Syahida.com – “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26).
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak akan lurus keimanan seorang hamba, sampailah lurus hatinya dan tidak akan lurus hatinya, sampailah lurus lidahnya.” (Riwayat Ahmad).
Perumpamaan dalam Al Qur’an di atas amat menarik untuk direnungkan. Hal itu menggambarkan betapa mulia dan terhormatnya orang yang senantiasa berbicara dengan perkataan yang baik dan yang bermanfaat.
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, dijelaskan bahwa merupakan suatu syarat, lurusnya iman seseorang adalah lurusnya hati. Kemudian juga merupakan syarat lurusnya hati dengan lurusnya lisan. Penjelasan yang amat terang ini sudah pasti mudah untuk dipahami.
Lurusnya lisan antara lain tidak mudah tertawa dalam hal-hal yang sia-sia dan mubadzir atau diistilahkan dengan tertawa tanpa sebab. Kalaupun ada sebab-sebab harus tertawa, hal ini dilakukan dengan mengikuti kaidah dan adabnya, yaitu tertawa dengan memperbanyak senyum dan tidak terkekeh-kekeh seperti suara keledai.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah memperbanyak kata (bicara) selain dzikrullah, karena banyaknya bicara selain dzikrullah menjadikan hati keras. Dan orang yang terjauh dari Allah adalah yang berhati keras.” (Riwayat at-Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan beberapa nasihat kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, di antaranya:
“Janganlah banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. At-Tirmidzi)
Oleh karena itulah, Umar ibnul Khaththab pernah berkata,
“Barangsiapa banyak bicaranya, maka banyak kesalahannya dan orang yang banyak salahnya berarti banyak dosanya, dan nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka.”
Ucapan Umar ini amat tepat karena lidah manusia sebenarnya amat mudah tergelincir dan mudah untuk mengungkapkan kata-kata dusta, sia-sia atau dosa. Malahan karena lidahlah kita tertawa terkekeh-kekeh sampai-sampai lupa mengingat Allah.
Mu’adz pernah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu jika saya katakan kepadamu tentang sendi dari semua kebaikan itu?” Aku (Mu’adz) menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Maka beliau menunjukkan pada lidahnya, seraya berkata, “Jagalah ini!” Aku berkata, “Ya Nabi Allah, apakah kami akan memperoleh siksa akibat ucapan kami?” “Betapa celakanya engkau wahai Mu’adz, bukankah orang yang tersungkur ke dalam neraka itu, melainkan hasil menabur fitnah melalui lidah-lidah mereka, akhirnya menuai siksa-Nya?” (Riwayat Tirmidzi dan Al-Hakim).
Lidah tidak berulang. Inilah ungkapan orang tua kita berkaitan dengan mudahnya lidah melakukan dosa. Ia terlalu lembut dan mudah untuk digerak-gerakkan. Justru itu, beruntunglah orang yang menjaga lidahnya dari perkara-perkara yang berdosa dan bergelak tawa yang tidak tentu arah,
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah melalui dua lubang (yaitu lubang) mulut dan faraj (kemaluan).” (Riwayat at-Tirmidzi)
Mulut yang tidak dijaga akan menyebabkan tertawa yang terkekeh-kekeh dengan suara keras. Tertawa dengan suara keras adalah tertawa setan sewaktu dikeluarkan dari sisi Allah di dalam surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah berbicara melebihi dari dzikrullah. Sesungguhnya dengan banyak berbicara akan mengeraskan hati dan bila hatinya telah keras maka ia akan menjadi semakin jauh dari Allah.”
Tertawalah dengan nada yang jelas tanpa ada rasa keraguan dan jangan tertawa dengan nada yang samar-samar atau ragu-ragu.
Tertawalah di depan orang dengan cara bertentangan mata dan jangan tertawa di belakang. Ini untuk menghindari timbulnya keraguan dan salah paham.
Jika seorang sedang berbicara tentang sesuatu topik dan topik itu belum habis dibicarakan, maka janganlah tertawa karena berarti memotong pembicaraannya. Tertawa ketika perbincangan belum habis berarti tertawa tiba-tiba yang bisa mengagetkan orang lain.
Jika seseorang sedang makan, maka janganlah tertawa karena perbuatan itu amat menjijikkan dan tidak disukai orang.
Jangan tertawa di depan orang yang sedang sakit karena hal itu dapat membuatnya sedih. Sebaliknya, ucapkanlah sesuatu yang menyenangkan dan menghiburnya.
Jangan sesekali meniru gaya tertawa atau percakapan orang yang jahil dalam agama.
Jangan menertawai orang lain, karena itu dapat menimbulkan fitnah serta mencaci maki orang.
Jangan menertawai orang yang lebih tua dari kita, sebaiknya tertawalah dengan senyum untuk memuliakan mereka.
Jangan menertawai seseorang dengan gelak tawa yang tidak menyenangkan karena itu dapat menimbulkan sakit hati dan permusuhan.
Jangan menertawai sesuatu perkara yang Anda sendiri masih belum memahami topiknya. [Syahida.com/ANW]
=====
Sumber: Kitab Tertawa yang Disukai Tertawa yang Dibenci Allah, Karya: Abdul Majid. S, Penerbit: Gema Insani
Tanda-tanda hari Kiamat termasuk salah satu topik yang mendapat perhatian besar dari Rasulullah SAW dalam…
Adapun tanda-tanda peristiwa yang membicarakan dekatnya hari Kiamat, maka ayat-ayat tersebut terkesan membicarakan secara sekilas.…
“Ilusi adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah pertama untuk penyembuhan”.…
Mengapa Nabi Isa - sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad - malah justru membunuh babi…
Sejak mewabahnya COVID-19, kini hampir sebagian besar penduduk bumi dilarang untuk saling bersentuhan, harus menjaga…
Sejak awal tahun 2020 ini, seluruh dunia dilanda wabah penyakit COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2…
This website uses cookies.