Syahida.com – Saat menjelang ajal, Al-Hasan bin Ali r.a berkata, “Keluarkan aku ke halaman rumah.” Setelah dikeluarkan dia berkata, “Ya Allah, aku pasrahkan diriku ke sisi-Mu. Sesungguhnya aku tidak pernah mendapat musibah yang seperti ini.”
Diriwayatkan bahwa sebelum ajal menghampiri Mu’adz bin Jabal, dia berkata, “Lihatlah, apakah kita sudah masuk waktu pagi?”
“Waktu pagi belum tiba,” jawab seseorang.
Tak seberapa lama kemudian orang itu menemuinya lagi dan berkata, “Kita sudah masuk waktu pagi.”
Mu’adz berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari waktu malam yang pagi harinya menuju neraka.” Kemudian dia berkata lagi, “Selamat datang kematian yang datang dalam alam ghaib dan kekasih yang tiba dalam rupa yang menawan. Ya Allah, sebelumnya aku takut kepada-Mu dan pada hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mencintai dunia dan hidup selamanya di dunia untuk mengalirkan sungai dan menanam pepohonan, tetapi untuk merasakan dahaga berkepanjangan karena hijrah, mendirikan shalat pada malam-malam musim dingin, mempergunakan waktu dan bergabung bersama para ulama dalam halaqah dzikir.”
Abu Muslim berkata, “Aku menemui Abu Darda’ yang napasnya tinggal satu-satu, seraya berkata, “Tidak adakah seseorang yang berbuat seperti yang diperbuat orang yang telah menikamku? Tidak adakah seseorang yang berbuat seperti hariku ini? Tidak adakah seseorang yang berbuat seperti saat-saatku ini?’ Tak seberapa lama kemudian dia pun menghembuskan napas yang terakhir.”
Salman Al-Farisi menangis saat ajal mendekatinya. Lalu ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab, “Rasulullah SAW pernah mengamanatkan kepada kami, agar bekal salah seorang di antara kami seperti bekal seorang pengelana. Usahaku adalah mencari bekal ini.’
Ada yang berkata, “Bekalnya hanya mangkok, bejana dan alat untuk bersuci.”
Al-Muzanni meriwayatkan, dia berkata, “Aku memasuki tempat tinggal Asy Syafi’i, saat dia terbaring sakit yang disusul dengan kematiannya. Lalu aku bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu saat ini?”
Asy-Syafi’i menjawab, “Aku sudah lari dari dunia, berpisah dengan saudara-saudara, siap menemui keburukan amalku, meminum dari gelas harapan dan kembali kepada Allah. Aku tidak tahu apakah ruhku menuju surga, sehingga dapat mengucapkan selamat kepadanya, ataukah menuju neraka dan aku akan mengucapkan ucapan duka kepadanya.” Setelah itu dia melantunkan syair,
“Tatkala hatiku mengeras dan menyempit jalanku
aku pasrahkan sambil mengharapkan ampunan-Mu
kulihat betapa besar dosa-dosaku ini
namun ternyata ampunan-Mu lebih besar lagi
engkau senantiasa memaafkan dosa-dosa
murah hati dan senantiasa mulia.”
Ada yang menuturkan bahwa suatu hari Abu Darda’ duduk di dekat sebuah kuburan. Lalu ada yang menanyakan tindakannya itu. Maka dia menjawab, “Aku sedang duduk di dekat orang-orang yang mengingatkan tempat kembaliku dan aku benar-benar sudah tidak ada agar mereka tidak menggunjingku.’
Maimun bin Mahran berkata, “Aku pergi ke sebuah kuburan bersama Umar bin Abdul Aziz. Tatkala dia melihat kuburan, maka dia menangis. Kemudian dia menghadap ke arahku dan berkata, “Hai Maimun, ini adalah kuburan nenek moyangku dari Bani Umayah, seakan-akan mereka tidak bergabung dengan kenikmatan dan kehidupan penghuni dunia. Tidakkah engkau melihat mereka kini terbaring tak berdaya, hancur dan dimakan ulat?” kemudian dia menangis, dan berkata lagi, “Demi Allah, aku tidak melihat seseorang yang lebih nikmat daripada orang-orang yang sudah berada di dalam kuburan ini dan dia terlindung dari siksa Allah.’
Ziarah kubur termasuk hal yang dianjurkan. Nabi SAW bersabda,
“Ziarahilah kubur-kubur, karena hal itu mengingatkan kalian kepada akhirat.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnul Mubarak).
Diriwayatkan bahwa dua tahun setelah Ashim Al-Jahdari meninggal dunia, salah seorang keluarganya ada yang bermimpi bertemu dia.
“Bukankah engkau sudah meninggal dunia?” Tanya saudaranya.
“Begitulah,” jawab Ashim.
“Di mana engkau kini?”
“Demi Allah, aku saat ini berada di salah satu taman dari taman-taman surga,” jawab Ashim,” Aku dan beberapa rekanku berkumpul pada setiap malam Jum’at dan pagi harinya menemui Abu Bakar bin Abdullah Al-Muzanni, dan kami saling tukar-menukar informasi.”
“Apakah itu jasad kalian ataukah ruh kalian?”
Ashim menjawab, “Tidak sama sekali. Jasad itu bisa binasa. Ruh kamilah yang saling bertemu.’
“Apakah kalian mengetahui kami yang menziarahi (kubur) kalian?”
“Kami mengetahuinya pada malam Jum’at dan seluruh Jum’at serta hari Sabtu hingga matahari terbenam.”
“Mengapa seperti itu dan tidak terjadi pada hari-hari yang lain?”
“Mengingat kemuliaan dan keagungan hari Jum’at,” jawab Ashim. [Syahida.com/ANW]
==
Sumber : Kitab MINHAJUL QASHIDIN, “Jalan orang-orang yang mendapat petunjuk”, Karya IBNU QUDAMAH, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al Kautsar