Syahida.com – Jika seorang suami hendak menceraikan istri, kapan sebaiknya melakukannya? 1
1. Dalam kasus wanita yang telah digauli dan sedang mengalami haid. Suami dapat menceraikan istrinya saat sedang suci dan tidak melakukan hubungan intim dalam masa suci tersebut, atau menceraikan istrinya saat sedang hamil yang sudah tampak jelas kehamilannya.
Jika dia menceraikan istrinya saat sedang haid, maka mesti diperintahkan agar merujuknya kembali lalu bersatu dengannya hingga suci. Kemudian berlanjut sampai haid lagi, lalu suci lagi. Setelah itu, jika mau, dia boleh menceraikan saat itu sebelum melakukan hubungan intim dengannya, atau tetap bersatu dengannya.
Catatan
Untuk menceraikan istri, tidak boleh dilakukan pada saat darah haidnya berhenti, melainkan harus setelah mandi suci. Setelah itu, barulah suami boleh menceraikannya.
2. Dalam kasus wanita yang sedang nifas. 2
Dalam masalah ini, wanita yang sedang nifas sama dengan wanita yang sedang haid. Suami tidak boleh menceraikannya sampai dia suci dari nifas dan sebelum melakukan hubungan badan dengannya. Jika suami menceraikannya pada saat masih nifas, maka hendaknya dia merujuknya kembali, sama seperti yang dilakukan kepada wanita yang sedang haid.
3. Dalam kasus wanita yang telah dinikahi tapi belum digauli (melakukan hubungan intim) 3
Suami boleh menceraikannya kapan saja, baik sedang menjalani masa haid maupun suci.
4. Dalam kasus wanita yang tidak haid karena masih terlalu kecil atau terlalu tua. 4
Suami boleh menceraikannya kapan saja.
5. Dalam kasus wanita yang sedang hamil yang telah tampak kehamilannya dengan jelas.
Suami boleh menceraikannya kapan saja. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a ketika dia menceraikan istrinya yang sedang haid. Saat itu, Umar r.a melaporkan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, “Suruhlah dia agar merujuk istrinya kembali, kemudian dia boleh menceraikannya saat sedang suci atau hamil.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah). 5 [Syahida.com/ANW]
—–
1 Dikutip dari Jami’ Ahkam An-Nisa’, vol. 4 hlm. 29-36.
2 Al-Mudawwanah Al-Kubra, vol.2 hlm. 70.
3 Al-Umm, Asy-Syafi’i, vol. 5 hlm. 181.
4 Al-Umm, vol. 5 hlm. 181 dan Majmu’ul Fatawa, vol. 33 hlm. 5.
5 Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1471, Abu Dawud, No. 2181, Tirmidzi, No. 1176, Nasa’i, vol. 141 dan Ibnu Majah, No. 2023.
===
Sumber: Kitab Fiqih Sunah untuk Wanita, Oleh: Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Penerjemah: Asep Sobari, Lc., Penerbit: Al I’tishom