Syahida.com – Kalimat syahadat mempunyai peranan yang sangat besar pada saat meninggal dunia untuk menebus dan melunturkan kesalahan-kesalahan, karena syahadat merupakan kesaksian dari hamba yang meyakininya dan mengakui kandungannya, yang saat itu syahwatnya sudah berhenti, jiwanya yang memberontak telah melunak, tunduk setelah enggan, menghadap setelah berpaling, merunduk setelah mendongkak, hasratnya terhadap dunia sudah berhenti, tunduk di hadapan Rabb-nya dan penciptanya untuk mengharapkan ampunan, maghfirah dan rahmat-Nya, tauhid menjadi murni dengan terputusnya sebab-sebab syirik.
Berbagai gejolak yang tadinya membuatnya sibuk kini telah terhenti. Seluruh hasrat terhimpun pada Dzat yang diyakini dan menjadi tempat berlabuhnya. Dengan seluruh wajah seorang hamba menghadapkannya kepada Allah, dengan segenap hati dan ruhnya dia berada di hadapan-Nya. Kepada-Nya semata dia pasrah lahir dan batin dia berkata, “Tiada Ilah selain Allah”, dengan penuh keikhlasan dari relung hatinya, tanpa bergantung kepada selain-Nya atau berpaling kepada yang lain.
Semua keduniaan keluar dari hatinya, bersiap-siap untuk mendatangi Rabb-nya. Pelita syahwatnya sudah padam dari hatinya, bersiap-siap untuk mendatangi akhirat. Hanya akhiratlah yang menjadi perhatiannya dan dunia terlempar ke belakang punggungnya. Syahadat yang tulus menjadi penutup amalnya sehingga mensucikannya dari segala dosa dan membawanya ke hadapan Allah, karena dia bersua dengan-Nya dengan syahadat yang murni dan tulus.
Zhahirnya sejalan dengan batinnya, yang rahasia sejalan dengan yang tampak. Andaikan syadahat seperti ini dihayati pada saat-saat masih segar bugar, tentu manusia akan menuju ke jalan Allah. Tapi nyatanya pada hari-hari itu dia menyatakan syahadat dengan hati yang ditaburi syahwat, kecintaan kepada dunia dan sebab-sebabnya, dengan jiwa yang dipenuhi tuntutan kedudukan dan perhatian terhadap selain Allah. Andaikan dia memurnikan syahadat ini seperti saat menghadapi maut, tentu itu merupakan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan hewan.
Antara hamba dan Rabb
Apa yang bisa dilakukan seseorang yang ubun-ubun dan jiwanya ada di Tangan Allah, yang hatinya ada di antara dua jari Allah, yang dapat dibolak-balikkan menurut kehendak-Nya, yang hidup, mati, kebahagiaan, kesengsaraan, gerak, diam, perbuatan dan perkataannya ada di Tangan Allah dan berdasarkan izin Allah? Artinya, dia tidak bergerak kecuali dengan seizin Allah dan tidak berbuat sesuatu kecuali menurut kehendak-Nya.
Jika dia mengandalkan kepada dirinya sendiri, berarti dia mengandalkan kepada sesuatu yang lemah, tak berdaya dan jelas salah. Jika dia menyerahkan dirinya kepada orang lain, berarti dia menyerahkan kepada orang yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadanya, tidak berhak menentukan hidup dan mati serta tempat kembali. Jika dia tidak berbuat sesuatu, berarti dia memberi kesempatan kepada musuh untuk menguasai dirinya dan menjadikannya tawanan.
Dia selalu membutuhkan Allah, kapan pun. Bahkan dalam setiap hembusan napas dan dalam setiap atom yang ada pada dirinya, lahir maupun batin, dia mutlak membutuhkan Allah. Sekalipun begitu, tetap saja dia berpaling dari-Nya dan membuat-Nya murka karena dia mendurhakai-Nya. Sekalipun setiap saat dia membutuhkan Allah, dan nantinya akan kembali kepada-Nya, tapi dia justru lebih sering melalaikan-Nya dan menjadikan-Nya di belakang punggung. [Syahida.com/ANW]
—–
Sumber: Kitab Mendulang Faidah dari Lautan Ilmu, Karya; Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar