yang pedas, yang dirasa amat jijik di hati. Berikut adalah untaian syair yang amat memilukan berisi pengaduan seorang ayah tentang anaknya yang durhaka.
“Kala engkau bayi, kuberi engkau makan, engkau tumbuh besar
Dari apa yang engkau dapat dari jerih payahku
Bila malam mengusikmu, mataku tiada terpejam oleh keluhanmu,
Aku terjaga atau hanya berbaring saja
Seolah aku yang menahan derita,
Bukan engkau dan airmata pun terurai
Tak kan pernah terlepas jiwaku dari rasa takut engkau celaka
Padahal jiwaku tahu bahwa kematian adalah ajal yang telah ditetapkan
Saat engkau dewasa, saat aku menaruh harap
Kekejaman dan keangkuhan engkau berikan sebagai balasan
Seolah engkau di pemberi anugerah.”
# # # #
Maka, turunlah larangan untuk berkata “ah!”[1] Termasuk dalam larangan yang lebih keras dari ini adalah berbicara dengan suara keras, melebihi suara orangtua. Perbuatan tersebut hukumnya haram, seperti halnya mengangkat dan menggerakkan tangan di depan muka orangtua, atau menunjuk ke arah muka orangtua dengan telunjuk atau bermuka masam saat berbicara bahkan ini dosanya lebih besar! Demikian halnya membentak, menghardik atau menegur dengan cara angkuh atau memerintah orangtua untuk berbuat baik dan melarang keduanya berbuat mungkar dengan cara kekerasan. Dalam hal ini, kami tidak hendak membahas tinjauan dari aspek hukum tentang masalah ihtisab (memerintahkan kebaikan dan melarang perbuatan maksiat) pada orangtua, sebab persoalan tersebut telah dibahas dalam beberapa buku secara tersendiri.
Dan, tentunya jauh lebih keras dari larangan berkata “ah!” pada orangtua adalah tindakan menyakiti orangtua secara fisik.[2] Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkaruniakan keselamatan pada diri kita.
Dua pekan sebelum menulis bacaan ini, seseorang menuturkan kepada penulis bahwa di sebuah perkampungan di Kairo ada seorang laki-laki yang berani memukul ibunya. Ia pun sempat menunjukkan kepada penulis anak durhaka yang dimaksud, dengan wajahnya yang kelam seakan tertutup debu. Saya berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, ketika melihatnya. Di kota Dammam, ada seorang anak yang mencambuki punggung ibunya dengan menggunakan iqal[3]. Mendengar kisah-kisah seperti ini, bulu kuduk saya merinding.
Saya tidak ingin bertutur tentang anak durhaka yang tega membunuh ibunya. Hal tersebut diinformasikan oleh Departemen Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia. La ilaha illa Allah, ternyata dia seorang pecandu obat-obatan terlarang. Atau anak durhaka yang membuang ibunya di pusat perbelanjaan besar ar-Rasyid di Khobar, sang ibu yang tua dan tidak tahu apa-apa mengira ia berada di sebuah rumah sakit, dan seterusnya dan seterusnya.
# # # #
Ketika sedang mengerjakan tulisan ini, penulis bertemu dengan seorang laki-laki tua yang masih mempunyai hubungan kerabat dengan penulis. Saya amat terperanjat ketika ia menuturkan kisahnya, mengadukan kesewenang-wenangan anaknya, seorang pejabat militer yang dinikahkan oleh ibunya dengan wanita kerabat sang ibu. Ia berani berbuat jahat pada ibunya dengan kata-kata buruk dan caci maki demi merebut hati istri. Merasa tidak puas, si anak durhaka mendaratkan tamparan pada pipi ibunya. Pipi yang selama ini menjadi tumpahan airmata, menangis saat sang buah hati sedang dirundung sakit, saat sang anak jauh dari Ibu, atau ketika sang anak sedang menetaskan air mata duka. Sekarang, pipi yang penuh kasih sayang itu menerima perlakuan kejam sang anak, yang ketika ia masih kecil, pipi itulah yang memberikan belaian halus penuh cinta.
Inikah balasan yang harus diterima seorang Ibu yang telah memelihara dan menyayangi anaknya, yang memilihkan seorang istri baginya, yang ternyata justru menjadi penyebab kedurhakaan sang anak kepadanya?! Semoga saja Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat dirinya menjadi buruk!
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu” (QS. Yasin [36]: 30)
Bagaimana mungkin mereka terjatuh ke dalam jurang kenistaan sedemikian rendah?! Dalam sebuah hadist, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila umatku mengerjakan lima belas macam perbuatan ini, niscaya mereka akan mendapat bencana; Apabila harta rampasan menjadi milik orang-orang tertentu, apabila amanat menjadi alat untuk mencari keuntungan, zakat menjadi sumber penghidupan, apabila seorang laki-laki taat pada istri dan durhaka pada ibu, memusuhi ayahnya demi sahabat…” [Syahida.com]
Sumber: Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani (Keramat Hidup: Orang Tua)
- Mujahid mengatakan, “Apabila orangtua telah memasuki usia amat lanjut, dan engkau menyaksikan kotoran mereka, seperti ketika melihat kotoranmu di waktu kecil, maka jangan merasa jijik dan mengatakan, “ah! (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an). Semoga Allah merahmati Mujahid. Kiranya apa gerangan yang hendak dikatakan olehnya saat menyaksikan fenomena kedurhakaan di zaman ini?
- Berbeda dengan pendapat azh-Zhahiriyyah yang memperbolehkan seorang anak memukul orangtua dengan dalih tidak ada nash (ayat al-Qur’an atau hadist) yang melarang perbuatan tersebut secara khusus. Bukankah pendapat ini sangat aneh?
- Pintalan kain hitam yang diikatkan di kepala, biasanya dikenakan ooleh laki-laki di negara-negara Teluk, selain Oman.