Syahida.com – Pada saat Nabi Muhammad berusia 40 tahun, beliau sering menyepi di gua Hira untuk melatih ruhaninya. Dia merasakan begitu dekat dengan hakikat yang agung (Wahyu Illahi). Dengan berbekal ketenangan dan kelembutan seorang ibu, Khadijah tidak kecewa dengan sikap Rasulullah tersebut yang membuatnya kesepian. Khadijah juga tidak mengganggu meditasi Rasulullah layaknya justru berusaha semaksimal mungkin menghadirkan suasana nyaman dan tenang ketika Rasulullah berada di rumah. Ketika Rasululllah berangkat menuju gua Hira’, kedua mata Khadijah tidak pernah lepas untuk mengawal langkah Rasulullah dari jauh. Terkadang dia menyuruh seseorang untuk mengikuti dan menjaga Nabi.
Ketika wahyu pertama turun pada malam Lailatul Qadar di Gua Hira’. Nabi bergegas pulang ke rumah saat menjelang fajar dengan penuh rasa takut. Ketika sampai kamar Khadijah dan rasa takut itu mulai hilang, Rasulullah berbicara kepada Khadijah. Dengan suara gugup dia mengungkapkan ketakutannya kepada Khadijah seraya berkata, “Sungguh aku takut pada diriku sendiri.” Anda mungkin menyangka Rasulullah sedang terserang halusinasi atau kerasukan jin.
Khadijah mendekap Rasulullah den memberikan kasih sayang seorang ibu yang muncul dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sambil menenagkannya dengan dorongan dan keyakinan, Khadijah berkata, “Allah akan menjaga kita, wahai Abu Qasim. Bahagialah dan tabahlah, demi Dzat yang memiliki diri Khadijah, sungguh aku berharap engkau menajdi Nabi bagi umat ini.[1] Allah tidak akan pernah membautmu hina. Engkau telah melakukan silaturrahim, jujur, dalam bicara, mengemban tugas, ikut memikirkan keluhkesah dan hutang kaum lemah, memuliakan tamu dan menajdi penolong bagi seluruh umat manusia.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Dorongan tersebut dapat melenyapkan rasa takut Nabi. Suara Khadijah yang cerah dan meyakinkan hadir bersama sinar fajar yang datang merasuk di hati Nabi, sehingga menanamkan rasa percaya diri, aman dan ketenangan. Nabi dapat merasakan kenyamanan dan ketentraman ketika sang istri menuntunnya menuju tempat tidur lalu menidurkannya –laksana seorang ibu yang menidurkan putra tercinta, sambil mendendangkan nyanyian merdu.[1]
Setelah Nabi merasa tenang dan tentram, Khadijah mengajak beliau untuk menemui Wraqah bin Naufal. Seorang renta dan tuna netra yang kebetulan adalah sepupu Khadijah. Dia memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah dan menulis Injil dalam bahasa Ibrani. Khadijah berkata, “Wahai sepupuku, dengarkanlah penurutan anak saudaramu (Muhammad).” Lalu Nabi menceritakan semua yang dia lihat dan dengar. Mendengar penuturan itu, Waraqah berkata, “Itu Namis yang pernah turun menemui Musa. Andai saja aku seorang yang kuat dan masih hidup ketika menyaksikan dirimu diusir oleh kaummu.”
Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Tidak ada seorang Nabi pun yang membawa risalah seperti yang engkau bawa, kecuali pasti ditentang. Jika saja aku dapat hidup di hari itu, aku pasti akan mendukungmu dengan sekuat tenaga.”[2]
Nabi merasa tenang mendengar penuturan Waraqah. Lalu beliau pulang bersama istri untuk memulai perjuangan dakwah. Sejarah mencatat, selama berdakwah Nabi menerima segala bentuk penderitaan dan penganiayaan. Namun, istri beliau yang tercinta selalu setia mendukung, membangkitkan semangatnya, dan turut serta memikul penderitaan tersebut selama bertahun-tahun.[3]
Kagum dengan peristiwa ini, Syaikh Muhammad al-Ghazali berkomentar, “Sikap Khadijah sebagai seorang istri menjadi salah satu ciri sikap yang ada pada diri wanita sepanjang masa. Seorang istri yang mampu memberikan ketenangan ketika suami gundah dan memberikan kenyamanan ketika suami letih. Ia juga memberikan nasihat kebajikan yang memotivasi dengan mengatakan selamanya orang-orang mulia seperti Nabi tidak akan dihinakan Allah.”
“Jika Allah memberikan karunia berupa akhlak mulia dan figur yang toleran kepada seseorang, maka itu merupakan penghormatan dan penghargaan. Karena akalnya yang cerdas dan hatinya yang saleh, Khadijah berhasil memperoleh penghormatan dari Allah, berupa salam penghoramtan yang disampaikan langsung oleh Malaikat Jibril. Khadiijah telah memberikan kasih sayangnya ketika suami yang dilanda kekhawatiran dengan kedamaian dan pengabdian. Dia mengusap keringat di dahi Nabi yang sedang gugup setelah menerima wahyu dan setia mendampingi Nabi selama seperempat abad. Khadijah telah memberikan penghormatan kepada Muhammad, sebelum beliau menjadi seorang Nabi dan memuji sifat-sifat baik beliau. Setelah Muhammad menjadi Nabi, Khadijah turut serta memikul beban risalah dalam menghadapi tipu daya musuh dan penderitaan selama berdakwah. Khadijah meninggal pada usia 75 tahun, ketika Nabi berusia 50 tahun. Sepanjang hidupnya, Rasulullah selalu mengenang Khadijah dengan penuh ketulusan.”[4]
-Kurangilah sikap suka mengeluh karena umur sangat pendek. Waktu terkadang mendukung kita namun terkadang juga tidak memihak kepada kita-
[1] ‘Aisyah Abdurrahaman, Tarajaun Sayyidat Bait an-Nubuwwah.
[2] Ibid
[3] Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits Sayyidah ‘Aisyah.
[4] Syaikh Muhammad al-Ghazali, Fiqh as-Sirah
Sumber : Kitab Teruntuk Sepasang Kekasih, Karim Asy-Sadzili