Syahida.com –
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴿٨٣﴾ مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِّنْهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. 28: 83) Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. 28: 84)
Allah mengabarkan bahwa negeri akhirat berikut aneka ragam nikmatnya yang lestari, tidak pernah berpindah dan tidak pernah hilang, akan dilimpahkan kepada para hamba-Nya yang beriman dan rendah hati, yakni mereka yang tidak menyombongkan diri di muka bumi. Mereka tidak merasa lebih tinggi, lebih agung, dan lebih berkuasa dari manusia lain. Mereka pun tidak berbuat kerusakan di muka bumi.
‘Ikrimah berkata, “Yang dimaksud dengan عُلُوًّا pada ayat ini adalah merasa paling berkuasa.” 1 Ibnu Juraij berkata, “Yang dimaksud dengan لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ adalah orang-orang yang tidak menginginkan sifat jumawa dan berbuat sewenang-wenang. Sedangkan lafazh وَلَا فَسَادًا artinya tidak melakukan maksiat.” 2
Ibnu Juraij meriwayatkan sebuah atsar dari ‘Ali r.a, ia berkata, “Jika seorang laki-laki merasa kagum oleh tali sendalnya, seraya menilai tali itu lebih baik dari tali sendal temannya, maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang difirmankan oleh Allah,
{ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ } “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” 3
Ungkapan ‘Ali r.a di atas diterapkan apabila dengan sikapnya itu (padahal remeh hanya masalah tali sandal) -pent ia bermaksud sombong dan jumawa, serta menganggap orang lain lebih rendah dan remeh. Karena sifat seperti itu sangat tercela. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi yang terdapat di dalam kitab ash-Shahiih, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Allah telah mewahyukan kepadaku agar kamu sekalian selalu bersikap rendah hati, tidak saling menunjukkan sikap bangga diri, dan satu sama lain tidak saling menzhalimi.” 4
Namun bila kecintaannya terhadap tali sandalnya hanya karena ingin berdandan rapi, maka hal itu tidak menjadi dosa. Karena di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah! Aku sangat menyukai jika selendangku kelihatan bagus. Aku juga sangat menyukai jika sandalku kelihatan bagus. Apakah itu digolongkan takabbur?” beliau menjawab,
“Tidak, sesungguhnya Allah itu indah. Dia mencintai keindahan.” 5
Allah berfirman, { مَن جَاءَ } “Barangsiapa datang,” pada hari Kiamat, { بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِّنْهَا } “Dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu.” Maksudnya, pahala yang diberikan oleh Allah lebih dari amal baik yang dilakukan oleh seorang manusia. Bagaimana tidak, karena Allah senantiasa melipatgandakan pahala itu dengan sebanyak-banyaknya.
Pernyataan di atas berbicara dalam konteks (maqam) keutamaan.
Selanjutnya, Allah berfirman,
{ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ } “Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Ayat ini memiliki makna yang sama dengan firman Allah yang berbunyi, { وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ } “Dan barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. An-Naml: 90)
Dan di sini, yang terlihat adalah dalam konteks (maqam) keutamaan dan keadilan. 6 [Syahida.com/ANW]
—
Catatan kaki:
1 Ath-Thabari (XIX/637)
2 Ath-Thabari (XIX/637)
3 Ath-Thabari (XIX/638)
4 Muslim (IV/2199) [Muslim (No. 2865) dari ‘Iyadh bin Himar r.a]
5 Muslim (I/93) [Muslim (No.91) dengan sedikit perbedaan lafazh]
6 [Maksudnya, dengan keutamaan dari-Nya, maka amal kebaikan manusia dilipatgandakan pahalanya. Dan dengan keutamaan serta keadilan-Nya, maka amal buruk manusia hanya dibalas dengan pembalasan yang setimpal]. -pent
==
Sumber: Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 6, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir