Syahida.com – Shalat malam yang paling utama adalah shalatnya Nabi Daud. Beliau tidur setengah malam, melaksanakan shalat sepertiga malam, lalu tidur kembali seperenam malam. Adapun apa yang disebutkan Ibnul Jauzi dalam kitabnya Safwatussafwah, Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamun mubala dan yang lainnya, harus diteliti dengan penelitian syar’i.
Terus menerus (Al Mudaawamah) menghidupkan malam secara keseluruhan dengan melaksanakan shalat bukan merupakan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau shalat kemudian tidur. Jika telah tiba sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya.
Telah disebutkan oleh Jumhur Ulama bahwasanya shalat malam tergolong dalam shalat nafilah (tambahan) yang mutlak dan tidak terbatas bilangannya. Ini adalah pendapat Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah berdasarkan pada hadits dua puluh rakaat yang dilakukan pada masa Umar bin Khaththab r.a.
Dengan demikian tidak mengapa bagi mereka yang melaksanakan shalat sebanyak tiga ratus atau seribu rakaat, walaupun Ummul Mu’minin Aisyah r.a telah meriwayatkan, bahwasanya Nabi tidak pernah menambah, baik pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya melebihi dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan engkau tanyakan bagus dan lamanya shalat beliau. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka jangan engkau tanyakan bagus dan lamanya shalat beliau, lalu beliau shalat witir tiga rakaat.
Apa yang disebutkan oleh sebagian orang-orang sholeh, bahwasanya beliau membaca Al Qur’an dalam satu malam atau dalam satu rakaat, maka hal itu tidak menyalahi jika dilakukan dengan mentadabburinya.
An-Nawawi dalam kitabnya Ath-Thibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an menyebutkan cara-cara shalafushshalih dalam mengkhatamkan Al Quran dan tingkatan-tingkatan mereka dalam melakukan hal itu. Kita tidak boleh membandingkan apa yang dilakukan oleh shalafushshalih yang memiliki keutamaan, kebaikan, barakah, serta keluasan rezeki mereka dengan keadaan kita hari ini yang penuh dengan kemalasan, kekurangan, dan kesibukan dengan dunia serta kemewahannya.
Oleh karena itu tidak ada celah untuk bertanya, mengapa mereka diberi kemudahan untuk melaksanakan amalan-amalan ketaatan sementara kita susah melakukannya? Yang menjadi kewajiban kita saat ini, kita memutuskan bahwasanya hukum asal dalam ibadah adalah tawaqquf, yakni melakukan ibadah tersebut tanpa menambah atau mengurangi. [Syahida.com/ANW]
Sumber: Kitab Popularitas di Mata Orang-Orang Bertaqwa, Karya: Said Abdul Azhim, Penerjemah: Andi Arlin S.Ag, Penerbit: Pustaka Azzam