Syahida.com – Permasalahan mengenai pekerjaan secara umum merupakan penyebab yang paling sering dipersoalkan, baik bagi pemuda yang hendak menikah maupun bagi pasangan yang sudah menikah. Bagi pemuda yang hendak menikah, masalah pekerjaan sering menjadi tarik ulur niatnya untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Begitu pula dengan keluarga wanita, masalah pekerjaan calon suami dari anak wanita keluarga tersebut menjadi perhatian utama. Seolah-olah berkeluarga hanya dibolehkan bagi orang yang sudah bekerja. Atau ada yang lebih ekstrim, hanya orang yang memiliki pekerjaan tetap dan menjanjikan yang dinilai layak untuk menikah.
Saya sendiri pernah mempunyai sebuah pengalaman yang kurang menyenangkan. Ketika hendak menikahi seorang perempuan, tiba-tiba ayah dari si perempuan mensyaratkan sebelum menikah saya harus menjadi PNS. Sebuah syarat yang pada saat itu sulit untuk saya penuhi, padahal saya sudah memiliki pekerjaan yang bisa jadi penghasilan per bulannya lebih besar daripada seorang PNS. Tetapi itulah persepsi yang ada dalam benak sang ayah, bahwa putrinya akan dapat menjalani kehidupan keluarga dengan bahagia bila suaminya berstatus PNS. Akhirnya, Allah berkehendak kami menghentikan proses lantaran persoalan pekerjaan. Alhamdulillah, Allah mengganti kegagalan itu dengan sebuah proses menuju pernikahan yang lebih mudah dan memberikan kepada saya seorang istri dari keluarga yang shalih.
Kisah yang terjadi pada diri saya ternyata banyak juga dialami oleh para pemuda yang siap menikah, namun kemudian gagal hanya karena ayah si perempuan tidak bersedia menikahkan anaknya dengan alasan pemuda yang meminangnya belum memiliki pekerjaan tetap. Mungkin saja banyak pemuda yang memiliki pekerjaan tetap sebagai pedagang atau wirausaha, tetapi stigma yang ada di masyarakat mengenai pekerjaan tetap adalah menjadi pegawai atau karyawan. Sebenarnya, ukuran seseorang dikatakan siap menikah dari sisi pekerjaan tatkala pada dirinya terdapat kesiapan, bukan persiapan. Apakah ia siap untuk tetap berpenghasilan, meskipun belum memiliki pekerjaan tetap. Setidaknya, ia memiliki rencana pekerjaan atau usaha yang matang untuk masa depan keluarganya, diimbangi dengan semangat yang tinggi dan kesungguhan berusaha dalam memenuhi nafkah keluarga.
Adapun bagi pasangan suami istri, masalah pekerjaan juga sering kali menjadi tema dalam diskusi mereka, hingga tak sedikit yang menjadi penyebab munculnya perdebatan dan belum mampu mencukupi kebutuhan istrinya karena penghasilan yang didapat hanya sedikit. Keluarga lain memiliki masalah mengenai suami istri yang sama-sama bekerja, namun karir dan gaji istri lebih menjanjikan, sehingga suami merasa minder sedangkan istrinya merasa tidak butuh uang dari suaminya. Atau permasalahan lainnya menyangkut pekerjaan, sampai saat ini menjadi tema yang paling sering mencuat menjadi penyebab utama pertengkaran suami istri.
Persepsi tentang pekerjaan dalam sebuah pernikahan memang dipengaruhi oleh cara pandang setiap individu. Bagi seorang suami, ia memang dibebani kewajiban menafkahi keluarganya dan dihukumi berdosa manakala mengabaikan kewajiban ini. Namun pertanyaan yang patut dihadirkan adalah apakah untuk menafkahi keluarga harus memiliki pekerjaan tetap terlebih dahulu?
Ketika ada pertanyaan demikian, saya selalu teringat dengan apa yang diucapkan Muhammad Fauzil Adhim, seorang psikolog dan penulis buku-buku pernikahan. Ia menyebutkan, yang penting bukan ‘pekerjaan tetap’, tetapi ‘tetap bekerja’. Atau dengan kata lain, kewajiban menafkahi keluarga adalah dengan ‘tetap berpenghasilan’, bukannya ‘berpenghasilan tetap’.
Kerja keras seorang suami dalam rangka memenuhi kewajibannya dalam menafkahi keluarga adalah hal yang terpenting. Tetap bekerja, demikian kuncinya. Hal itu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, dari mulai bekerja sebagi buruh, berwirausaha, berdagang atau melakukan apapun yang dapat menghasilkan uang. Tidak harus menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau karyawan tetap di sebuah perusahaan. Mungkin, menjadi PNS atau karyawan di sebuah perusahaan hanya satu persen dari pintu rezeki Allah, maka carilah yang 99% di luar itu!
Setiap istri tentu berharap suaminya memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Namun tidak semua harapan itu terkabulkan. Sedang setiap suami menginginkan agar istrinya dapat menerima pemberian nafkahnya dengan ikhlas, terutama yang menyangkut uang belanja kebutuhan sehari-hari. Suami tidak ingin dituduh tidak cukup berusaha hanya karena tidak memberi uang yang banyak. Karena itu, hendaknya suami mampu mengarahkan istrinya agar lebih realistis dalam menyikapi persoalan nafkah. Tuntutan berlebihan berarti membebani suami di luar kemampuannya. Hal ini bisa menyebabkan suami menjadi jengkel, emosi, marah atau bahkan bertindak nekad dengan menempuh jalan yang dimurkai oleh Allah. Jika suami malas berusaha dan menyerah begitu saja pada kemiskinannya, maka tugas istri adalah untuk senantiasa memberikan motivasi agar suaminya bergegas mencari nafkah dengan penuh semangat.
Sedikit, tetapi membahagiakan. Begitulah kesan yang harus dihadirkan oleh setiap pasangan yang memiliki keterbatasan ekonomi keluarganya. Hendaknya istri bangga dengan pekerjaan suaminya, meskipun suami hanya sekedar tukang becak, pedagang kaki lima, atau pekerjaan non formal lainnya yang mungkin oleh sebagian orang dipandang tidak berkelas. Tak semua orang memiliki keberanian untuk melakukan pekerjaan semacam itu. Ternyata banyak orang yang lebih memilih menjadi pengangguran daripada melakukan pekerjaan semacam itu. namun bagi para suami yang bertanggung jawab, mereka membuang rasa malu demi menafkahi sitri dan anak-anaknya dengan nafkah yang halal. Itulah yang seharusnya membuat seorang istri bangga dan menghormati apapun pekerjaan suaminya, bukan mempersoalkannya.
‘Aisyah radhiyallahu anhu pernah menuturkan, “Kami benar-benar pernah melihat tiga kali kemunculan hilal selama dua bulan, namun tidak pernah kunyalakan tungku api di rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Lalu Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Kalau begitu apa yang bisa membuat kalian bertahan hidup?”
‘Aisyah menjawab, “Dua hal, korma dan air.”
Sekalipun dalam keadaan kekurangan, namun istri-istri beliau tidak pernah mencaci atau mengumpat. Memang pernah sekali terjadi di mana istri-istri beliau meminta tambahan lebih untuk belanjanya. Wajar yang demikian karena istri-istri beliau juga manusia biasa. Namun tatkala Allah memberikan teguran sebagaimana tertuang di dalam Surat Al-Ahzab ayat 28-29, mereka langsung menyesal dan bertobat. Mereka lebih memilih Allah dan Rasul-Nya daripada kehidupan dunia dan perhiasannya.
Persepsi bahwa seorang suami harus memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap memang perlu diubah. Perlahan namun pasti, hendaknya suami mendidik istrinya agar memahami bahwa hal yang terpenting dalam masalah nafkah adalah suami tetap bekerja dan berpenghasilan. Tidak ada kata malas dalam diri suami, sehingga kewajiban menafkahi keluarga tidak terabaikan. Jika nafkah masih dianggap kurang, maka bersabarlah dan hendaklah suami istri berusaha mencari jalan keluar yang terbaik sehingga mampu memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga. [Syahida.com]
Sumber : Kitab 24 Jam Amalan Agar Istri Making Sayang, Asadullah Al Faruq