Syahida.com –
فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَمَا عِندَ اللَّـهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٣٦﴾ وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ ﴿٣٧﴾ وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣٨﴾ وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ﴿٣٩
“Maka apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS. Asy-Syuuraa: 36-39)
Allah SWT memberitahukan tentang hinanya kehidupan dan perhiasan dunia, beserta segala kenikmatan dan kelezatan semu yang ada padanya, dalam firman-Nya; {فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا} “Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia.” Maksudnya, betapapun banyaknya apa yang kalian peroleh dan kalian kumpulkan, janganlah menjadikan kalian sombong, karena semua itu hanyalah kenikmatan hidup di dunia saja. Sedangkan dunia adalah negeri yang pendek, semu dan pasti akan berlalu.
{وَمَا عِندَ اللَّـهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ } “Dan apa yang ada pada sisi Allah (adalah) lebih baik dan lebih kekal.” Maksudnya, pahala dari Allah adalah lebih baik daripada dunia, karena pahala itu bersifat kekal abadi. Maka janganlah kalian (wahai orang-orang yang beriman) mendahulukan sesuatu yang semu daripada yang kekal. Karenanya Allah SWT berfirman (menerangkan sifat-sifat orang yang berhak mendapatkan karunia di sisi Allah SWT);
1. Beriman.
Firman Allah SWT, {لِلَّذِينَ آمَنُوا}, “Bagi orang-orang yang beriman,” yakni, mereka yang bersabar meninggalkan kelezatan di dunia.
2. Bertawakkal
Firman Allah SWT, {وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ} “Dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal (bersandar).” Yakni, agar Dia menolong mereka dalam menunaikan kewajiban dan meninggalkan perkara haram.
3. Menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji.
Firman Allah SWT, {وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ} “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji.” Sebagaimana juga ada dalam Surat Al A’raf ayat 33.
4. Apabila marah, mereka memberi maaf.
Firman Allah SWt, {وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ} “Dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” Yakni, mereka memiliki sifat suka memaafkan dan memaklumi manusia. Mereka tidak suka membalas dendam kepada manusia. Disebutkan di dalam hadits shahih bahwasanya Rasulullah SAW sama sekali tidak membalas dendam untuk diri beliau sendiri, kecuali (marahnya beliau itu) jika larangan-larangan Allah dilanggar.
5. Patuh terhadap seruan Rabb-Nya.
Firman Allah SWT, {وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ} “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya.” Yakni, mereka mengikuti Rasul-Nya, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
6. Mendirikan Shalat.
Firman Allah SWT, {وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ} “Dan mendirikan shalat,” yakni jenis ibadah kepada Allah SWT yang paling agung.
7. Suka bermusyawarah.
Firman Allah SWT, {وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ} “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” Mereka tidak menetapkan suatu perkara, kecuali mereka memusyawarahkannya, agar dapat saling bantu dengan pendapat-pendapat mereka dalam berbagai hal, semisal dalam hal peperangan, juga segala perkara yang serupa dengannya. Sebagaimana firman Allah; “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam masalah itu.” (QS. Ali ‘Imran: 159) Hingga akhir ayat.
Karenanya, beliau SAW selalu bermusyawarah dengan para Sahabat dalam masalah peperangan dan perkara yang sejenis, agar hati mereka menjadi tenang. Demikian juga ketika kematian akan menjemput ‘Umar bin al-Khaththab r.a setelah beliau ditikam. Saat itu beliau menyerahkan perkara (kekhalifahan) sesudahnya kepada hasil musyawarah dari enam orang Sahabat, yaitu ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’d dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf r.a. Maka para Sahabat seluruhnya bersepakat untuk mengangkat ‘Utsman r.a.
8. Menafkahkan sebagian rizki yang Allah SWT berikan.
Firman Allah SWT, {وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ} “Dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” Yakni dengan berbuat baik (bershadaqah) kepada hamba-hamba Allah, dengan cara mendahulukan kerabat yang terdekat dari yang lain.
9. Jika dizhalimi mereka membela diri.
Firman Allah; {وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ} “Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim mereka membela diri.” Yakni, pada diri mereka terdapat kekuatan untuk membela diri dari orang yang menzhalimi dan menyerang mereka. Mereka bukanlah orang-orang lemah dan tidak berdaya, melainkan mereka mampu membalas terhadap orang yang semena-mena terhadap mereka. Meskipun mereka mampu membalas dendam, tetapi mereka memberi maaf.
Sebagaimana perkataan Yusuf r.a kepada saudara-saudaranya, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu),” (QS. Yusuf: 92) padahal ia sangat mampu untuk membalas perbuatan buruk mereka terhadapnya.
Demikian pula Rasulullah SAW, beliau memaafkan delapan puluh orang yang hendak mencelakakan beliau pada saat perjanjian Hudaibiyah yang turun dari gunung Tan’im. Tatkala beliau mampu mengalahkan mereka, beliau memaafkan mereka, meski beliau sanggup membalas dendam.
Begitu juga pemaafan beliau SAW kepada Ghaurats bin al-Harits yang hendak membunuh beliau, ketika ia menghunus pedangnya sedang beliau tengah tidur. Lalu beliau SAW bangun, sedangkan pedang masih terhunus di tangannya. Beliau menghardiknya, lalu ia menjatuhkan pedang dari tangannya, kemudian diambil oleh Rasulullah SAW, beliau memanggil para Sahabatnya dan memberitahu mereka tentang peristiwa yang terjadi antara beliau dengan orang itu, dan beliau memaafkannya.
Hadits-hadits dan atsar-atsar tentang masalah ini banyak sekali. Wallahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lam. [Syahida.com/ANW]
==
Sumber: Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 8, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir