Syahida.com –
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ ﴿١٧﴾ وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿١٨﴾وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا ﴿١٩﴾ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al Fajr: 20)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyangkal kepercayaan manusia, bahwa apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizkinya untuk mengujinya, maka ia meyakini bahwa hal itu merupakan penghormatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Padahal tidak demikian halnya, karena hal itu hanyalah ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
{ أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ ﴿٥٥﴾ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَل لَّا يَشْعُرُونَ } “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’-minuun: 55-56)
Di sisi yang lain, apabila Dia menguji dan mencobanya dengan kesempitan rizki, maka ia meyakini bahwa hal itu merupakan penghinaan dari Allah terhadapnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, { كَلَّا } “Sekali-kali tidak,” yakni perkaranya tidak sebagaimana yang ia sangka. Allah tidak memuliakan seseorang dengan memberikan keluasan rizki kepadanya, dan tidak menghinakannya dengan memberikan rizki yang sempit.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan harta atau rizki, kepada orang yang Dia cintai maupun orang yang tidak Dia cintai. Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempitkan rizki, baik kepada orang yang Dia cintai, maupun orang yang tidak Dia cintai.
Adapun yang menjadi tolak ukur bagi kemuliaan dan kehinaan seseorang, adalah ketaatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik ketika rizkinya lapang, maupun ketika rizkinya sempit. Apabila ia diberi kekayaan, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah atas kekayaan yang ia peroleh. Dan apabila ia jatuh miskin, maka hendaklah ia bersabar atas kemiskinannya. [Syahida.com/ANW]
—
Sumber: Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 9, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir