Syahida.com – Pertanyaan: “Sepasang manusia hidup bersama dalam hubungan haram (kumpul kebo). Kemudian keduanya mendatangi kantor urusan agama untuk menikah secara sah hingga hidup dalam kehalalan. Laki-laki tersebut mendengar dari orang-orang, dia harus menjauhi wanitanya tersebut dalam beberapa lama sebagai masa iddah, setelah itu baru boleh menikahinya. Sebenarnya bagaimana hukumnya menurut syariat Islam? Apa hukumnya jika wanita itu hamil menurut hubungan haram tersebut?”
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menjawab:
“Sepasang manusia yang hidup dalam kubangan perzinaan, jika ingin bertaubat kepada Allah SWT dan bermaksud keluar dari kehidupan haram menuju kehidupan halal, dan dari kehidupan kotor menuju kehidupan bersih sebagaimana yang dilakukan para pencari hakikat kebenaran, dan mereka benar-benar ingin mengubah kehidupannya dari yang haram menuju yang halal, maka pernikahan keduanya benar dan sah menurut ijma’. Kantor urusan agama harus menyambut kedatangan keduanya, memberi semangat dan membantu pelaksanaan pernikahan keduanya sesuai dengan hukum Islam serta mendaftarkan pernikahan keduanya secara resmi demi menjaga hak masing-masing pihak ketika terjadi perkara yang tidak diinginkan.
Mayoritas ulama fikih tidak mensyaratkan taubat, sebab pernikahan keduanya sah. Sebuah riwayat menyebutkan, Umar bin Al-Khattab menghukum dengan mencambuk kedua pelaku zina. Setelah itu, Umar menasehati keduanya agar menikah.”
Ulama’ madzhab Hambali mensyaratkan taubat keduanya. Mereka berdalil dengan firman-Nya,
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nur: 3).
Tetapi yang jelas dalam keputusan hukum kami: Laki-laki dan perempuan dalam hadits Umar tersebut telah bertaubat. Demikian juga hendaknya kita memandang kepada setiap sepasang pezina yang ingin menikah, dengan sendirinya keinginannya tersebut menunjukkan taubatnya. Kita berpikir demikian demi kebaikan kehidupan sepasang muslim, dan kita berbaik sangka kepada setiap pasangan yang berbuat dan berkeinginan demikian. Sebab keinginan keduanya untuk menikah adalah keinginan yang baik.
Tentang masalah iddah. Apakah iddah wajib bagi wanita yang berzina? Tentang hal ini, ada perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Pendapat terpilih menurut saya adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ats-Tsauri. Ketiganya berkata, “Tidak ada iddah bagi wanita yang berzina. Walaupun dia hamil dari laki-laki zina pasangannya.”
Pendapat ini diriwayatkan dari tiga orang sahabat; Abu Bakar, Umar dan Ali r.a. Mereka berdalil dengan hadits muttafaq alaih, “Anak yang dilahirkan dari sepasang suami istri itu dinasabkan kepadanya. Terhadap pelaku zina baginya hukuman rajam.” Sebab ditetapkannya iddah itu untuk melihat bersihnya rahim demi menjaga kebersihan keturunan. Bagi pezina tidak berlaku hal itu, maka tidak wajib iddah bagi pezina.
Bahkan menurut Imam Abu Hanifah dan kedua sahabatnya -dan ini yang difatwakan dalam madzhab Hanafi: Jika seorang laki-laki (bukan pezina) menikahi wanita yang hamil hasil perbuatan zina dari laki-laki lain, maka sah pernikahannya. Tetapi ia tidak boleh menyetubuhi wanita tersebut hingga dia melahirkan. Mereka berdalil dengan hadits, “Tidak sah bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, menumpahkan maninya pada benih orang lain.” [HR. Abu Daud]. Ini berbeda, jika kehamilan tersebut merupakan hasil zina dengan lelaki yang kemudian menjadi suaminya tersebut. Pernikahan keduanya sah menurut ulama’ madzhab Hanafi dan sah menyetubuhi istrinya, menurut semua ulama. Sebab benih itu adalah miliknya dan kehamilan itu darinya. [Syahida.com/ANW]
==
Sumber: Kitab Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi, Karya: Dr. Amru Abdul Karim Sa’dawi, Penerjemah: H. Muhyiddin Mas Rida, Lc., Penerbit: Pustaka Al Kautsar