Syahida.com – Mahram adalah yang haram dinikahi disebabkan adanya hubungan nasab atau adanya persusuan atau pernikahan. Allah memperbolehkan kepada mereka untuk menampakkan perhiasan batin (yang tersembunyi) di depan mahram-mahramnya. Allah SWT berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
“……..……..dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka.” (QS. An-Nur : 31)
Para ahli fiqih sepakat tentang bolehnya seorang laki-laki memandang kepada mahramnya yang biasa tampak ketika melakukan pekerjaan perempuan di rumah, karena berhati-hati dan menjaga diri darinya tidak memungkinkan, karena itu ia dibolehkan. Hanya saja para ahli fikih berbeda pandangan pada batasan tubuh yang boleh dipandang.
a. Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa boleh bagi laki-laki untuk memandang bagian tubuh mahramnya baik yang zhahir maupun yang batin, ia adalah: kepala, wajah, rambut, telinga, leher, dada, payudara, lengan atas, lengan bawah, betis, kaki, ia tidak boleh memandang perut, punggung, dua tepi lambung dan antara pusar dan bagian bawah lutut walaupun dirasa aman dari fitnah, itulah aurat perempuan di hadapan mahramnya. Mereka berargumen dengan beberapa dalil berikut ini;
1. Bahwa maksud dari perhiasan adalah anggota tubuh tempat perhiasan tersebut. Perhiasan batin adalah ikat kepala, jepitan rambut, anting, telinga, beha, gelang kaki, dan kalung tangan.
2. Bahwa perempuan itu ketika berada di rumahnya ia mengenakan pakaian yang biasa dikenakan di rumah, dan anggota tubuh yang tersebutkan di atas seringkali tampak, juga saling berbaur dan mengunjungi dengan mahram merupakan kebiasaan yang seringkali terjadi, bahkan terkadang kita temukan anggota keluarga yang masuk ke rumah saudaranya tanpa meminta izin terlebih dahulu, sekiranya memandang diharamkan bagian tubuh ini serta diperintah untuk ditutup tentu mereka akan kesulitan dan kerepotan, dan keberatan itu telah diangkat oleh syariat.
3. Pengharaman laki-laki yang bukan mahram memandang anggota tubuh perempuan karena dikhawatirkan akan menimbulkan syahwat yang pada mengundang kepada senggama, dan secara umum memandang kepada salah satu mahram tidak akan membangkitkan syahwat bahkan menghilangkannya sama sekali, berbeda dengan perempuan yang bukan mahram. Oleh karena itu, laki-laki boleh memandang anggota tubuh mahramnya selain aurat selama tidak dikhawatirkan menimbulakan fitnah dan syahwat, jika ia khawatir, maka memandang jadi haram bukan karena ia aurat akan tetapi karena pertimbangan akan menimbulkan syahwat. 1)
b. Ulama Malikiyah berpandangan bahwa aurat perempuan di hadapan mahramnya adalah bagian tubuh yang melebihi anggota tubuh bagian tepi. Seluruh tubuh mahram adalah aurat kecuali: kepala, wajah, leher, lengan, kaki, ia boleh memandangnya jika dirasa tidak menimbulkan fitnah, ia tidak boleh memandang dadanya atau punggungnya atau buah dadanya atau pahanya atau betisnya sekalipun tidak merasa nikmat karena ia termasuk aurat. 2)
c. Ulama Syafi’iyah dalam salah satu pandangan yang shahih dan dapat dijadikan sandaran bagi mereka bahwa auratnya di hadapan mahramnya adalah anggota tubuh di antara pusar dan lutut, mereka berpandangan hukum laki-laki di hadapan mahrahmnya seperti hukum seorang laki-laki di hadapan laki-laki, perempuan di hadapan perempuan, karena makna haram adalah ikatan yang menetapkan haramnya pernikahan, mereka menjadi seperti satu jenis, mereka boleh melihat seluruh anggota tubuhnya kecuali bagian yang berada di antara pusar dan lutut. 3)
d. Ulama Hanbaliyah dan sebagian ulama Syafi’iyah bahwa seorang laki-laki boleh memandang bagian tubuh mahramnya yang sering nampak ketika ia berkegiatan di rumah, seperti rambut dan sekitarnya, leher, tangan, kaki, betis, karena ia tidak mungkin menjaganya bagian-bagian tubuh ini, karena itu ia diperbolehkan membukanya seperti halnya ia membuka wajah, namun ia tidak diperbolehkan melihat apa yang biasanya ditutupi seperti dada, punggung, karena tidak ada kebutuhan untuk melihatnya dan dikhawatirkan timbul syahwat, karena ia diharamkan untuk memandangnya seperti ia haram melihat bagian tubuh yang ada di bawah pusar, ia tidak boleh membukanya di hadapan mahramnya kecuali jika ada kebiasaan membukanya. 4)
Kelompok ulama Syafi’iyah menafsirkan bagian tubuh yang biasa tampak ketika ia berkegiatan, yaitu rambut, wajah, leher, kedua tangan sampai lengan, kaki sampai lutut. Adapun buah dada mereka memiliki dua pandangan, apakah ia bagian tubuh yang sering tampak ketika ia berkegiatan di rumah? Mereka berpandangan hal itu tidak perlu untuk dipandang,. 5)
Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam musnad-nya dari Zainab binti Abi Salamah bahwa ia pernah menyusu kepada Asma, istri Zubair. Zainab berkata, Aku menganggap Zubair sebagai ayah, ia sering masuk ke kamarku dan aku pun sering menyisir rambutnya, ia juga sering memegang kepangan rambutku sambil berkata, “Menghadaplah ke sini.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dari Sahlah binti Sahl bahwa ia pernah berkata, “Wahai Rasul, kami menganggap Salim sebagai anak sendiri, ia tinggal bersamaku dan bersama Abu Hudzaifah dalam satu rumah, ia melihat anggota tubuhku padahal Allah telah menurunkan ayat tentang mereka, maka bagaimana engkau melihatnya? Rasulullah kemudian berkata kepadanya, “Susuilah ia.” Lalu Sahlah pun menyusui Sahal sebanyak lima kali, maka ia seperti anaknya sendiri. Maksud ucapan Sahlah, “Ia melihat anggota tubuhku.” Terdapat petunjuk bahwa ia melihatnya mengenakan pakaian harian yang tidak menutup sebagian anggota tubuhnya dan bagian tubuh itu sering tampak, dan ia menyempurnakan penyusuan agar ia bertindak seperti semula. 6) [Syahida.com]
=============
- Bada’i Ash-Shana’i (5/120-121); Tabyin Al-Hawa’iq (6/19); Al-Fatawa Al-Hindiyah (5/328), Al Fatawa Al-Khaniyah (3/407); Multaqa Al-Abhur hlm. 242.
- Syarah Minah Al-Jalil (1/221-222; Syarah Ad Dardir ala Mukhtashar Khalil (1/91); Syarah Ash-Shagir (1/106,401); Fiqh Ibadat oleh Asy-Syafaqah, hlm. 242.
- Al-Iqna (1/298-299), (2/119); Hasyiyah Al-Bajuri (1/146, 182); dan Fath Al-Allam (2/178-79).
- Al Mughni (6/554); Ar-Raudh ma’a Hasyiyah Abdurrahman (1/495); Ma’a Hasyiyah Al-Anqari (6/234-235)
- As-Siraj Al-Wahhaj, hlm. 395 dan Fath Al-A’llam (2/178).
- Lihat Al-Mughni (6/555)
(Sumber : Kitab Adab berpakaian dan Berhias, Penulis : Syaikh Abdul Wahab Abdussalaam Thawilah, Penerbit : Pustaka Al Kautsar, Penerjemah : Abu Uwais & Andi Syahril)