Syahida.com – Mengapa banyak orang yang tidak rela dengan bagian hidupnya di dunia? Lebih banyak melihat sisi yang tidak dimiliki dengan melihat sisi yang dimiliki orang selainnya, lalu banyak mengeluh, baik secara kata-kata maupun batinnya. Mengapa kebanyakan orang, umumnya sering mengeluh ketimbang bersyukur?
Bahkan, tidak sedikit orang yang mengeluh bukan hanya saat ditimpa kesulitan atau keburukan, tapi tetap mengeluh meski ia mendapatkan kebaikan sekalipun. Bukan hanya orang miskin yang mengeluh, tapi juga orang yang berharta. Bukan hanya orang sakit yang mengeluh, bahkan orang yang sehatpun mengeluh.
Saudaraku,
Seorang penyair Arab pernah menggambarkan perasaan orang yang gemar mengeluh ini dengan untaian, “Engkau lebih melihat duri pada ranting mawar. Engkau buta melihat keindahan yang di atas ranting.” Penyair lainnya, ada yang mengungkapkan nasihat begitu indah tentang keluh mengeluh ini. Katanya, “Aku tak boleh mengeluh kepada manusia. Sebab kutahu manusia tak berdaya apa-apa. Lalu apakah orang yang tak berdaya, layak aku mengeluh kepadanya? Aku juga tak boleh mengeluh pada Allah. Sebab Dia Maha Tahu apa yang aku keluhkan sebelum kukatakan.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah, mengomentari orang yang mengeluh pada seseorang.
“Engkau mengeluhkan tentang Allah Yang Maha Menyayangimu, kepada orang yang tidak sayang kepadamu.”
Saudaraku,
Semua ini terjadi karena dua hal. Pertama, sebab pandangan kita yang terlalu pendek melihat kehidupan. Kedua, karena miskinnya seseorang dari ma’rifatullah, begitu sedikit mengenal Allah SWT, sehingga tidak sadar bagaimana Maha Kasih Sayang dan Maha Bijaksana-Nya Allah terhadap makhluk-Nya. Dua hal itu, yang kemudian menyebabkan orang tidak ridha kepada Allah, dan akibatnya sulit bersyukur kepada Allah SWT. Salah seorang Imam Haramain menyebutkan, “Kesulitan dan penderitaan di dunia itu, sebenarnya sudah cukup mengharuskan seorang hamba untuk bersyukur kepada-Nya. Sebab karena kesulitan dan penderitaan itu sebenarnya, hamba tersebut akan mendapat manfaat luar biasa dan pahala yang begitu banyak, bila bersabar.” Sikap orang yang mampu melihat kebaikan di balik penderitaan, kelapangan di balik kesempitan seperti ini, adalah karena memiliki sudut pandang yang luas terhadap hidup. Dan, ia juga pasti memililki kadar ma’rifatullah atau pengenalan kepada Allah yang baik.
Saudaraku,
Bersyukur adalah syarat ditambahnya nikmat. Kita pasti sudah tahu tentang itu. Bersyukur itu, semuanya akan kembali kepada orang yang bersyukur, bukan kepada orang lain. Kita juga sudah mengerti tentang itu. Imam Al Ghazali rahimahullah mengatakan, “Syukur itu tali pengikat kenikmatan yang bisa melanggengkan nikmat itu. Meninggalkan syukur, sama dengan melepas tali ikatan nikmat yang artinya nikmat akan pergi dan hilang.
Balasan dari amal ibadah yang kita lakukan kepada Allah, adalah jenis dari amal itu sendiri. Jika kita bersyukur kepada Allah SWT, maka Allah akan “bersyukur” kepada kita. Jika kita ridha kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan ridha kepada kita. Jika kita marah kepada Allah SWT, maka Allah akan marah kepada kita. ‘Barangsiapa yang ridha kepada Allah, maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang marah kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya,” demikian hadits Rasulullah SAW yang diriwaytkan oleh At-Turmudzi dan disahihkan oleh Al Abani.
Saudaraku,
Mari kita lebih banyak bersyukur, ketimbang mengeluh yang menjadi simbol ketidaksyukuran. Jika kita ingin gembira dan bahagia, syaratnya adalah beriman penuh kepada Allah SWT dan ridha kepada apapun yang Allah SWT berikan. Kenikmatan orang yang bersyukur sebab dilandasi keimanan adalah, seperti yang dikatakan para salafusshalih, “Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan menguliti kami dengan pedang untuk bisa merebut nikmat itu dari kami.” Orang shalih lainnya, mengatakan, “Menderita sekali penghuni dunia yang keluar dari dunia tapi belum merasakan sesuatu yang paling lezat di dunia.” Ketika ditanya, “Apakah yang paling lezat di dunia?” Orang shalih itu menjawab, “Mencintai Allah, mengenal Allah, dan mengingat Allah.”
Saudaraku,
Ridha lah kepada Allah, agar Allah ridha kepada kita. “Ridha adalaha pintu Allah yang paling mulia, surga dunia dan meneduhkan hamba-hamba Allah,” ujar Abdul Wahid bin Zaid rahimahullah. Orang yang ridha kepada Allah, akan mampu menyingkap hikmah di balik ujian yang dilewatinya. Orang yang cinta kepada Allah, akan bisa melihat kebaikan di balik kesulitan. Terkadang mereka melihat sisi pahala ridha terhadap ketetapan Allah SWT, sehingga mereka menjadi ridha dan lupa terhadap derita yang dialaminya. Terkadang, mereka juga melihat sisi pahala yang akan diterima dari Allah SWT karena ujian berat yang dirasakan, sehingga mereka tak merasa sakit.
Saudaraku,
Ridha kah kita kepada Allah? Cintakah kita kepada Allah? Seseorang bertanya kepada Fudhail bin Iyadh, “Wahai Abu Ali, apa tandanya seseorang telah mencapai puncak kecintaannya pada Allah SWT?” Ia menjawab, “Jika pemberian nikmat dan penghalangan nikmat atas dirimu itu sama saja bagimu. Ketika itulah engkau telah mencapai puncak cinta kepada-Nya.”
Semoga Allah SWT memudahkan kita jalan untuk memperoleh hati dan jiwa yang ridha dan cinta kepada-Nya. [Syahida.com]
Sumber : Majalah Tarbawi, Lili Nur Aulia