Syahida.com –
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّـهُ كُلًّا مِّن سَعَتِهِ ۚ وَكَانَ اللَّـهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
“Dan jika mereka berdua bercerai, Allah akan mencukupkan untuk tiap-tiap seseorang dari kurnia-Nya.” (QS. An-Nisaa: 130)
Ayat ini menunjukkan bahwa cerai adalah langkah terakhir kalau jalan damai sudah buntu. Memang kadang-kadang ada rahasia suami istri yang orang lain tidak dapat mencampurinya. Bagaimana akan dipaksa meneruskan pergaulan di antara dua jiwa yang memang sudah tak dapat dipertemukan lagi? Memang ada kalanya jalan damai tak bisa ditempuh lagi. Sedang mereka adalah dua manusia. Yaitu manusia-manusia yang mempunyai pribadi dan nilai pandangan hidup masing-masing. Kalau pergaulan kedua orang itu diteruskan juga, kemunafikanlah yang akan timbul. Di saat demikian apa boleh buat, dioraklah buhul dan diungkailah kebat. Sama-sama bertawakallah kepada Allah dan mulailah membina hidup masing-masing.
Oleh sebab itu, teranglah urutan ayat sejak ayat 128, 129, dan sampai ayat 130, kedua suami istri terlebih dahulu diperintahkan mencari jalan damai. Kalau hendak bercerai, bercerailah dengan baik, yang telah termaktub dalam surah al-Baqarah,
“Dipegang dengan jalan yang ma’ruf, atau dilepaskan dengan jalan yang sebaik-baiknya.” (al-Baqarah: 229)
Sehingga diadakan Allah perintah mut’ah, yaitu si laki-laki memberikan uang belanja yang sepatut dan selayaknya bagi perempuan yang diceraikannya itu ketika menjatuhkan talak.
Kalau demikian halnya, tidaklah Allah memaksa supaya diteruskan juga pergaulan itu. Bila terpaksa bercerai juga, bercerailah dengan baik. Asalkan bercerai dengan baik, di dalam ayat ini Allah telah menyatakan bahwa Allah akan tetap mencukupkan kurnia-Nya bagi masing-masing mereka.
Ayat ini adalah untuk orang yang beriman, yang di dalam menegakkan rumah tangga tetap hendak bergantung kepada peraturan dan tuntunan Allah. Niscaya seorang Mukmin atau Mukminah, menghadapi hidup di zaman depan bukanlah dengan suram (pesimis) melainkan tetap gembira dan percaya (optimis). Itu sebabnya di penutup ayat, Allah berfirman,
“Dan Allah adalah Mahaluas, lagi Mahabijaksana.”
Ketika membicarakan talak di surah yang bernama ath-Thalaq dijelaskan pula oleh Allah bahwasanya takwa kepada Allah akan membuka pintu yang tertutup dan rezeki akan datang di luar perkiraan. Siapa yang bertawakal kepada Allah, Allah-lah jaminannya.
Renungkanlah ayat-ayat ini baik-baik, sesudah itu bertanyalah kepada diri sendiri, di atas apa hendaknya rumah tangga didirikan? Apakah di atas semata-mata harta benda? Apakah seorang perempuan menyerahkan jiwa raganya menjadi istri dari seorang laki-laki karena mengharapkan uangnya? Atau seorang laki-laki mengawini seorang perempuan karena semata-mata kecantikannya? Ataukah harta benda menjadi jaminan Allah apabila rumah tangga itu terlebih dahulu diasaskan atas takwa sehingga rezeki datang kemudian karena hati telah sama-sama terbuka?
Apakah tidak ada padamu keinginan, hendaknya pergaulan ini berpanjang-panjang sampai diceraikan oleh maut?
Oleh sebab itu, kalau terdapat seorang laki-laki kawin semau-mau, beristri lebih dari satu semau-mau, dan kelak bercerai talak semau-mau, janganlah itu dibangsakan kepada Islam. Tetapi mereka telah memperkuda keindahan peraturan agama untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri. Rumah tangga yang didirikan di atas kekacau-balauan masyarakat. Itu bukanlah dari kesalahan agama, melainkan dari kesalahan orang yang keluar dari garis yang ditentukan agama.
Sungguh terharulah penulis tafsir ini membaca ayat-ayat ini. Dia menunjukkan bahwa ada juga perceraian timbul bukan karena benci, melainkan karena memikirkan hari depan tidak dapat lagi diteruskan berdua. Teringat penulis fatwa setengah ulama, di antaranya Imam Ahmad bin Hambal, bahwa cerai yang dijatuhkan sedang sangat marah, gelap mata, tidaklah jatuh, dan cerai yang dijatuhkan sekaligus, atau sekali jatuh talak tiga, ketiganya hanya satu yang jatuh. Ayat 130 memberi tuntunan bahwa ada cerai jatuh karena hasil perdamaian. Penulis tafsir ini pernah menyaksikan dua suami istri telah bergaul 15 tahun, terpaksa bercerai, sama-sama menitikkan air mata. Berat, tetapi apa boleh buat. Sebabnya ialah karena keduanya ingin beranak, tetapi penyelidikan dokter menunjukkan bahwa pergaulan mereka berdua tidak memungkinkan dapat anak. Mereka bercerai. Yang laki-laki beristri lain, yang perempuan bersuami lain. Kira-kira lima tahun kemudian mereka bertemu lagi. Alhamdulillah keduanya sudah mendapat anak. Si lelaki dengan istrinya yang telah dapat anak tiga, si perempuan dengan suaminya yang baru sudah mendapat anak dua. Kurnia Allah diberikan bagi mereka keduanya. Kadang-kadang ziarah-menzirahi-lah kedua keluarga itu, tetap menghubungkan silaturahim. Sampai saya pernah mengatakan kepada mereka, “Moga-moga anak kedua belah pihak berkawin-kawinan, guna menyambung, cinta kasih ayah bunda masing-masing.”
Alangkah bahagia hidup kita sebagai Muslim, kalau tuntunan Allah dalam Al Qur’an-Nya kita ikuti. [Syahida.com/ANW]
—
Sumber: Kitab Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, Karya: Prof. DR. Hamka, Penerbit: Gema Insani