Syahida.com – Kita lanjutkan pembahasan dari bagian pertama. Selanjutnya adalah,
(3). Renungkanlah (juga) kisah anak kecil yang dibunuh oleh Khidhir atas dasar perintah Allah SWT, karena ia menjelaskan sebab ia membunuh dengan firman-Nya,
“Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al Kahfi: 80-81).
Kita berhenti sejenak di sini dan bertanya:
Berapa banyak manusia yang Allah SWT belum menakdirkan untuk menganugerahinya anak, lalu hatinya menjadi sempit karenanya?! Ini adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi yang tidak layak untuk terus berlanjut adalah kesedihan yang terus-menerus, dan merasa (selalu) gagal yang dapat menghancurkan seluruh pekerjaan dan aktivitasnya dalam hidup ini!
Andai saja orang yang belum dianugerahi nikmat anak merenungkan ayat ini, bukan hanya untuk menghilangkan kesedihannya saja, tetapi juga agar hatinya tenang dan dadanya lapang, dan andai saja ia melihat takdir ini dengan kaca mata nikmat dan rahmat, dan bahwasanya Allah SWT bisa jadi memberikannya nikmat ini karena sayang kepadanya! Siapa yang tahu? Mungkin saja jika dia dianugerahi anak, anak ini akan menjadi sebab kecelakaan dan penderitaan bagi kedua orang tuanya, serta menganggu kehidupan merek berdua, atau memperburuk reputasi baik mereka berdua!
(4). Dalam permulaan perang Badar, Al Qur’an menanamkan makna ini kepada para pengikutnya. Allah berfirman,
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al Anfal: 5-6).
Maka berapa banyak Allah menetapkan bagi kaum Mukminin berupa kebaikan, kemuliaan, dan kewibawaan bagi kaum Muslimin setelah perang ini, padahal para sahabat Nabi SAW sebenarnya tidak menyukai pilihan berperang!
(5). Dalam as-Sunnah an-Nabawiyah terdapat banyak contoh, di antaranya: Ketika suami Ummu Salamah – Abu Salamah- meninggal dunia, Ummu Salamah berkata,
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya. Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibahku dan berilah gantinya untukku dengan yang lebih baik darinya’, melainkan Allah akan memberi gantinya untuknya dengan yang lebih baik darinya’.” Ia berkata, “Maka ketika Abu Salamah meninggal, aku berkata, ‘Orang Muslim manakah yang lebih baik dari Abu Salamah? Rumah (keluarga) pertama yang berhijrah kepada Rasulullah SAW?’ Kemudian aku pun mengucapkannya, maka Allah memberi gantinya untukku dengan Rasulullah SAW!” (HR. Muslim No. 918).
Renungkanlah perasaan ini yang menghinggapi pada diri Ummu Salamah -yakni perasaan yang muncul pada sebagian wanita yang diuji dengan kehilangan orang yang paling dekat hubungannya dengan mereka dalam kehidupan ini dan keadaan mereka: Siapa lagi yang lebih baik daripada Abu Fulan?! -maka ketika Ummu Salamah melakukan apa yang diperintahkan oleh syariat berupa sabar, istirja’ (mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi rajiun), dan ucapan yang diajarkan oleh Nabi SAW; Allah menggantinya dengan yang lebih baik yang belum pernah ia impikan (sebelumnya).
Demikianlah wanita Mukminah, ia harus tidak merangkum kebahagiaannya, atau membatasinya pada satu pintu saja di antara pintu-pintu kehidupan. Ya, kesedihan yang menimpa adalah sesuatu yang tidak ada (seorang pun) yang bisa selamat darinya, tidak pula para nabi dan rasul! Yang tidak layak adalah membatasi kehidupan dan kebahagiaan pada satu keadaan, atau mengaitkannya dengan laki-laki, atau wanita, atau syaikh!
(6). Dalam kehidupan nyata, terdapat kisah-kisah yang banyak sekali, saya sebutkan sebagiannya:
Ada seorang laki-laki yang datang ke bandara, dan ia kelelahan (karena mengangkat) beberapa barang, lalu ia tertidur yang menyebabkan pesawatnya berangkat, dan di dalamnya ada banyak penumpang yang lebih dari 300 penumpang, maka ketika ia bangun, ternyata pesawatnya baru saja berangkat, dan ia ketinggalan pesawat, maka sesaklah dadanya, dan ia menyesal dengan penyesalan yang sangat. Dan tak lewat beberapa menit kemudian setelah keadaan yang menimpanya ini, tersiar kabar tentang jatuhnya pesawat tersebut dan terbakarnya orang-orang yang ada di dalamnya secara keseluruhan!
Pertanyaannya adalah: Bukankah berarti ketinggalan pesawat itu lebih baik bagi orang ini?! Akan tetapi, mana orang-orang yang mau merenungkan dan mengambil pelajaran?
Dan hendaknya ia bertawakal kepada Allah, mengerahkan yang ia mampu dari sebab-sebab yang disyariatkan, dan jika terjadi sesuatu yang tidak ia sukai, hendaklah ia mengingat kaidah Al Qur’an yang agung ini,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
Dan hendaklah ia mengingat bahwasanya di antara kelembutan Allah terhadap hamba-hambaNya, adalah: “Bahwasanya Dia menakdirkan bagi mereka berbagai macam musibah, ujian, dan cobaan dengan perintah dan larangan yang berat adalah karena kasih sayang dan kelembutanNya kepada mereka, dan sebagai tangga untuk menuju kesempurnaan dan kesenangan mereka.”
Dan di antara kelembutan Allah yang agung: bahwasanya Dia tidak menjadikan kehidupan dan kebahagiaan manusia terkait dengan sempurna kecuali dengan-Nya, sedangkan perkara-perkara lainnya bisa saja diganti seluruhnya atau sebagiannya. [Syahida.com / ANW]
==
Sumber: Kitab 50 Prinsip Pokok Ajaran Al Qur’an Bekal Membangun Jiwa yang Kuat dan Pribadi yang Luhur, Karya: Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, Penerjemah: Abdurrahman, Lc. , penerbit: Darul Haq