Syahida.com – Kewajiban para suami dalam rangka menafkahi keluarganya memiliki koridor yang jelas, di mana terdapat syarat yang harus di tunaikan olehnya. Syarat tersebut adalah hendaknya seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anaknya dengan nafkah yang halal dan baik, serta menjauhkan yang haram dan menghindari yang syubhat.
Allah Ta’ala memperingatkan dalam firman-Nya, “Dan makanlah dari apa yang Allah rezekikan kepadamu berupa makanan yang halal dan baik..” (Al-Maidah [5]: 88)
Makanan merupakan salah satu perwujudan nafkah suami. Allah menghendaki hamba-Nya memakan makanan yang halal dan baik, sama halnya dengan Dia menghendaki kaum muslimin menafkahi keluarganya dengan nafkah yang halal dan baik. Hal yang demikian akan membuat nafkah yang diusahakan oleh suami menjadi penuh berkah.
Keberkahan dari sebuah nafkah, setidaknya dapat ditentukan oleh tiga hal.
Pertama, suami meniatkan usahanya dalam memenuhi nafkah keluarga ikhlas karena Allah. Ia melakukannya semata-mata sebagai wujud dari ketaatannya menunaikan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ia teringat sebuah hadist, “Amal itu bergantung pada niat,” sehingga ia menjadikan niatnya karena Allah, bukan karena selain-Nya. Bukan karena keterpaksaan, dan bukan pula karena hendak mengejar dunia.
Kedua, suami dalam memenuhi nafkah keluarganya hanya mencari nafkah yang halal. Ia tidak mencari suatu nafkah kecuali hal itu halal bagi dirinya dan keluarganya. Ia berusaha menghindari nafkah yang haram karena yang diterima Allah adalah nafkah yang halal. Kehalalan nafkah suami setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu halal karena dzatnya memang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, halal cara mendapatkan dan dipergunakan pada yang halal.
Suami harus berhati-hati terhadap nafkah yang haram karena hal itu dapat mengotori niat, menghalangi diterimanya ibadah dan doa serta mengantarkan pelakunya pada kesesatan. Bahkan, nafkah yang haram tidak dapat diterima meskipun ia dibelanjakan pada jalan ketaatan. Sufyan Ats Tsauri radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang menafkahkan hartanya yang haram dalam ketaatan, ia seperti orang yang mencuci pakaiannya yang kotor dengan air kencing.”
Ketiga, suami dalam memenuhi nafkah keluarganya, disamping ia mencari nafkah yang halal, juga mensyaratkan nafkah tersebut adalah nafkah yang baik. Halal belum tentu baik, sedangkan baik juga belum tentu halal. Contohnya, makanan. Gula adalah makanan yang halal, tetapi tidak baik jika dikonsumsi oleh seorang yang menderita diabetes. Atau, nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya adalah makanan yang baik, tetapi karena ia mendapatkannya dengan cara mencuri, maka makanan itu tidak halal. Karena itu, Allah memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal sekaligus baik.
Nafkah yang diusahakan oleh suami dengan niat karena Allah, halal dan baik akan dipenuhi dengan keberkahan. Tubuh kita menjadi tubuh yang penuh dengan keberkahan, begitu pula rumah kita. Dengan demikian, insyaallah kebahagiaan hidup akan dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Tak hanya kebahagiaan hidup di dunia, tetapi juga di akhirat. [Syahida.com]
Sumber : Kitab 24 Jam Amalan Agar Istri Makin Sayang, Asadullah Al Faruq
Tanda-tanda hari Kiamat termasuk salah satu topik yang mendapat perhatian besar dari Rasulullah SAW dalam…
Adapun tanda-tanda peristiwa yang membicarakan dekatnya hari Kiamat, maka ayat-ayat tersebut terkesan membicarakan secara sekilas.…
“Ilusi adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah pertama untuk penyembuhan”.…
Mengapa Nabi Isa - sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad - malah justru membunuh babi…
Sejak mewabahnya COVID-19, kini hampir sebagian besar penduduk bumi dilarang untuk saling bersentuhan, harus menjaga…
Sejak awal tahun 2020 ini, seluruh dunia dilanda wabah penyakit COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2…
This website uses cookies.