23 Penyebab Meninggalkan Perintah Allah Lebih Berat Dosanya daripada Mengerjakan Larangan Allah (Bagian 1)

Advertisement

Syahida.com – Sahl bin Abdullah berkata, “Meninggalkan perintah lebih berat di sisi Allah daripada mengerjakan larangan. Sebab Adam dilarang memakan buah pohon, namun beliau tetap memakannya, lalu bertaubat. Sementara Iblis diperintah untuk bersujud kepada Adam, namun dia menolak dan tidak mau bertaubat.”

Ini merupakan masalah besar yang tidak bisa diremehkan begitu saja, bahwa meninggalkan perintah lebih berat di sisi Allah daripada mengerjakan larangan, yang bisa dilihat dari beberapa sisi:

1. Seperti yang dikatakan Sahl tentang keadaan Adam dan musuh Allah, Iblis.

2. Dosa mengerjakan larangan biasanya bersumber dari nafsu dan kebutuhan. Sementara dosa meninggalkan perintah biasanya bersumber dari kesombongan dan kecongkakan. Padahal tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun hanya seberat dzarrah. Sementara orang yang meninggal dalam keadaan tauhid akan masuk surga meskipun dia pernah berzina dan mencuri. 1

3. Mengerjakan yang diperintahkan lebih disukai Allah daripada meninggalkan larangan, sebagaimana yang ditunjukkan beberapa nash, seperti sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam,

“Amal yang paling disukai Allah adalah shalat pada waktunya.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

“Maukah kalian jika kutunjukkan kepada kalian amal kalian yang paling baik dan paling suci di sisi Penguasa kalian serta lebih meninggikan derajat kalian, yang lebih baik bagi kalian daripada kalian berhadapan dengan musuh, lalu kalian memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?” Mereka menjawab, “Baik wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Dzikir kepada Allah”. (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat.” (Ditakhrij Ahmad, Ad-Darimy, Ath-Thabrany dan Ibnu Hibban).



Meninggalkan larangan merupakan suatu perbuatan dan menahan dari perbuatan yang lain. Karena itu Allah mengaitkan rasa cinta dengan pelaksanaan perintah, sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur.” (Ash-Shaff: 4)

Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).

Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146).

Dan berbuat adillah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (Al-Hujuurat: 9).

Sedangkan pada sisi larangan, maka yang lebih banyak disebutkan adalah penafian rasa cinta, sebagaimana firman-Nya,
Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (Al Baqarah: 205).

Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al Hadid: 23).

Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148).

Jika yang demikian ini sudah diketahui, maka mengerjakan apa yang disukai Allah sudah barang tentu merupakan sesuatu yang dituju. Karena itu apa yang dibenci Allah harus karuan, agar karuan pula apa yang disukai-Nya, sebagaimana Dia telah menetapkan jenis-jenis kedurhakaan, kufur, dan fasik. Setelah itu harus ada penetapan tentang-apa-apa yang disukai-Nya, seperti jihad, mati syahid, bertaubat, merendahkan diri, pasrah, menampakkan keadilan, ampunan dan kemuliaan-Nya, berteman, dan bermusuhan karena Allah dan lain-lainnya.

Allah tidak menetapkan apa-apa yang disukai-Nya untuk membawa hamba kepada hal-hal yang dibenci-Nya, sebagaimana Dia tidak menetapkan apa-apa yang dibenci-Nya, untuk membawa hamba kepada hal-hal yang disukai-Nya. Dengan begitu dapat diketahui bahwa mengerjakan apa-apa yang dicintai Allah, lebih Dia sukai daripada apa-apa yang dibencinya.

4. Mengerjakan apa-apa yang diperintahkan merupakan hal yang memang diperintahkan dan meninggalkan larangan dimaksudkan untuk menyempurnakan pelaksanaan perintah. Sesuatu termasuk hal yang dilarang, karena ia menimbulkan celah dalam pelaksanaan apa yang diperintahkan, melemahkan atau pun menguranginya, seperti yang diperingatkan Allah ketika melarang khamr dan judi, karena dua hal ini menghalangi dzikir kepada Allah dan melalaikan shalat,

Hal-hal yang dilarang merupakan pemutus atau penghalang yang merintangi pelaksanaan apa-apa yang diperintahkan atau setidak-tidaknya mengurangi kesempurnaannya. Larangan merupakan tujuan untuk hal yang lain, sedangkan perintah melaksanakan kewajiban merupakan tujuan untuk perintah itu pula.

5. Mengerjakan hal-hal yang diperintahkan termasuk masalah menjaga kekuatan iman dan keteguhannya, sedangkan meninggalkan hal-hal yang dilarang termasuk masalah perlindungan dari apa-apa yang dapat menggangu kekuatan iman dan yang dapat mengeluarkannya dari kebenaran. Menjaga kekuatan harus lebih didahulukan daripada melindunginya. Selagi kekuatan bertambah kuat, tentu ia mampu menolak pengaruh-pengaruh yang rusak itulah yang akan menang. Perlindungan dimaksudkan untuk sesuatu yang lain, yaitu menjaga kekuatan, menambah dan meneguhkannya. Perhatikanlah baik-baik masalah ini.

6. Melaksanakan apa yang diperintahkan merupakan kehidupan hati, santapan, hiasan, kesenangan dan kenikmatannya. Sedangkan meninggalkan apa-apa yang dilarang tidak menghasilkan yang seperti ini. Andaikan seseorang meninggalkan semua hal-hal yang dilarang, dan dia tidak memiliki iman dan tidak mengerjakan hal-hal yang diperintahkan, maka tindakannya itu sama sekali tidak memberikan manfaat dan dia akan kekal selama-selamanya di neraka.

7. Siapa yang mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan juga hal-hal yang dilarang, maka boleh jadi dia selamat, selagi kebaikan-kebaikannya dapat mengalahkan keburukan-keburukannya, atau boleh jadi dia akan selamat setelah menjalani hukuman atas keburukan-keburukannya. Tapi bagaimana pun juga dia akan selamat, karena dia mengerjakan hal-hal yang diperintahkan.

Siapa yang meninggalkan hal-hal yang diperintahkan dan juga hal-hal yang dilarang, maka dia akan celaka dan tidak akan selamat. Dia tidak akan selamat kecuali jika dia mengerjakan apa yang diperintahkan, yang paling penting adalah tauhid.

Jika ada yang berkata, “Dia celaka karena mengerjakan apa yang dilarang, yaitu syirik, maka dapat dijawab, bahwa dia celaka hanya karena meninggalkan satu perkara, yaitu tauhid yang diperintahkan, sekalipun dia tidak mengerjakan syirik  yang menjadi kebalikan tauhid. Selagi hatinya tidak ada tauhid sama sekali, maka dia adalah orang yang celaka, sekalipun dia tidak menyekutukan Allah. Jika dia menambahi keadaannya dengan syirik, maka dia diazab karena meninggalkan tauhid dan mengerjakan syirik yang dilarang.

8. Seseorang yang diseru untuk beriman, lalu dia menjawab, “Aku tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan, aku tidak menyukai dan tidak pula membenci, aku tidak menyembah Allah dan tidak pula menyembah selain Allah”, maka dia disebut orang kafir, hanya karena dia meninggalkan iman dan berpaling dari seruan itu. Keadaan ini berbeda dengan orang yang berkata, “Aku membenarkan Rasul, mencintainya, beriman kepadanya dan aku pun mengerjakan apa yang diperintahkan kepadaku. Hanya saja nafsu, keinginan dan tabiat menguasai diriku, tidak membiarkanku meninggalkan apa yang beliau larang. Padahal aku juga tahu bahwa beliau telah melarangnya dan tidak suka jika aku mengerjakan hal yang dilarang. Rupanya aku tidak memiliki kesabaran menghadapinya.” Orang seperti ini tidak dianggap kafir dan hukumnya tidak sama dengan orang yang pertama. Orang yang meninggalkan sejumlah hal-hal yang diperintahkan, tidak dianggap orang yang taat secara mutlak.

9. Ketaatan dan kedurhakaan hanya berkait dengan perintah yang menjadi dasar dan kepada larangan sebagai penyerta. Orang yang taat adalah orang yang mengikuti apa yang diperintahkan, sedangkan orang yang durhaka adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan. Allah berfirman,

“Yang tidak mendurhakai Allah tentang apa yang diperintahkan kepada mereka.” (At-Tahrim: 6).

Musa berkata kepada saudaranya (Harun),

“Apa yang menghalangi kami ketika kamu melihat mereka telah sesat (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” (Thaha: 92-93).

Amr bin Al-Ash berkata menjelang kematiannya, “Engkaulah yang telah memerintahkan kepadaku, lalu aku durhaka, tetapi tiada Ilah selain Engkau.”

Maksud diutusnya para rasul ialah agar yang mengutus mereka ditaati. Maksud ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengikuti segala perintah-Nya.

Menjauhi hal yang dilarang termasuk kesempurnaan mengikuti perintah dan keharusannya. Karena itu jika seseorang menjauhi apa yang dilarang dan tidak mengerjakan apa yang diperintahkan, maka dia tidak disebut orang yang taat. Dia adalah orang yang durhaka. Lain halnya jika dia mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang. Sekalipun dia dianggap sebagai orang yang durhaka dan berdosa, tetapi dia disebut orang yang taat karena telah mengikuti perintah. Lain lagi andaikan dia meninggalkan perintah, maka dia tidak disebut orang yang taat karena menjauhi apa yang dilarang secara khusus.

10. Mengikuti perintah merupakan ibadah, taqarrub dan penghambaan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan makhluk, sebagaimana firman-Nya,

Dan, tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).

Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan mereka untuk beribadah. Dia mengutus para rasul dan menurunkan kitab, agar mereka juga menyembah-Nya. Ibadah merupakan tujuan penciptaan mereka. Mereka tidak diciptakan untuk dibiarkan begitu saja, karena yang demikian ini merupakan hal yang sia-sia dan tidak ada kesempurnaannya. Lain halnya jika mereka mengikuti apa yang diperintahkan, yang berarti merupakan hal yang nyata dan ada yang dicari.

11. Yang dituntut dari larangan adalah tidak mengerjakannya, yang berarti merupakan masalah peniadaan, sedangkan yang dituntut dari perintah adalah adalah pengadaan perbuatan, yang berarti merupakan masalah yang ada. Kaitan perintah adalah pengadaan dan kaitan larangan adalah peniadaan. Larangan tidak mengandung kesempurnaan kecuali jika ada kandungan perintah yang sifatnya pengadaan, dan pengadaan inilah yang dituntut dan diperintahkan. Maka hakikat larangan kembali kepada perintah. [Syahida.com/ANW]

Bersambung….

—–

1 Yang pertama sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud. Yang kedua seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Dzarr.

====

Sumber: Kitab Mendulang Faidah dari Lautan Ilmu, Karya; Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar

Advertisement
Admin Syahida

Disqus Comments Loading...
Share
Kontributor:
Admin Syahida

Recent Posts

Perhatian Rasulullah SAW Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat (Bagian ke-1)

Tanda-tanda hari Kiamat termasuk salah satu topik yang mendapat perhatian besar dari Rasulullah SAW dalam…

4 tahun yang lalu

Perhatian Al-Quran Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat

Adapun tanda-tanda peristiwa yang membicarakan dekatnya hari Kiamat, maka ayat-ayat tersebut terkesan membicarakan secara sekilas.…

4 tahun yang lalu

Sikap yang Baik dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

“Ilusi adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah pertama untuk penyembuhan”.…

5 tahun yang lalu

Pandemik, COVID-19, Babi, dan Akhir Zaman

Mengapa Nabi Isa - sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad - malah justru membunuh babi…

5 tahun yang lalu

Antara Samiri dan COVID-19

Sejak mewabahnya COVID-19, kini hampir sebagian besar penduduk bumi dilarang untuk saling bersentuhan, harus menjaga…

5 tahun yang lalu

Antara Doa Nabi Ibrahim AS, Doa Nabi Muhammad SAW, Wabah COVID-19, dan Dajjal

Sejak awal tahun 2020 ini, seluruh dunia dilanda wabah penyakit COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2…

5 tahun yang lalu
Advertisement

This website uses cookies.