Syahida.com –
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖفَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“….Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat.” (Al-Baqarah: 186)
Ini adalah kaidah (prinsip pokok ajaran) Al Qur’an dalam masalah keimanan, yang memiliki hubungan yang agung dengan salah satu ibadah yang paling agung, yaitu ibadah doa.
Kaidah yang berkaitan dengan doa ini datang setelah sejumlah ayat-ayat tentang puasa, maka marilah kita melihat sesuatu dari petunjuk kaidah Al-Qur’an ini:
(1). Al Qur’an mengandung empat belas pertanyaan, dan semuanya diawali dengan يَسْأَلُونَكَ “Mereka bertanya kepadamu,” kemudian datang jawabannya dengan قُلْ “katakanlah,” kecuali pada satu ayat saja “fa qul” “maka katakanlah,” dalam Surat Thaha, dan kecuali tempat yang hanya satu-satunya ini, maka ia diawali dengan jumlah syarthiyyah ini,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,” (Al-Baqarah: 186),
Dan datanglah jawab syarathnya tanpa menggunakan kata kerja قُلْ “Katakanlah,” tetapi Dia berfirman,
فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu.” (Al-Baqarah: 186).
Maka seolah-olah pembatas dengan redaksinya yang singkat ini, “قُلْ” (katakanlah) seolah-olah menjauhkan kedekatan antara orang yang berdoa dengan Tuhannya, maka datanglah jawabannya dengan tanpa menggunakan perantara فَإِنِّي قَرِيبٌ “maka sesungguhnya Aku adalah dekat”, untuk mengingatkan kepada sangat dekatnya Allah dari hambaNya pada saat dia berdoa! Dan ini termasuk di antara jawaban yang paling bagus dari sebab turunnya ayat ini -apabila ia shahih- tatkala Nabi SAW ditanya, “Apakah Tuhan kami itu dekat, sehingga kami akan bermunajat kepadaNya, ataukah Dia itu jauh, sehingga kami harus menyeruNya?”
(2). Renungkanlah FirmanNya عِبَادِي “hamba-hambaKu”, berapa banyak kasih sayang terhadap hamba-hambaNya (yang diisyaratkan oleh) lafazh ini, di mana Allah menisbatkan mereka kepada diriNya Yang Mahatinggi, Mahasuci, dan Maha Terpuji, maka manakah orang-orang yang berdoa? Dan manakah orang-orang yang mengetuk pintu-pintu karuniaNya?!
(3). فَإِنِّي قَرِيبٌ “Maka sesungguhnya Aku adalah dekat”. Di sini terkandung penetapan kedekatanNya dari hamba-hambaNya. Mahamulia dan Mahatinggi Dia, dan ia adalah kedekatan yang khusus bagi orang yang menyembahNya dan berdoa kepadaNya, dan ini -demi Allah- termasuk di antara hal terbesar yang mendorong orang Mukmin untuk bersemangat dalam berdoa kepada Pelindungnya.
(4). Dalam FirmanNya أُجِيبُ “Aku mengabulkan”, terdapat dalil yang menunjukkan Kuasa Allah dan kesempurnaan pendengaranNya, dan ini adalah hal yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun kecuali Dia Yang Mahasuci!
Sesungguhnya raja manapun di antara raja-raja dunia -dan Allah memiliki perumpamaan yang paling tinggi- walaupun dia diberi kekuatan dan kekuasaan yang bagaimana pun, tetap saja dia tidak bisa merealisasikan semua yang dia inginkan, karena dia adalah seorang makhluk yang lemah, yang tidak mampu mencegah sakit dan kematian dari dirinya, apalagi hal lainnya. Maka Mahasuci Allah Yang Mahakuat, Mahaperkasa, Maha Penyayang, dan Maha Pengasih,
(5). Dalam FirmanNya إِذَا دَعَانِ “apabila dia memohon kepadaKu”, terdapat isyarat bahwasanya di antara syarat dikabulkannya doa adalah hendaknya orang yang berdoa tersebut menghadirkan hatinya pada saat dia berdoa kepada Tuhannya dan benar dalam meminta kepada Pelindungnya, di mana dia ikhlas, merasa dirinya sangat butuh kepada Tuhannya, dan merasa dirinya diberikan kemurahan dan kedermawanan Allah. 1
(6). Di antara petunjuk-petunjuk dan makna-makna yang ditunjukkan oleh kaidah (prinsip pokok) ini adalah: bahwasanya Allah Ta’ala mengabulkan doa seseorang apabila dia berdoa kepadaNya. Akan tetapi hal itu tidak mesti berarti Allah mengabulkan permintaannya, karena Allah Ta’ala terkadang mengakhirkan untuk mengabulkan permintaan seseorang agar orang yang berdoa itu bertambah tunduk kepada Allah, dan terus menerus berdoa (hingga dikabulkan), sehingga dengan hal itu Imannya menjadi kuat dan pahalanya bertambah; atau Allah menyimpannya untuknya pada Hari Kiamat; atau Allah mencegah keburukan darinya yang lebih besar faidahnya bagi orang yang berdoa tersebut; dan inilah rahasia -wallahu’alam- dalam Firman-Nya أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa.” 2
(7). Dan mahkota dari rahasia-rahasia halus yang berkaitan dengan kaidah dari kaidah-kaidah ibadah ini, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat”, bahwasanya Anda melihat padanya suatu rahasia di antara rahasia-rahasia keagungan agama ini, yaitu tauhid, maka inilah Tuhanmu -wahai orang Mukmin- yang mana Dia adalah Raja dari segala raja, Yang Maha Berkuasa, Maha Memaksa, yang tidak ada satu kerajaan pun yang menyamai kerajaan-Nya, dan tidak ada satu kekuasaan pun (yang menyamai) kekuasaanNya; Anda tidak perlu untuk membuat janji-janji (terlebih dahulu) apabila Anda ingin memohon kepadaNya, juga tidak perlu kepada perizinan-perizinan, dan tidak pula hal-hal semacamnya. Sesungguhnya (Anda hanya perlu) mengangkat kedua tangan, disertai hati yang jujur, lalu Anda meminta keperluan Anda.
Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak menanggung kewajiban ingin dikabulkannya doa, akan tetapi aku menanggung kewajiban ingin berdoa, maka apabila aku diberi ilham untuk berdoa, maka sesungguhnya pengabulan doa akan datang bersamanya.’
Dan berdasarkan berdasarkan besar kadar niat hamba, keinginannya, tujuannya, dan sikap antusiasnya, sebesar itu pula kadar taufik dan pertolongan Allah Ta’ala datang. Maka pertolongan dari Allah turun kepada hamba-hamba berdasarkan kadar keinginan, keteguhan, pengharapan, dan rasa takut mereka, dan sebaliknya kekalahan turun kepada mereka berdasarkan kadar hal itu juga,… dan tidaklah orang yang kalah diberi (kekalahan) melainkan dari aspek penyia-nyiaan syukur, dan sikap melalaikan dalam menunjukkan rasa patuh dan berdoa, dan tidaklah orang yang menang diberi kemenangan -dengan kehendak dan pertolongan Allah- melainkan karena melaksanakannya terhadap sikap syukur dan benar dalam menunjukkan rasa butuh dan berdoa.” 3
Dan di antara makna-mana yang penting yang layak dihadirkan oleh seorang hamba, pada saat dia sedang berdoa, adalah apa yang diisyaratkan oleh Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi, tatkala beliau sedang membahas hikmah dan disyariatkannya doa, di mana beliau berkata, “Dan sungguh Allah telah menetapkan agar hamba itu diuji dan digunakan, dan tergantung di antara pengharapan dan rasa takut -yang mana keduanya merupakan dua tingkatan penghambaan diri- supaya dengan hal itu terlaksanalah tugas-tugas yang dibebankan kepada dirinya, yang merupakan ciri khas setiap hamba, dan setiap makhluk yang diurus dan diatur.” 4
Dan di antara petunjuk-petunjuk kaidah (prinsip pokok) ini -yang berkaitan dengan konteksnya- adalah: disunnahkannya berdoa ketika berbuka pada bulan Ramadhan dan selainnya, dan ini adalah apa yang ditunjukkan oleh zahir al-Qur’an.
Maka alangkah indahnya seorang hamba, tatkala dia menampakkan kefakirannya dan penghambaan dirinya dengan memohon kepada Pelindungnya dan bersimpuh di hadapan Penciptanya, Pemberi rezekinya, dan Dzat yang mana ubun-ubun hamba tersebut berada di Tangan-Nya!
Dan alangkah bahagianya dia tatkala dia memanfaatkan waktu-waktu dikabulkannya doa untuk bermunajat kepada Tuhannya, dan memohon kepadaNya dari luasnya karuniaNya dari kebaikan dunia dan akhirat!
Kita memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan kepada kita sikap penyandaran diri yang jujur kepadaNya, bersimpuh di hadapanNya, kesempurnaan ketundukan kepadaNYa, kuatnya tawakal kepadaNya, dan agar Dia tidak mengecewakan harapan-harapan kita padaNya, dan tidak menjadikan kita sebagai orang-orang yang kecewa disebabkan dosa-dosa dan amal-amal kita yang kurang maksimal. [Syahida.com/ANW]
—-
1 Apa-apa yang telah disebutkan dapat dilihat dalam Mafatuh al-Ghaib, 5/84; dan Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Utsaimin, 1/345.
2 Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Utsaimin, 1/345.
3 Al-Fawa’id, hal. 181.
4 Sya’nu ad-Dua’a, hal. 9-10.
====
Sumber: Kitab 50 Prinsip Pokok Ajaran Al Qur’an Bekal Membangun Jiwa yang Kuat dan Pribadi yang Luhur, Karya: Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, Penerjemah: Abdurrahman, Lc. , penerbit: Darul Haq