Oleh: Ust. Hilman Rosyad Syihab
Syahida.com – Kita lanjutkan pembahasan yang sudah disampaikan pada artikel pertama.
Yang Keempat, adalah bahwa Al Qur’an dibaca secara mutawatir.
Artinya dibaca dari generasi ke generasi secara mutawatir. Apa yang dimaksud secara mutawatir? Kata “mutawatir” ada dalam sistem periwayatan. Ada dua jenis sistem yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah informasi yang mustahil dusta dan pasti benar 100%. Contoh, “Matahari terbit dari Timur, tenggelam di Barat”, itu adalah mutawatir. “Mekkah ada di Saudi Arabia”, itu Mutawatir. “Ibu kota Republik Indonesia adalah Kota Jakarta”, itu mutawatir. Mustahil dusta. Tidak ada yang bisa berdusta atas informasi itu atau mendustakan atau mengurangi atau mereduksi kebenaran informasi tadi. Dan nilainya 100%, bukan “jangan-jangan”, “kalau”, “seandainya”, tapi “yakin”, “pasti”.
Dan Al Qur’an ini periwayatannya dari generasi ke generasi, mutawatir, sehingga setiap huruf, setiap kata, setiap kalimat, satu ayat, seluruh suratnya, itu nilai kebenarannya 100% sama seperti kita meyakini kebenaran matahari terbit dari Timur dan tenggelam di sebelah Barat.
Yang kelima adalah, bernilai ibadah sekedar membacanya.
Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya bersabda, “Barang siapa yang membaca Al Kitab (Al Qur’anul Karim), satu huruf saja maka ia akan dicatatkan satu poin kebaikan dan satu poin kebaikan dari Al Qur’an, setara dengan sepuluh kebaikan yang lain.” Rasulullah melanjutkan sabdanya, “Tidak aku katakan alif lam mim itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf & MIIM satu huruf.”
Jadi kalau kita membaca, “Aliif laam miim”, itu berarti setara dengan 30 puluh kebaikan yang lain. Kalau satu kebaikan itu setara dengan mengambil duri dari jalan membuangnya ke tempat sampah berarti membaca satu huruf setara dengan kita menemukan sepuluh duri yang berbeda kemudian kita buang ke tempat sampah.
Kalau basmalah, “Bismillaahirrahmaanirrahiim”, 19 huruf, berarti 190 poin kebaikan lainnya. Kalau satu halaman, berarti 15 baris dan satu baris rata-rata 40 huruf, berarti kira-kira satu halaman ada 600 huruf, berarti setara dengan 6000 kebaikan. Bagaimana kalau kita membaca 1 juz dalam 1 hari? Maka sama dengan 120.000 kebaikan yang kita dapatkan pahalanya dengan hanya membaca 1 juz dalam 1 hari. Dan ini menunjukkan tentang membaca Al Qur’an ini berbeda dengan membaca apapun.
Betul bahwa membaca hadits itu juga adalah ibadah. Membaca sejarah Islam itu juga ada ibadah. Termasuk membaca ilmu pengetahuan, ilmu tentang kedokteran, ilmu tentang psikologi, tentang sosial, itu juga adalah ilmu dan padanya ada kebaikan, tapi tentu tidak sebanding dengan membaca Al Qur’anul Kariim.
Jadi sekali lagi, dengan kriteria nomor empat, dan nomor lima ini, sangat jelas sekali bahwa Al Qur’anul Kariim itu adalah mulia. Karena informasi yang dibawanya 100% benar, dan ketika sekedar membacanya per huruf saja, Allah SWT berikan pahala yang begitu besar.
Yang keenam, kriteria Al Qur’an adalah diawali Surat Al Fatihah dan diakhiri Surat An-Naas.
Jadi 114 surat, tidak lebih, tidak kurang. Kalau ada pertanyaan, “Ustadz, apakah ada firman Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui Jibril, tetapi tidak termasuk Al Qur’an?” Jawabnya, ada. Dan namanya adalah hadits Qudsi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat, dari baginda Rasul SAW, dari Jibril
dari Allah SWT, tapi tidak termasuk Al Qur’anul Kariim. Kenapa? Jawabnya, karena dia tidak terdapat dalam salah satu surat dari Surat Al Fatihah sampai Surat An-Naas. Makanya, kriteria lainnya juga tidak terpenuhi. Misalnya kriteria “Mutawatir.” Oh, belum tentu Mutawatir, berarti dia “Ahad” yang nilai kebenarannya di bawah 100%. Dan tentu berikutnya, membacanya tidak sebagaimana membaca Al Qur’anul Kariim karena dia tidak termasuk dari 114 surat. Pendek kata, bahwa Al Qur’anul Kariim itu dibatasi oleh jumlah surat, 114, dari Surat Al Fatihah sampai Surat An-Naas.
Yang ketujuh, terakhir, adalah memberikan hidayah, memberikan petunjuk kepada manusia.
Sehingga kalau orang itu membaca Al Qur’an, dia akan tahu hak dan kewajiban dirinya sebagai hamba terhadap Allah SWT, dia mengerti tentang syariat, tahu mana yang diperintahkan, dan mana yang dilarang, mana yang dianjurkan, mana yang sebaiknya dihindari, dia mengerti kisah-kisah orang terdahulu sehingga dia mengambil pelajaran, apa keuntungannya menjadi orang yang beriman, bertaqwa, beramal sholeh, berbuat ihsan, apa kerugiannya menjadi zalim, munafiq, berdusta, menghinakan kafir, itu semuanya jelas. Karena Al Qur’anul Kariim berfungsi sebagai petunjuk buat manusia.
Tujuh karakter pada definisi ini menjadikan Al Qur’an begitu mulia, yaitu ia adalah Kalamullah, firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Jibril, derajat keriwayatannya pasti benar karena Mutawatir, bernilai ibadah sekedar membacanya, dari Surat Al Fatihah sampai Surat An-Naas sebanyak 114 surat, dan petunjuk buat manusia agar manusia keluar dari kegelapan menuju kepada alam terang benderang.
Maka dengan demikan jelaslah Al Qur’an adalah mulia, jelaslah Al Qur’an adalah agung dan kita sebagai umat Islam, yang beriman kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Kitab-Nya, wajib mengagungkan dan memuliakan Al Qur’anul Kariim. Al Qur’an adalah sesuatu yang agung, harus diagungkan. Al Qur’an adalah tidak boleh dinistakan, tidak boleh dinodai, oleh siapapun, apakah oleh orang muslim sendiri atau juga oleh orang kafir. [Syahida.com / ANW]
==
Sumber: Youtube