Syahida.com – Tidak dituntut untuk mengerjakan puasa, bagi yang belum balig, karena ia bukan mukalaf. Pena diangkat darinya, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW :
“Pena diangkat dari tiga golongan. Dari orang gila yang akalnya tertutup hingga sembuh, dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga mimpi jimak.” (HR.Ahmad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim). Pena diangkat adalah kata kiasan dari lepasnya tanggung jawab. Sedangkan mimpi jimak berarti usia akil balig. Ini bagi mereka yang diketahui kebaligannya dengan mimpi jimak dan indikator-indikator alami lainnya, yang menunjukkan bahwa ia telah melewati masa kanak-kanak dan memasuki usia yang lain.
Adapun anak perempuan, diketahui masa balignya melalui datangnya haid, yang menandai kesiapannya untuk hidup berumah tangga. Adapun jika ditakar dengan umur, balig seseorang adalah pada usia lima belas tahun. Karenanya, jika terlambat mimpi jimak dan terlambat haid, kebaligannya diukur dengan usia.
Apakah anak-anak kecil dibiarkan dan tidak diperintahkan untuk berpuasa kecuali setelah mencapai usia balig? Tentu tidaklah demikian, syariat Islam memerintahkan kita melatih anak-anak kecil untuk menunaikan kewajiban sejak usianya genap tujuh tahun. Nabi SAW bersabda :
“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya ketika berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari ibnu Umar).
Demikian itu karena kebaikan dan kejelekan adalah kebiasaan. Seseorang akan melakukan sesuatu yang dibiasakan padanya. Tarbiah di waktu kecil laksana mengukir di atas batu. Seorang penyair bertutur :
Remaja kita berkembang dengan
apa yang orang tuanya biasakan.
Hadist di atas membagi ihwal belajar menjadi dua tahapan. Tahapan perintah, pengajaran, dan ajuran. Ini setelah umur tujuh tahun. Tahapan kedua adalah tahapan pukulan, pelatihan dan ancaman. Ini setelah anak berusia sepuluh tahun.
Pemukulan tidak dilakukan kecuali setelah anak diberi kesempatan tiga tahun untuk diajak, dimotivasi, dan diberi harapan balasan. Setelah itu adalah tahapan penugasan dan sanksi, tentu yang sesuai. Semua itu dalam rangka menanamkan perasaan serius. Persoalan sepenuhnya diserahkan kepada orang tua. Bukan sekedar kata-kata yang terucap dan setelah itu tidak ada perhitungan, pahala dan sanksi.
Memukul disini adalah sarana yang dipergunakan karena keadaan darurat. Darurat diukur sesuai kadarnya. Pukulan tidak boleh menggunakan cemeti atau kayu, yang menyakitkan dan melukai. Ayah yang terbaik adalah ayah yang tidak menginginkan pemukulan pada anak-anaknya, namun mendidik mereka dengan contoh, kata-kata dan nasihat yang baik, dalam rangka meneladani Rasulullah SAW, yang tidak pernah sama sekali memukul makhluk hidup dengan tangannya, tidak kepada istri, pembantu, anak-anaknya, bahkan tidak juga kepada binatang.
Jikapun hadist dimuka berkaitan dengan masalah shalat, namun ia bersesuaian dengan puasa dalam berbagai hal kecuali satu, yakni dalam hal kemampuan jasmaniah. Boleh jadi seorang anak sudah berusia tujuh tahun atau sepuluh tahun, tetapi tubuhnya masih lemah, belum mampu untuk berpuasa. Untuk yang demikian hendaknya ditunda hingga benar-benar telah kuat.
Para Shahabat dahulu membiasakan anak-anaknya berpuasa ketika mereka masih kecil, dengan cara memberikan mainan berupa bulu domba. Mereka bermain dengan asyiknya hingga tidak terasa saat berbuka puasa tiba.
Salah satu kekeliruan yang sering dilakukan para Bapak dan Ibu adalah, mereka membiarkan anak-anak mereka hingga besar tanpa dilatih untuk menunaikan kewajiban dan ketaatan. Apabila mereka diperintah menunaikan kewajiban setelah masa balig, tentu akan terasa lebih berat daripada memikul gunung sekalipun. Benarlan apa yang dikatakan oleh seorang penyair :
Anak-anak mendapat manfaat dari pendidikan di masa kecil,
tidaklah manfaat itu mereka dapat, jika ditempuh di waktu tua.
Ranting-ranting kau luruskan niscaya lurus,
sedangkan kayu tetaplah bergeming meski kau paksa.
===
Diambil dari : Buku Fiqih Puasa, karangan Dr.Yusuf Qardhawi
Sumber : Fahima